Bagian 1

48 9 8
                                    

    " Kau serius ?" Tanya Ben.
Angguk. Andreas bosan menjawab pertanyaan Ben, sahabat sekaligus rekan sekantor.

    " Yakin dengan keputusan kau, bro ?" Masih belum puas dengan jawaban itu. Selebihnya dia sendiri belum percaya akan keputusan sahabatnya yang mau menikah dengan wanita pilihan ayahnya.

    Angguk lagi. Tapi dengan cepat tangannya menyimpan beberapa helaian pakaian dan keperluan lainnya kedalam koper. Tak lupa juga beberapa dokumen penting untuk proyek pembangunan rumah anak yaitu St.Theresia Larantuka.

    Robertus da Silva yang senang dipanggil Ben diam memperhatikan kegiatan Andreas. Sesekali dia menilik kamar bujang empunya diri. Kamar tidur yang luasnya 3×3 meter itu, dilengkapi dengan sebuah lemari pakaian, rak buku, disamping rak buku terdapat sebuah meja tulis dan sebuah kerusi, juga sebuah tempat tidur yang menjadi pembaringannya sekarang. Diatas meja tulis terdapat sebuah lampu hias, seharusnya ada sebuah bingkai foto berukuran 10×16 cm. Potret Andreas dan Rena, tetapi gambar tersebut sudah tidak ada lagi, sudah diganti dengan gambar Andreas kecil. Comel sungguh wajah tampannya.

    Tertanya-tanya juga hatinya, apakah Andreas sudah melupakan Rena?

   " Bro, kenapa bukan Mikel yang menikah dengan wanita pilihan ayah kau? Setahu saya ayah kau tidak pernah memaksa."
Saat itu Andreas sudah selesai berkemas dan ikut berbaring di sampingnya.

   " Mikel menolak, katanya dia sudah ada kekasih."

   " Siapa?" Menjongket bahu. Sememangnya dia tidak pernah tahu, lagipula Mikel tidak pernah membawa mana-mana perempuan ke rumah sebagai kekasih.

    " Lalu, kenapa kau setuju?" Tak mengerti dengan jalan pikiran sahabat yang seorang ini.

   " Kau tahu ayah kena stroke dua tahun lalu karena pernikahan yang dibatalkan. Saya tak mau kecewakan ayah lagi."

    " Bagaimana dengan Rena? Kau tidak mau tunggu dia?" Terluah juga apa yang tersimpan dalam benaknya. Wajah Andreas memerah, panas hatinya bila mendengar nama Rena. Wanita yang seharusnya dua tahun lalu telah menjadi surinya, berjanji melayari bahtera kehidupan bersama dalam suka dan duka. Tetapi wanita itu meninggalkan dia sebulan sebelum pernikahan tanpa tahu salah dan silapnya. Tiada juga pesan yang ditinggalkannya. Dia lenyap seperti butiran embun terpanah panasnya mentari pagi.

   Andreas bingkas bangun menuju kamar mandi meninggalkan Ben tanpa sembarang jawaban.

           ******

    Deru nafasnya memburu, detak jantungnya pun berdegup laju, selaju langkah kakinya. Dia tercungap-cungap. Sesekali dia menoleh ke belakang. Ketakutan menjalar di setiap urat nadinya. Sudah dua puluh menit berlalu. Sudah beratus meter dia berlari. ' Bau badan ini penyebabnya ' desis hatinya.
' Kenapa om Anton siram saya pakai air ikan? Marahkah dia karena tidak jadi beli ikannya tadi? Aduhai, om Anton, lain kali saya akan beli banyak-banyak ' bisiknya.

    Kakinya yang perih tidak terasa lagi. Keringat bercucuran bercampur bau ikan membasahi bajunya. Mariana melirik sepatu boot kulit yang dijinjingnya. 
 Hari ini seharusnya ada bakti sosial OMK( Orang Muda Katolik ) membersihkan gereja, tapi ditunda, akhirnya dia membuat keputusan merayau-rayau ditepi pantai. Sekaligus mencari kulit siput untuk digubah dan dijadikan aksesoris yang boleh mendatangkan pendapatan untuk toko cendramata miliknya ( MARIANA BLING BLING ).

    Salah dia juga bergaya dengan memakai sepatu boot tersebut. Sesekali berpenampilan lain daripada yang lain, itu yang dipikirkannya. Tetapi sekarang apa yang terjadi, dia harus berkaki ayam agar memudahkan dia berlari. Sudah puas dia melemparkan anjing hitam itu menggunakan kayu dan batu. Tak puas dengan itu, sumpah serapah, kata-kata kesat sekalian dilontarkan tetapi anjing yang tak bertuan itu semakin garang menyalak menunjukkan taringnya.

    Pada saat dia sedang menakut-nakuti anjing tersebut dengan sebatang kayu, secara tidak sengaja Mariana melanggar seorang pejalan kaki yang hendak melintasi jalan raya. Belum sempat dia meminta maaf kepada lelaki yang ditabraknya, anjing hitam itu pula coba menyerang dan menerkam Mariana. Gadis manis yang berusia dua puluh enam tahun itu berteriak semakin ketakutan, segera Mariana melompat ke atas punggung lelaki yang sudah mengatur langkah meninggalkannya.

    Andreas terkejut bukan kepalang. Tas jinjing berisi laptop terlempar ke tengah jalan, sedangkan koper berisi pakaian digunakan untuk mengusir anjing. Disamping itu Andreas masih berusaha melepaskan Mariana yang masih melekat dibelakang punggungnya. Menggoyang tubuhnya ke kiri ke kanan, membuat tubuh Mariana juga ikut bergoyang ke kiri dan ke kanan.

    " Hei turun! Cepat turun!" Perintah Andreas. Wajahnya merah menahan amarah. Bulu romanya berdiri. Tubuhnya menggigil. Detak jantungnya berdegup laju. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Ini pertama kalinya dia begitu rapat dengan lawan jenisnya. Saat dia masih dekat dengan Rena pun tidaklah sampai bersentuhan kulit, Andreas senantiasa menjaga jarak.
Walaupun dia tahu Rena ingin bermesraan dengannya. Bergandengan tangan adalah perkara paling mudah, namun Andreas tidak pernah melakukannya.

    Dicubitnya kaki Mariana yang melingkar pada pinggangnya, tetapi wanita itu tidak mengendahkannya, malahan semakin erat kakinya memeluk pinggang Andreas. Terdengar isakan halus yang membuat kemarahan Andreas sedikit mereda. Dia berusaha melawan perasaan yang bergejolak dalam dirinya. Sesuatu yang menjadikan dia fobia terhadap lawan jenis.

    Anjing hitam masih menyalak garang dihadapan mereka. " Auhg auhg auhg," namun tidak dipedulikan oleh Andreas.
Dia mencoba memungut tasnya sambil menggendong Mariana dibelakang punggungnya.

    Belum sempat dia meraih tas jinjingnya, tiba-tiba dari arah belakang mereka, sebuah truk dengan kecepatan tinggi menekan klakson mengejutkan mereka. Serentak itu Andreas melompat ke atas trotoar. Dia terinjak tali sepatunya sendiri mengakibatkan keseimbangan tubuh mereka goyah.

    Mereka terjatuh. Tubuh mereka terguling di atas lantai trotoar. Kepala Andreas berdarah walaupun tidak banyak, karena terbentur lantai trotoar. Sedangkan Mariana terjatuh di sebelah Andreas, tetapi sebagian tubuhnya masuk ke dalam parit, kepalanya juga terhantuk dan mengakibatkan dahinya benjol walaupun tidak berdarah.

    Bulat mata Andreas saat mendengar roda truk menggiling suatu benda keras.

    " Bruk bruk ", kepalanya terus berpaling kearah datangnya bunyi untuk memastikan dengan matanya sendiri, walaupun hatinya sudah mengatakan bahwa itu bunyi laptopnya.

    Terasa luruh jantungnya, terketar-ketar tangannya apabila ritsleting dibuka lalu dikeluarkan isi tas tersebut. Kotak empat persegi berwarna hitam sudah remuk, kaca layarnya pun pecah berkeping-keping. Liar matanya mencari-cari batang tubuh yang menjadi penyebab segala kekacauan tadi, tetapi orang yang dicari telah meninggalkan dia jauh dihadapan sambil berjalan terseok-seok menyeret kakinya yang terluka.

    Disabarkan hatinya walaupun saat ini dia ingin sekali memarahi wanita itu. Terasa menyesal pula menolong wanita itu tadi. " Dasar kacang lupa kulit, setelah ditolong malah meninggalkan saya begitu saja." Marah Andreas.
" Tiada kata ' maaf ' ataupun ' terima kasih ' tetapi sekurang-kurangnya tanya bagaimana keadaan saya, huh ... Langsung tidak punya adab."
   
    Iyalah, tadi pegang watak sebagai wira yang selamatkan si jelita. Tapi sekarang sang wira termangu keseorangan karena ditinggalkan oleh si jelita tanpa sembarang kata. Ha-ha-ha kasihan.
   

    ***

My Mr.VirginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang