cuatro

1.4K 90 5
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.
.
.
.
***

Jeongin menghela napas berat seiring mengambil alih sekantong plastik kecil berisikan obat dari resepsionis. Dengan mimik sebal segera pergi dari sana tanpa pusing mengucapkan terima kasih atau setidaknya selamat tinggal. Ia tidak terlalu baik untuk melakukan hal ramah tersebut.

Setelah mengalami kecelakaan motor beberapa bulan lalu, pergelangan kaki kirinya harus mengalami patah tulang. Namun beruntungnya sekarang ia sudah mulai membaik, bahkan bisa berjalan tanpa alat bantu lagi. Ya meskipun ia masih belum diperbolehkan untuk melangkah terlalu cepat apalagi berlari.

Dan diakibatkan oleh kecelakaan ini lah, ia vakum mengikuti balapan. Akan sangat menjengkelkan rasanya ketika sesuatu yang kau sukai tidak dapat lagi dilakukan karena keterbatasan gerak. Jeongin bersumpah, tepat ketika kakinya sembuh nanti ia akan mengikuti banyak balapan motor sampai motornya babak belur. Peduli apa.

Laki-laki lajang berusia dua puluh tujuh tahun itu tadinya berniat untuk segera pulang, namun sesuatu yang cukup keras menyenggol kakinya. Cukup untuk membuat si marga Yang itu hilang kendali pada tubuhnya.

"Ah, maafkan aku. Tapi bisakah aku minta bantuan padamu?"

Tadinya Jeongin akan segera memaki orang asing yang menyenggol dirinya. Tetapi saat menemukan sosok remaja laki-laki yang duduk di atas kursi roda berada di sebalh tubuhnya, ia urungkan sumpah serapah tersebut dan di telan kembali bulat-bulat.

"Tidak masalah, ada yang bisa aku bantu?" Sahutnya ramah. Meski tidak dipungkiri di dalam suara tersebut sungguh kentara dengkus sebalnya.

"Eumm, aku ingin pergi ke atap. Namun sedikit kesulitan untuk mendorong kursi rodaku sendirian, apa kau tidak keberatan untuk membawaku ke sana?"

Untuk beberapa momen, Jeongin menaruh perhatian penuh sembari menelisik figur wajah remaja laki-laki tersebut. Alisnya bertaut satu sama lain, pertanda bahwa saat ini ada yang tengah ia pikirkan meskipun entah apa. Yang Jeongin itu sukar dibaca.

"Tentu saja," sahutnya ramah.

Ia segera pergi ke belakang remaja itu, memegang dua sisi kursi roda yang ditumpangi lantas mendorongnya menuju lift.

"Apa yang ingin kau lakukan di atap?"

Jeongin melirik ke bawah, mencoba membaca gerak-gerik anak itu melalui posisi belakang jika saja bisa. Namun tidak, ia tidak mampu menemukan apa-apa selain gelengan pelan.

"Aku hanya ingin mencari udara segar, di taman tadi terlalu ramai."

Bibir pria Yang itu membulat tanpa mengeluarkan suara selain angin hampa, kemudian membawa keduanya masuk ke dalam lift yang pintunya telah terbuka. Ia segera menekan tombol lantai paling atas, yaitu lantai ke dua puluh tujuh. Dan senyap lantas mengambil alih suasana.

Jeongin tidak punya topik cakap yang bisa mengusir canggung di antara mereka, namun rasa-rasanya orang di hadapannya ini lebih nyaman dalam keadaan diam begini. Ia mengendikkan bahu, tak mau ambil pusing. Toh tugasnya hanya mengantarnya untuk ke atas sebagai mana yang diminta.

Seketika sampai di tempat tujuan, Jeongin lepas tangan dari kursi roda itu. Si pemilik tidak memandangnya namun tetap mengucapkan terima kasih.

"Sama-sama."

Dan setelahnya ia undur diri, meskipun rasanya ada yang tidak beres dengan remaja tersebut. Namun kembali lagi itu bukan urusannya dan Jeongin tidak mau tahu.

***

Saat masuk ke dalam unit apartemennya, Changbin menemukan Hyuna tengah bercumbu dengan pacarnya, Dawn. Pemandangan kelewat biasa yang sama sekali tidak pernah ia pusingkan.

"Oh, kau sudah pulang, Bin?"

Pemuda bernama belakang Seo itu menyeringai tipis atas sapaan Hyuna terhadap kehadirannya. Pergi ke kamarnya tanpa susah payah menyahut pertanyaan retoris wanita itu. Changbin pulang hanya ingin mengganti pakaian saja setelahnya ia akan pergi lagi.

"Kudengar tadi kau pergi menemui Heojun, bagaimana?" tanyanya dengan suara lebih keras.

Hyuna tampaknya sedang berada di dapur, karena suaranya lebih kecil dari yang dapat Changbin tangkap. "Ya begitulah, kau tau sendiri dia sangat membenciku. Apa kau akan ke sana?"

Changbin akan menjawab, namun ponsel yang bergetar di atas nakas membuatnya mulutnya kontan terkatup. Terlebih nama yang terpampang pada layar rata benda pintar tersebut. 'Perawat Shin', begitulah yang tertera. Dia adalah orang-orang yang merawat adiknya selagi ia bekerja.

"Halo?"

"Changbin-ssi, Heojun berusaha untuk melompat dari atap."

"Aa--apa?"

"Tapi dia..."

Changbin tidak tunggu suster itu menyelesaikan kalimatnya. Ia buru-buru lari keluar apartemennya dengan jantung berdegup kencang. Anak nakal itu benar-benar!


***

Jeongin memandang penuh pada sosok remaja yang saat ini telah terduduk di atas ranjang di kamar inapnya. Dengan kedua tangan terlipat di depan dada, ia memasang wajah kesal yang barangkali saat ini sedang anak itu hindari. Bagaimana tidak? Ia dibohongi.

Bocah yang baru ia ketahui bernama Seo Heojun ini ternyata menipunya, tujuan ke atap bukanlah untuk mencari udara segara melainkan cari mati. Beruntung saat itu dirinya tidak segera pergi dan menuruti firasatnya yang mengganjal. Benar saja, remaja itu berusaha memanjat pembatas atap dan sebelum melompat Jeongin telah lebih dulu menariknya.

Karena jika sampai hari itu Heojun benar-benar lompat dari sana, maka ia bisa dijadikan tersangka pembunuhan dan itu sama sekali tidak lucu jika benar-benar kejadian.

Rasa-rasanya Jeongin ingin mengomeli bocah ingusan ini, namun kehadiran seseorang pada ruang tersebut membuat niatnya urung. Dari wajahnya, mereka terlihat cukup mirip untuk diasumsikan bahwa sosok pria yang baru saja masuk adalah kakaknya. Seperti apa yang salah satu perawat katakan tadi.

Orang itu terlihat kacau, tentu saja. Adiknya nyaris mati sia-sia. Meraka beradu pandang beberapa saat hingga akhirnya Jeongin tahu diri untuk membiarkan sepasang kakak adik itu berbicara empat mata. Dan tanpa sepatah kata, ia pun undur diri.

Ketika langkahnya sampai tempat di ambang pintu, sebuah suara nyaring membuat tungkai itu berhenti sejenak.

Plak!

"Kau cari mati, huh!" Tepat setelah suara pertemuan antara kulit dengan kulit itu mengudara, pekik sakit pun menyusul.

Jeongin tidak perlu curi pandang pasal apa yang sedang terjadi karena ia cukup tahu persis. Lantas tungkainya kembali mengambil langkah menjauh, dan dihabiskan tepat di dinding tepat sebelah pintu kamar yang bertuliskan nama 'Seo Heojun' tersebut.

"Iya!! Aku memang ingin mati!! Aku muak hidup seperti ini!" Heojun balas berteriak menggunakan paru-parunya. Entahlah Jeongin tak yakin, namun itu terdengar cukup nelangsa.

"Kau tidak tau betapa aku ingin mati, hah?! Kau pikir dengan segala uang yang kau dapatkan dengan cara menjijikkan itu membuatku lebih baik?!? Tidak, kak!! Sama sekali tidak. Setiap kali melihat wajahmu aku ingin muntah, membayangkan kau menjual dirimu pada orang-orang sialan itu membuatku muak. Dan kau masih berpikir aku ingin hidup?? Kau gila, kak! Aku bahkan tidak sudi menganggapmu sebagai kakakku, kau menggelikan sungguh!"



Jeongin menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Melihat ke seluruh penjuru untuk memastikan bahwa tidak ada orang lain di lorong itu selain dirinya. "Ah, aku tidak seharusnya curi dengar."


.
.
.
.
.
.
.
***

Uiayejw

ANIMALS  | 19+ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang