Part U

561 33 16
                                    

Aku melangkah memasuki ruang kelas. Suasana kelas sudah ramai karena lima menit lagi bel masuk berbunyi. Aku beruntung masih bisa bangun pagi setelah sebelumnya aku sempat kelelahan karena melayani Adit.

Pandanganku menelisik semua orang dalam ruangan yang entah kenapa menatapku dengan tatapan aneh. Bahkan ada yang terang-terangan memelototiku. Ingin ku mengabaikan mereka, namun tidak bisa. Semua perhatian yang tertuju padaku benar-benar terasa mengintimidasi. Kuputuskan tetap berjalan menuju bangku pojok belakang, tempat biasa aku duduk. Aku tetap mencoba tak acuh. Biasanya ada Pram dan Ardi yang duduk di sekitarku, tapi sekarang aku sendirian di tengah banyaknya nyawa manusia.

Aku membuka ponsel untuk mengurangi perasaan yang sangat tidak nyaman. Aku benar-benar benci keadaan ini. Data seluler kuaktifkan, setelahnya ada beberapa notifikasi muncul. Aku sempat terkejut karena grup kelas mendadak sangat ramai. Ada seratus lebih chat, padahal tadi malam masih sepi.

Penasaran dengan pembahasan apa yang membuat grup kelas mendadak ramai, aku langsung membukanya. Di awal chat, ada dua buah foto. Aku membukanya.

Deg

Nafasku tercekat.

Jantungku seolah berhenti berdetak. Mataku menatap nanar pada dua foto yang menampilkan diriku sedang berciuman seorang laki-laki yang disensor wajahnya. Aku yakin lelaki itu Adit.

Di bawah foto itu terdapat satu video. Dapat ku pastikan itu adalah videoku karena pengirim foto dan video adalah orang yang sama. Aku nekat membukanya. Pandanganku langsung disuguhkan dengan adegan dua orang laki-laki yang saling menindih. Lagi-lagi wajah Adit disensor, dan wajahku dibiarkan terekspos.

Dadaku panas. Tanganku terkepal sangat kuat, bersiap meluncurkan pukulan pada Iqbal. Dengan gerakan cepat, aku menuju cowok itu dan menghujaninya dengan pukulan bertubi-tubi. Aku tidak peduli dia mati atau apa. Yang aku tahu, cowok itu pantas menerimanya. Bahkan kurang. Dia sudah menghancurkan harga diriku sehancur-hancurnya.

Iqbal sama sekali tidak melawan. Dia hanya pasrah dan menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Aku semakin kalut. Sementara, sudah banyak orang yang menahanku memukul Iqbal.

Aku yang hanya sendirian kalah jumlah dengan mereka yang melindungi Iqbal. Akhirnya aku mundur, walaupun ambisi membunuh Iqbal masih menguar dalam diriku. Entah sudah berapa umpatan kasar kuucapkan, entah sudah berapa makian, dan entah seperti apa pandangan orang yang melihatku seperti ini. Tatapan jijik, miris, dan kasihan aku dapatkan. Apa semua masalahku sebelumnya belum cukup, sampai-sampai masalah seperti ini harus timbul?

"Ternyata ada cowok yang doyan batangan di kelas kita," celetuk salah seorang murid di kelasku.

"Iya. Kayak lagi perang aja, adu pedang. Haha," timpal yang lain.

"Bukan adu pedang. Itu udah tusuk-tusukan."

"Lewat mana tuh?"

"Lobang tai!"

Gelak tawa menggema di ruangan. Kepalaku mendidih, hatiku sakit, sedih, marah, semua perasaan bercampur menjadi satu. Aku kira kemarin adalah hari terburuk, rupanya hari ini jauh lebih buruk. Semua karena Iqbal. Ternyata dia iblis yang sedang balas dendam hanya karena cintanya aku tolak.

"Kira-kira itu pacarnya atau bukan yah?"

"Pacarnya kali."

"Atau mungkin dia om nakal?"

"Maksud lo, dia ngelonte gitu?"

"Jangan keras-keras njir!"

Aku memejamkan mata mendengar semua ucapan mereka. Susah payah aku menahan air mataku agar jangan sampai menetes. Kalau terus di sini, aku hanya akan jadi bahan olok-olokan mereka. Mereka akan semakin senang melihatku tertindas. Aku tidak sanggup lagi mendengar pedasnya perkataan mulut mereka.  Akhirnya aku memutuskan untuk keluar. Tidak peduli absensiku kembali kosong, bahkan aku sempat berpikir untuk pindah sekolah saja. Aku yakin kabar ini akan menyebar sangat cepat. Tak bisa kubayangkan jika satu sekolah mengintimidasi diriku seperti yang mereka lakukan.

LingkupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang