6 - Terulang Lagi

223 103 37
                                    

🌹بسم الله الرحمن الرحيم🌹

•~~اللهمّ صلّی وسلم وبارك علی سيّدنا محمّد~~•

.
.
.
🌹

Hari semakin petang, sinar keemasan perlahan menua dan menjadi merah. Angin lembut mengayunkan ranting beserta dedaunan. Dan dibawahnya telah terhampar lebih dari dua puluh lembar daun pisang. Lengkap dengan nasi, ayam goreng, perkedel kentang, mie goreng, dan urap-urap. Tertata rapi di depan kami yang duduk melingkar.

Pekan seni untuk difabel ditutup dengan makan bersama. Bukan makanan elit seperti steak atau sejenisnya, melainkan makanan sederhana yang diracik dengan kasih sayang dan bumbu cinta. Seperti itulah, hal kecil yang bisa dilakukan untuk memberikan kebahagiaan kepada sesama.

Rei masih mondar-mandir menyelesaikan beberapa hal. Menjadi sie acara membuatnya bertanggung jawab atas kegiatan ini dari awal sampai akhir, dan tentu saja mencegahnya untuk pulang lebih awal.

Adzan Maghrib telah berkumandang. Aku memainkan kaki, mengayunkan keduanya yang menggantung tak sampai menyentuh tanah, mengawasi gerak-gerik temanku yang benar-benar sudah dewasa itu dari sini. Cekatan, supel, dan ringan tangan kepada sesama.

Orang kayak Rei gini kira-kira jodohnya kayak gimana ya? Tiba-tiba terbersit pertanyaan seperti itu dalam pikiranku.

Pasti seorang perempuan yang cantik nan sholihah, seorang yang berhati lembut dan penuh kasih sayang, kujawab sendiri pertanyaan itu. Aku tertawa kecil karenanya.

"Kesambet ya?" Celetuk Rei yang sudah berdiri di hadapanku.

"Iya kesambet jin di depanku,"

"Lah, aku dong?" Rei tertawa dan menunjuk dirinya sendiri.

Aku mengamati sekeliling dan hanya tinggal Rei saja panitia yang tersisa di sini.

"Udah selesai semua?" Tanyaku.

Rei menganggukkan kepala, "Yuk pulang!"

Senang sekali bisa menghabiskan waktu di sini. Memaknai hal-hal kecil yang mereka tunjukkan membuatku berpikir bahwa kebahagiaan itu ada dalam diri kita sendiri, tidak peduli bagaimana pendapat orang lain, jika kamu bisa membuat kebahagiaanmu sendiri, maka kamu akan bahagia.

(Kruk! Kruk!)

Perutku menagih jatah asupan yang terlewat. Saking asiknya menemani adik-adik itu makan sampai aku sendiri lupa untuk menyuapkan nasi pada mulutku.

"Rei, laper!"

"Ya udah jalannya cepetan, biar bisa cepet sampai di rumah," katanya.

"Enggak pingin makan dulu gitu?" Aku mencoba membuat penawaran kepada pria baik di depanku ini.

"Udah jam segini, nanti kamu pulang kemaleman. Makan di rumah aja," jawab Rei tanpa menghentikan langkahnya, mematahkan harapan perut yang sempat membumbung dua detik yang lalu.

Langkahnya dipercepat, dan aku mengikuti dengan setengah berlari, menyusul kaki panjang yang berjalan di depanku itu.

(Kruuuk!) Kusapukan telapak tangan pada lempeng perut yang tipis, membisikkan padanya untuk tenang. "Baru habis Maghrib juga, makan dulu bentar kenapa sih?" Gerutuku.

Rei menghentikan langkah, membuatku menabraknya. Dia berbalik ke arahku, menatap jauh ke dalam bola mataku. "Makan di rumah!" Tegas Rei. Dia tidak membuka peluang negosiasi sama sekali.

"Ish! Iya iya." Aku kalah.

Pemuda yang satu ini memang beda dari yang lain, sangat berhati-hati dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Apa dia kuper? Atau saklek dan kaku? Tidak. Dia hanya manusia yang sangat menghormati perempuan.

WA'ALAIKA KOOKIE-SSI! [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang