Revano
Hari pertamaku berjalan dengan lancar. Bagaimana tidak? Aku sudah rela begadang semalaman demi mempelajari materi yang akan kuajarkan hari ini.
Aku tidak ingin mengecewakan siapa pun, apalagi mempermalukan diri sendiri. Jadi sebisa mungkin, aku tampil layaknya guru profesional di hadapan para siswa.
Setidaknya aku juga harus bisa mengambil hati mereka, kan? Siapa tau suatu saat mereka bisa menjadi jalan untuk kembali meraih Indiraku.
Sayangnya, aku sama sekali tidak melihat Indira lagi setelah pertemuan kami tadi. Setelah dari ruangan Pak ketua yayasan aku kembali ke ruang guru, tapi dia belum juga kembali. Padahal, yang kudengar dari guru perempuan yang entah siapa namanya, seharusnya Indira duduk di meja sampingku.
Lalu, kemana dia selama hampir seharian ini?
Aku terus memikirkan hal itu sampai mataku menangkap pemandangan yang begitu tak asing. Di depan sana, tampak gadis berambut panjang sedang berjalan dengan gontai.
Tunggu dulu.. Itu Indira, kan?
Aku melambatkan laju mobilku, memastikan bahwa dugaanku tidak salah. Begitu aku yakin bahwa itu memang dirinya, aku di landa bimbang. Sebaiknya aku turun atau mengawasinya saja dari sini?
Jalanan ini lumayan sepi, perlu sekitar 200 meter untuk sampai ke jalan raya. Kalau aku turun, memangnya Indira akan mau kuantar pulang? Tapi aku benar-benar tidak tega membiarkannya berjalan sendirian seperti itu.
Setelah pergelutan alot dari dalam diriku, akhirnya aku memilih untuk membunyikan klakson. Persetan dengan responnya nanti!
Dia berhenti, tampak mengamati mobilku. Kemudian aku memberanikan diri untuk menurunkan kaca mobil. Dan tidak seperti dugaanku, dia malah mematung di tempatnya. Mengamatiku seolah aku makhluk asing yang tiba-tiba muncul di depannya.
Aku menghembuskan nafas kasar. Berusaha mengabaikan rasa sakit akibat responnya terhadap kehadiranku.
Melihat dia yang tampak tidak akan lari, aku akhirnya turun setelah menepikan mobil. Berjalan ke hadapannya yang kini menunduk dalam, tampak mengepalkan kedua tangan di samping tubuhnya.
Aku berusaha meraih pundaknya setelah dua kali panggilanku diabaikan. Tapi dia mundur dengan sigap, menghindar seolah aku hama menjijikkan.
Aku mendengus kasar, benar-benar tidak tahan dengan pengabaiannya. Akhirnya bibirku bergerak, mengeluarkan kalimat yang sudah ingin kuucapkan sejak perjumpaan pertama kami di toko waktu itu.
"Ra, aku tau kamu kesel sama aku. Mungkin, kamu juga membenciku. Tapi, apa aku nggak punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya?"
Dia tampak kaget, lalu kepalanya mendongak menatap mataku. Dia hanya diam, dan aku tidak tau harus berbicara apa lagi.
Demi Tuhan! Menatapnya sedekat ini membuatku tergoda untuk menangkup kedua pipinya, tapi aku yakin, dia akan mundur seperti yang dilakukannya tadi.
Tapi aku tidak peduli lagi, melihat binar sakit di matanya membuatku hilang akal. Jadi, tanpa mempedulikan kemungkinan akan ditolak lagi, tanganku bergerak menuju pipinya. Memetakan wajah yang sudah sangat lama kurindu.
Matanya melebar, tampak kaget dengan tindakanku. Tapi dia tetap diam. Tidak mundur atau menolak perlakuanku.
Tuhan, betapa aku merindukan wajah ini. Betapa aku menyesali perkataan kejam yang kulontarkan padanya dulu. Betapa inginnya aku memutar waktu demi bisa menghapus kejadian malam itu.
Dia masih diam. Hanya matanya yang terus bergerak gelisah. Tampak tidak nyaman dengan apa yang kulakukan. Aku mengelus lembut pipinya, berusaha membangkitkan kenyamanan yang selalu berhasil kupersembahkan bertahun-tahun lalu .
KAMU SEDANG MEMBACA
Lajur Rasa - [END]
Fiction générale"Ra, aku tau aku salah. Tapi sekarang aku udah disini, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi."- Revano "Kamu nggak salah, aku yang egois. Dan si egois ini, nggak pantes ada disisi manusia sempurna seperti kamu."- Indira **** Antara cinta dan cita...