PROLOGUE

135 17 5
                                    

Ia melingkari angka ke 12 pada bulan Maret yang menandakan hari kemarin. Kegiatan ini adalah salah satu rutinitasnya di pagi hari untuk mengisi waktu sebagai tahanan. Bibir tipisnya mengeluarkan napas lelah atas rasa bosan yang menerpanya. "Hari ke sembilan ratus sepuluh," ucapnya sambil membanting diri di kasur tipis tempatnya bernaung selama ini. Tidak ada hiburan, tidak ada ponsel, tidak ada teman. Kini, ia sadar alasan pentingnya penjara bagi seorang penjahat. Setidaknya, selama 2 tahun ini sudah cukup baginya untuk merenungi kesalahan. Namun, butuh 17 tahun lagi baginya untuk bisa menghirup udara bebas.

Sebagai salah satu terpidana kasus narkoba, ia ditempatkan dalam sel tersendiri yang lebih ketat penjagaannya. Ia juga dipenjara atas kasus pembunuhan seorang model yang sempat menggemparkan jagat dunia hiburan 2 tahun yang lalu. Kesalahannya diperparah dengan kasus penyuapan anggota kepolisian yang diskenariokannya untuk membebaskan sang ayah dari penjara. Semua kejahatan itu dengan ikhlas telah dibayar dengan pengakuan dan penyerahan dirinya. Atas tindakannya, ia tidak mendapat hukuman mati melainkan penjara dengan masa kurungan 19 tahun.

Suara benturan kunci dan gembok cukup keras untuk membangunkannya dari dunia khayal. Seorang sipir laki-laki berpakaian seragam dengan topi yang menutupi hampir setengah wajahnya memasuki sel tersebut. Ia membawa sepiring makanan yang tanpa mengatakan apapun langsung diletakkannya di atas meja. Segelas air menemani makanan tersebut. Sipir itu hendak berbalik ketika tahanan di hadapannya terkikik mengerikan.

"Ada apa?"

Pemuda itu berhenti tertawa. Ia melirik sarapan berupa nasi, sayur, dan telur ceplok tanpa minat. "Bawa kembali makanan itu. Aku tidak ingin memakannya."

Sipir itu mendekatinya. Aura kemarahan serta berang yang mendarah daging terlihat dari raut mukanya. Kali ini bentakan terdengar membahana hingga membuat tahanan lain terkejut mendengarnya. "Siapa kau berani menentangku? Kau hanya seorang tahanan yang tidak berhak membantah."

"Selama dua tahun ini aku sudah sangat penurut, Pak. Sejak awal aku bahkan membantu kalian membongkar salah satu jaringan Narkotika yang besar." Pemuda itu beringsut mendekat ke depan meja seukuran perutnya saat duduk dan memperhatikan makanan dengan nasi panas yang terlihat mengepul asapnya. "Tapi, tidak kali ini. Aku masih ingin hidup. Keracunan tidak termasuk rencana hidup yang aku pikirkan."

Pemuda itu dapat merasakan sentakan penuh keterkejutan pada tubuh sipir di hadapannya. Ia kembali mundur. Tangan kanannya berkibas tidak sopan, sekadar meminta sipir itu untuk pergi membawa makanan. "Kau meracuni makananku. Dua tahun ini aku selalu makan dengan susunan nasi dan lauk yang sangat berantakan. Orang-orang dapur di rumah tahanan ini sangat berandal dalam memberikan makanan―mungkin mereka menganggap penjahat seperti kami adalah sampah. Tapi, itu lebih baik daripada oknum sipir yang hendak membunuh tahanannya."

Kerah kaus milik pemuda yang masih asyik menggerutu tersebut ditarik kasar oleh sipil. "Kau benar-benar sangat berani!"

"Aku tidak mendengar suara troli makanan saat kau datang, Tuan. Kau harus membawanya jika tidak ingin bolak-balik keluar masuk dapur hanya untuk mengantarkan makanan pada tahanan," Pemuda itu mengintip nama sipir yang tertulis di dada. "Wiki Darmansyah. Seingatku, ia adalah sipir penjaga tahanan di sebelah utara gedung ini. Aku pernah bertemu dengannya saat kami sedang kerja bakti membersihkan sel bersama. Saat itu, ia menatap kami layaknya kecoa yang begitu rendah. Tidak ada satu hal pun yang bisa menjatuhkan sifat angkuhnya. Tidak dengan menyembunyikan wajah dibalik topi. Itu jelas bukan dirinya."

Mata pria itu membola. Sekalipun tertutup dari cahaya, tahanan berpakaian biru dongker itu jelas melihat raut kepanikan. Pemuda itu mendorong pria itu dan beringsut kembali ke sudut sel untuk duduk di sana. "Bawa kembali makanannya, Tuan."

"Aku tidak peduli apa yang kau katakan! Sekarang, makan!" Orang yang menggunakan name tag Wiki membawakan piring putih itu di tangan sebelah kiri sementara tangan sebelah kanannya tersembunyi di dalam saku celana.

Hal yang membuat Si Tahanan siaga. Ia telah berpuluh kali menghadapi bahaya dan kematian, maka cara amatir yang dilakukan sipir gadungan ini tidak akan mungkin luput dari pandangannya. Daripada menerima makanan, ia lebih memilih mengejek pria itu. "Aku terlalu ahli untuk membedakan makanan beracun atau tidak hanya dengan sekali pandang, Pak. Aku mendekam di penjara ini juga karena menghilangkan dua nyawa berkat racun." Pemuda itu berdiri, siap dengan kuda-kuda untuk menjaga diri. "Ah, aku lupa. Kau mungkin sudah mengetahuinya dari organisasi itu."

Makanan diletakkan di lantai. Si Tahanan tidak melepas sedikitpun pandangan. Tidak pula di saat sipir itu mengeluarkan pisau dengan sangat cepat dari saku kanannya dan hendak menusukkannya pada pemuda botak tersebut. Si Tahanan berkelit, lalu terkekeh merasakan tubuhnya agak kaku karena jarang bertarung lagi. Namun, itu bukanlah persoalan.

'BUK!'

Karena dengan satu kali sikutan di belakang lehernya, sipir itu tumbang seketika. Pisau lipat yang diacungkan untuknya kini diambil untuk ia genggamkan pada tangan lemas sipir yang pingsan. Gerakan itu begitu cepat, bahkan tidak sempat ditangkap mata oleh rombongan sipir lain yang terkejut melihat keadaan.

"Kau memberontak, Cleosa!"

Pemuda bernama Cleosa itu menggeleng lucu. "Astaga. Aku hanya membela diri. Kenapa kalian selalu mencari-cari kesalahanku? Apa agar aku bisa ditempatkan dalam sel isolasi yang ketat sehingga kamera pengawas tidak akan menjadi saksi jika suatu hal buruk menimpaku?" sarkasnya disambung dengan tawa kecil. Ia kembali duduk di sudut dan menunjuk makanan di lantai. "Ada yang hendak meracuniku. Lebih baik kalian memeriksanya."

Salah satu sipir menatap sengit. "Kau mungkin saja menuangkan racun di sana untuk membela diri."

"O ya? Lalu, bagaimana jika racun itu diletakkan di bawah sayur? Aku tidak mungkin bisa menaburkannya di sana tanpa membongkarnya terlebih dahulu. Tapi, makanan itu rapi. Itu berarti, seseorang telah menaburkannya sembari menyusun lauk-pauknya." Jari telunjuknya mengarah kepada sipir yang terbaring telungkup. "Lagipula, lihatlah sipir itu. Apa ia orang bernama Wiki seperti yang kalian kenal?"

Suara napas tertahan terdengar dari tiga orang sipir yang hendak mengangkat tubuh tak sadarkan diri tersebut. Pria ini bukan sipir, melainkan seseorang yang menyamar. Hal itu sedikitnya membuat beberapa sipir menunduk yakin bahwa Cleosa tidak bersalah. Sisanya merasa malu sekaligus marah karena sekali lagi tidak bisa menunjukkan sedikitpun kesalahan pemuda itu.

Sepeninggal sipir-sipir tersebut, kini sel kembali terbuka berikut suara troli yang terdengar dari kejauhan. Seorang sipir bertubuh pendek memberikan makanan berikut senyum yang ramah. Hal yang membuat batin si tahanan merasa lega. Susunan makanannya pun adalah yang biasa disajikan oleh orang-orang dapur. Ia pun bisa melahapnya dengan tenang.

Di balik sel ini, ia hanya bisa melihat orang yang hilir mudik. Jeruji menjadi pembatasnya dengan dunia luar, juga membuatnya seperti barang tontonan. Ia merasa tidak berbeda dengan hewan di kebun binatang. Baginya tidak masalah. Jika diminta mati pun, ia ingin melakukannya dengan tenang. Tidak dengan teror yang membuatnya tidak bisa menebak kapan nyawanya akan menghilang. Dalam termenung, ia hanya bisa menggenggam pundak yang masih terasa ngilunya hingga saat ini. Sendi pelurunya menjadi sasaran tancapan pisau 3 bulan yang lalu. Ia bisa melumpuhkan penyerangnya, namun tidak dengan rasa yang masih berbekas hingga saat ini.

"Astaga, tujuh belas tahun lagi..," Genggaman sendok berujung pada penusukan pelan di bongkahan nasi di piringnya. Sekalipun pernah menjadi pembunuh, ia tidak tahu jika rasanya 'diincar' akan begini menakutkannya. Rasanya Tuhan sedang menghukumnya agar merasakan selayaknya orang yang pernah menjadi korbannya. "Sampai kapan aku mampu bertahan?"


- To Be Continue -

IN Series 5: CincinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang