Aku berdecak kesal. Kuseka sudut bibir dan merasakan aroma anyir darah menetes tanpa perlu melihatnya. Jika Ibu melihatku pulang dalam keadaan seperti ini, beliau pasti akan memukulku dengan panci teflon pink miliknya. Tapi ini masih tidak seberapa perih dibandingkan perasaan sialan itu. Bertahun-tahun jiwaku hidup di dasar lubang yang dalam. Perasaan bahwa aku mampu keluar dari label pecundang yang telah lama melekat.
"Si kecilku mulai pandai berkelit rupanya."
Idiot itu mendengus. Memamerkan seringai seorang psikopat, bagai serigala menemukan domba buruannya. Ah, tidak. Bagiku Namjoon sekarang tampak seperti beruang grizzly yang terluka. Kelopak mata kirinya membengkak setelah lengah dari pukulan telakku. Darah segar juga mengucur dari pelipisnya.
Dengan wajah sengit, Namjoon kembali berderap. Bersiap melakukan serangan balik. Aku mengingat-ingat kembali teknik taekwondo yang diajarkan Jimin ssaem di kelas privat. Tapi semua ingatan itu justru tak kunjung datang saat kubutuhkan. Tak ada pilihan selain mengandalkan naluri. Lawan, lawan, lawan, lawan, lawan...
Yang kuingat hanya berusaha secepat mungkin meraih bagian belakang kedua lututnya dengan tangan kiriku, melumpuhkan tubuhnya secepat mungkin, lalu menekan lehernya dengan lengan kananku. Namjoon terjungkal seketika, tapi tubuh besarnya tak mudah kukendalikan. Kedua tangannya terus menggapai-gapai udara, berusaha melakukan perlawanan, sementara napasnya terengah-engah.
"K-kau ingin membunuhku? Ha-ha-ha... Ha-ha-ha..."
Rahangku mengeras. Bahkan dalam kondisi terdesak pun bajingan ini masih bisa tertawa. Sekarang siapa yang pantas mati?
Cuih!
Aku tidak sekejam itu untuk meludahi wajah yang memperlakukanku seolah aku sampah peradaban. Jadi aku hanya meludah ke sisi kiri kepalanya. Tapi supaya adil, sepertinya satu pukulan keras cukup untuk menyempurnakan luka memar di pelipis kanan.
Namun belum sempat aku melayangkan tinju, kurasakan saraf kepalaku berdenyar. Rupanya Namjoon masih cukup kuat untuk menghantam kepalaku dengan lututnya. Astaga, apa di masa lalu pemuda ini adalah titisan Hulk? Kami terus bergulat dan menyerang satu sama lain. Sementara serpihan salju berguguran dari langit dengan cepat memenuhi netraku oleh warna putih.
"Cih, konyol sekali. Si brengsek kecil sekarang... semakin mahir... menghajarku." Namjoon melontarkan sarkasme khasnya dengan napas terengah.
"Dasar kau begundal besar. Seharusnya aku sudah tiba di rumah dan menyantap jajangmyeon buatan ibuku."
Awalnya aku menahan desakan untuk terkikik. Tapi suara tawa yang mendadak dari begundal besar itu mengagetkanku. Dan harus kuakui tawanya menular. Selama beberapa jenak kami meledak dalam tawa. Perisak dan dirisak berakhir tergeletak di jalanan bersalju menertawakan hal absurd, lantas tenggelam dalam pikiran kami masing-masing.
"Sudah sebesar itu masih anak mami."
"Ternyata kau tidak semenakutkan itu."
Sial! Sekarang pakaianku tampak menyedihkan setelah kami saling menghajar dan berguling-guling di jalanan, menjadi tontonan pejalan kaki yang lewat. Salah satu kancing kemejaku juga lepas saat tadi Namjoon menarik kerah bajuku dengan kasar. Seluruh tubuhku terasa remuk redam akibat pertarungan ini, juga oleh dinginnya tumpukan salju yang kian menebal menembus tulang. Ke mana aku harus menginap malam ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Abyss
Short Story[ONE SHOOT] Bagaimana rasanya menjadi pecundang? Kau tidak akan pernah tahu bagaimana hal seperti itu benar-benar nyata, ada di dunia, jika kau tak pernah dilahirkan sebagai pecundang. Karena aku Kim Seokjin, adalah bagian dari kelompok tersisih itu...