Sesampainya di UKS. Brandon melihat Abigeal yang terbaring di ranjang, serta Dion yang duduk di kursi sambil menggenggam erat tangan Abigeal. Brandon mencoba menetralkan napasnya di pintu masuk UKS. Dion yang melihatnya pun langsung menghampirinya.
"Lain kali utamakan keselamatan orang lain, bukan amarah!" Dion menepuk bahu Brandon cukup kasar.
Brandon tidak menghiraukan perkataan Dion dan berjalan ke arah Abigeal. Dia tidak marah degan ucapan Dion, melainkan dia merasa ucapan Dion benar. Keselamatan seseorang itu lebih penting, lagi pun orang itu adalah Abigeal. Seorang yang seharusnya dia jaga.
"Geal!" Brandon menyapa Abigeal yang sudah bangun dari tadi, "Mana yang sakit?" tanyanya lirih.
Abigeal menggeleng pelan, dia tidak menatap wajah Brandon sama sekali. Abigeal teringat saat dirinya tadi terbangun dan yang dilihatnya malah Dion, bukan Brandon. Yang menjadi pertanyaannya saat itu adalah 'Kenapa Dion? Di mana Brandon?' Pertanyaan itu tidak diutarakannya kepada Dion. Dia hanya diam saat Dion menggenggam erat tangannya sampai Brandon datang.
"Hei, lihat sini!" pinta Brandon dan memutar kepala Abigeal agar menatapnya.
Abigeal menggertakkan giginya menahan tangis. Dia lemah saat ini, walau bagaimanapun juga dia tetap saja seorang perempuan yang identik dengan kata cengeng. Abigeal melihat wajah Brandon yang tenang, tapi terlihat jelas kalau dia khawatir. Tidak bisa dibendung lagi, air mata Abigeal kini tumpah dihadapan Brandon. Dengan kasar Abigeal memutar kembali kepalanya untuk menyembunyikan tangisnya.
"Hei! Hei! Hei! Jangan nangis!" Lagi-lagi Brandon memutar kepala Abigeal agar menatap ke arahnya, "Sakit? Yang mana?" tanya Brandon pelan sambil mengusap air mata Abigeal.
"Ehe! Kirain enggak bakalan datang!" seru Abigeal jelas memyindir dan malah menyakiti hatinya sendiri.
Sudah dipastikan Dion tidak lagi berada di sana saat ini. Dia tidak mau melukai dirinya sendiri dengan terus-terusan melihat drama dua orang kekasih di depannya. Dion memang tidak ingin menyerah, hanya saja ini terlalu melukainya.
Brandon tampak menarik napas bersalah. "Maafin gue! Gue terlalu emosi, gue---"
"Udahlah, lupain!" potong Abigeal karena mengingat kata-kata Gelin waktu itu yang mengatakan kalau dirinya hanya pelampiasan.
"Enggak! Enggak! Gue enggak bakal lupain! Gue benar-benar minta maaf! Gue cuma emosi sama orang yang buat lo pingsan, itu aja. Gue enggak berniat untuk mengabaikan lo, Geal," ujar Brandon lirih.
Abigeal menatap Brandon dalam, sejenak dia ingin mempercayai ucapan Brandon, tapi dia juga mempercayai ucapan Gelin. Dia tentu bingung sekarang. Jika benar Brandon peduli, lalu kenapa dia tidak mementingkan keselamatannya terlebih dahulu? Jika benar dia hanya sebagai pelampiasan, lalu kenapa dia berkata seolah dia benar-benar menyesal? Pikiran Abigeal benar-benar kacau.
"Maafin gue! Gue bakal nebusnya, apapun yang lo minta, akan gue kabulin. Ayo, mau apa?" ujar Brandon lagi dengan nada lebih pelan.
"Bilang!" ujar Brandon lagi.
"Apa yang harus gue katakan? Sedangkan yang gue mau udah ada di sini!" seru Abigeal mencoba melawan egonya, walau masih terlalu sulit untuk diucapkan.
Brandon pun tersenyum lebar karena pada akhirnya Abigeal pun memaafkannya. "Sini!" pinta Brandon sambil membentangkan kedua tangan.
Abigeal pun mencoba untuk duduk dan memeluk Brandon. Rasa cintanya begitu besar untuk Brandon. Mulai sekarang dia bertekad untuk tidak mau lagi mendengarkan ocehan orang-orang diluaran sana. Yang ingin merusak hubungannya dengan Brandon. Karena dia berusaha untuk yakin, kalau Brandon tidak akan mungkin melakukan apa yang dikatakan Gelin.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Direction (End✅)
Teen FictionGenre : Comedy romance Follow sebelum baca! Tidak ada yang spesial di sini. Hanya cerita gaje tentang pasangan gila dan persahabatan yang juga gila. Start : 28 Desember 2020 Finish : 11 Maret 2021