Part 74

422 63 0
                                    

Dion menggandeng Abigeal keluar dari area pesta dan mengajaknya keparkiran. Sudah pasti kalau Dion ingin mengajaknya untuk berbicara jauh dari area pesta. Raut wajah ragu semakin terpancar di wajah Abigeal, saat Dion memintanya masuk ke mobil. Tetapi, mengingat Dion yang tampak benar-benar ingin berbicara berdua saja dengannya, membuat Abigeal lagi-lagi menurutinya saja.

"Kita mau kemana?" tanya Abigeal diperjalanan.

Dion menoleh ke arah Abigeal sejenak. Kemudian dia kembali fokus ke depan tanpa menjawab pertanyaan Abigeal. Karena tidak mendapatkan jawaban dari Dion, Abigeal kembali terdiam. Perasaannya mulai tidak enak. Pikirannya melayang entah kemana, Dion malam ini benar-benar aneh. Bahkan, tadi di sekolah dia kelihatan baik-baik saja.

Merasa tidak tahan lagi dengan diam-diaman seperti ini, Abigeal kembali angkat bicara. "Dion, ada apa? Lo ada masalah?" tanya Abigeal sambil menyentuh pundak Dion.

Bersamaan dengan itu, Dion menghentikan laju mobilnya di area yang sedikit sepi pengendara motor dan mobil, bahkan juga pejalan kaki. Terlintas dipikiran Abigeal saat ini adalah tindakan kriminal yang mungkin akan Dion lakukan. Dia berpikir kalau Dion mungkin saja akan membunuhnya di sini.

"Ke--kenapa berhenti?" tanya Abigeal sedikit kebingungan.

"Kamu turun dulu!" pinta Dion, suaranya terdengar sangat tidak bersahabat.

Abigeal menghembuskan napasnya perlahan. "Okey!" patuhnya.

'Tenang Abigeal! Kalau dia bawa senjata tajam, lo harus lari jangan ngelawan! Dia itu jago karate, bisa-bisa lo mati dalam seketika olehnya!' batin Abigeal memperingati dirinya sendiri.

Tidak lama kemudian. Dion tampak membuka pintu mobilnya perlahan. Membuat Abigeal semakin yakin kalau Dion sedang hati-hati dalam membawa senjata tajam. Atau mungkin senjata yang lebih besar sehingga membuat gerakan Dion terbatas.

'Lari, Abigeal, lari! Jangan dilawan!' batin Abigeal lagi dan berbalik badan hendak lari.

"Geal, aku akan kembali ke Jepang!" suara parau Dion terdengar menyedihkan di telinganya.

"Eh?" Abigeal kembali berbalik dan mendapati Dion yang sudah memakai jaket kuning dan sebuah sebo diatas kepalanya.

"Bigeal jaga diri baik-baik, ya! Bigeal, jangan nangis! Mungkin kita enggak akan bisa bertemu lagi---"

"Tu--tunggu, ber ... berhenti! Apa maksudnya ... ini?" tanya Abigeal sambil menahan sebuah getaran di bibirnya yang tercipta begitu saja.

Seolah tidak mau menjawab pertanyaan Abigeal, Dion melanjutkan ucapannya, "Soal janji aku, aku udah menepatinya, aku selama ini udah berusaha buat jagain Bigeal. Sekarang 'kan udah ada Brandon yang bakal jagain Bigeal." ucap Dion sambil mendekat ke arah Abigeal yang sudah tidak bisa menahan air matanya. Dion menjepitkan jepit rambut Abigeal yang tadi dipungutnya, "Jangan hilangin lagi, ya! Aku pamit!" ucap Dion kemudian dan berbalik badan hendak beranjak.

Abigeal segera meraih tangan kiri Dion. "A ... Arei? Kamu ... Arei?" tanya Abigeal yang tak mampu lagi membendung tangisnya. Suara isakan itu terdengar pilu yang memaksa Dion kembali menatapnya.

Keesokan harinya dari menyaksikan pertandingan Edward, hal yang tidak pernah di sangka-sangka Abigeal sebelumnya malah terjadi begitu saja. Arei yang pagi-pagi datang ke rumah Abigeal tampak berdiri di halaman rumah Abigeal. Dengan memakai jaket berwarna kuning berpadu dengan hitam dan juga sebo yang menutup kepalanya.

"Arei! Arei kenapa? Arei sakit? Kenapa pake jaket?" tanya Abigeal menghampirinya.

"Geal, Arei bakal pindah ke Jepang! Bigeal, jaga diri baik-baik, ya!" ujar Arei sambil menepuk pelan bahu Abigeal.

The Direction (End✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang