"Hei. Pak Deden belum dateng?"
Sekumpulan anggota klub buku yang sedang mengitari meja bundar di area diskusi perpustakaan menghentikan percakapan bernada rendah di antara mereka. Diana, gadis berkerudung dengan kacamata besar bertengger di hidungnya memutar badan menghadap Lionel. "Kan hari ini pertemuan klub dibatalin, Yo. Pak Deden harus pulang kampung pas istirahat siang tadi."
"Ada pengumumannya di grup," tambah seseorang di antara kumpulan tersebut.
Lionel merogoh ponselnya. Desahan kecewa ia lontarkan ketika melihat pengumuman itu sungguhan ada dan telah ia abaikan. Parahnya lagi, Adara menjadi salah satu anggota klub yang merespons dengan mengirimkan stiker jempol. Sudah pasti gadis itu tidak akan menginjakkan kaki di perpustakaan sore ini.
Lionel menggumamkan terima kasih, lalu memacu langkah tak tentu arah. Ingin Lionel menertawakan dirinya sendiri, bagaimana bisa ia kecewa karena hal sepele seperti ini. Lionel bisa menghubungi Adara dan mengarang alasan apapun untuk bertemu dengannya. Hanya saja, cara seperti itu terkesan menyalahi aturan main dunia yang sejauh ini telah mempertemukan mereka berdua dalam serangkaian kebetulan tak terencana.
Kedua mata Lionel melebar saat menyadari ke mana kedua kaki telah membawa dirinya. Kini, ia berada di lorong yang terhimpit rak-rak tinggi berisi buku-buku yang sangat ingin ia hindari. Matanya bergerak cepat membaca judul-judul yang tercetak di punggung buku-buku itu.
How To Draw Comics For Dummies
Art Block: Every Artist Fear ... Or Is It Myth?
Indonesia dan Seni: Perayaan Warisan Budaya yang Terkristalisasi dalam Cipta Karya
Lionel tidak bisa membayangkan siapa siswa Garda Bangsa yang tertarik membaca buku-buku seperti ini. Koleksi perpustakaan Garba yang terlalu lengkap membuatnya kesal sendiri. Namun, otaknya seperti sengaja menantang tubuh. Tiba-tiba saja, telunjuk Lionel telah terangkat. Ujung jemarinya meraba punggung buku demi buku, hingga terhenti di satu buku yang tidak asing untuknya sama sekali.
Learn To Draw Comics karangan George Leonard Carlson. Sebuah buku untuk pemula yang telah hadir di dunia ini lebih dari seabad ... sekaligus salah satu buku yang menjadi panduannya menggambar komik dulu. Riak-riak memori dahsyat mengguncang batin Lionel. Diambilnya selangkah ke belakang menjauh dari buku itu. Ia menarik napas, menenangkan diri.
"Kasian bukunya kalau lo pelototin terus."
Lionel menoleh. Adara berjarak hanya tiga langkah darinya, berdiri memeluk beberapa buku sambil memandang Lionel dengan tatapan penasaran.
Kemudian, riak-riak itu sirna begitu saja. Lionel mengembangkan senyum. "Gue kira lo nggak ke sini karena nggak ada pertemuan klub."
Pandangan Adara mengarah ke buku di pelukannya. "Gue butuh nyari beberapa referensi buat tugas Sosiologi. Lo sendiri?"
"Gue nggak buka grup. Hehe."
"Oh."
Cukup banyak detik berlalu dalam keheningan. Lionel dan Adara sama-sama kesulitan mencari bahan pembicaraan. Keduanya ingin melupakan saja kejadian di teras Panti Semarak Cita hari Minggu lalu, tapi bagaimana bisa jika ingatan tentang itu terpatri sangat jelas di benak mereka?
"Sebenernya, Ra," Lionel mengawali sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal, "Gue mau minta maaf sama lo. Buat ... yah, kalau misal gue ada salah. Apapun itu."
Truly a lame apology, aku Lionel dalam hati. Namun, wajah cerah Adara dan sebuah anggukan mantap membuat Lionel mengembuskan napas lega. Sepertinya, mereka sudah tahu maksud masing-masing tanpa harus menjabarkan dengan kata.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Mismatch So Perfect [COMPLETED]
Teen FictionAdara dan Lionel ibarat kutub utara dan selatan. Mereka begitu berbeda, selayaknya dua keping puzzle yang tidak akan pernah cocok menyatu. Seharusnya, Lionel tetap menjadi lelaki tampan dan populer dengan dunia tak terjamah oleh Adara. Semestinya, A...