27. Feeling

43 17 2
                                    

Luiz memasuki area kastil Scolamaginer yang masih tampak sepi. Penjagaan saat ini sedang diperketat di daerah kastil utama. Menjaga murid-murid yang sedang berada di puncak sana.

Luiz mengehela nafas. Ia kembali melangkah kan kakinya menyusuri aula luas yang berada di lantai dasar. Tempat yang biasanya selalu berwarna berkat kehadiran manusia-manusia didikannya itu, kini terlihat begitu suram. Kastil tersebut seakan mati begitu kehilangan para remaja yang selalu aktif menghidupkannya.

"Lihatlah, seperti saat masa kekosongan itu bukan?" Sebuah suara menggema itu menyambut kedatangannya. Luiz segera mengetahui dimana letak posisi sang pemilik suara.

"Hei, Bianca. Menurutmu apa yang akan terjadi jika sosok iblis seperti kita diberikan perasaan layaknya seorang manusia?" tanya Luiz yang seakan sedang berada dalam kehampaan dalam.

Wanita berambut merah panjang tersebut mulai menampakkan diri. Langkahnya mendekati Luiz yang berdiri termenung di tengah aula. "Mereka akan sulit untuk menjalankan tugasnya sebagai sosok iblis," jawabnya.

"Iya, itu benar. Namun, sepertinya diriku sudah mulai memiliki perasaan tersebut." Luiz berkata lirih.

Bianca menatapnya lembut. Sosoknya yang memang seperti seorang ibu, harus tetap bisa bersikap dewasa dan menenangkan anak didiknya. Namun, ternyata sikap tersebut malah terbawa hingga ke kehidupan iblis yang sesungguhnya. "Jangan bercanda. Itu sangat tidak masuk akal."

"Aku sungguh. Semenjak anak didik kita terdahulu yang kutemui di dunia fana, Emily, memberiku minuman yang sudah di campur oleh darah suci. Aku benar-benar terpengaruh perasaan. Bagaikan seorang manusia," keluh Luiz mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu.

Bianca menghela nafas. Tatapannya kini menatap Luiz penuh simpati. "Jika membicarakan tentang Emily, aku selalu ingat tingkah konyol yang dilakukannya, namun sangat berarti. Dia benar-benar gadis yang berbakat." Senyum samar terlukis di wajah mulus keibuannya.

"Dan ternyata, dia sangat menginginkan kedudukan sebagai rider disini. Mengapa saat itu, yang dipilih bukanlah dirinya? Melainkan si wanita berambut perak itu?" Hamparan memori kembali terkenang di dalam benak mereka berdua.

"Entahlah. Itu memang keputusan sang raja tak tak bisa kita tolak." Bianca sendiri memiliki perasaan yang serupa dengan Luiz.

"Kemudian, perbuatannya waktu itu, apakah ia merasa sakit hati ya?" Pikirannya melayang, menjelajahi gulungan kenangan yang hanya mampu dilihat olehnya.

"Kemudian dengan dirinya yang sudah menjadi semakin kuat, dia memaksamu untuk menjadi budaknya. Menghukum Lucifer yang telah mengabaikan dirinya. Ini sangat masuk akal." Bianca menimpali.

Luiz menatap wajah perempuan tersebut. Iris merahnya tampak berkilat terbias cahaya dari lilin gantung. "Bukan dirinya. Melainkan darah suci yang didapatkannya. Ia yang menculik Irene, tentu saja. Kemudian menyerahkannya pada kita sebagai salah satu kaded Scolamaginer."

"Kamu benar. Dan sekarang, dirimu yang telah meminum darah suci tersebut, mulai terperangkap dalam perasaan yang menginginkan kebebasan itu. Benar bukan?" Bianca menerka.

"Iya. Kurang lebih seperti itu. Sama seperti Eris yang juga meminum darah tersebut."

Bianca mulai berpaling. Ia melangkahkan kakinya menjauh dari tempat Luiz berdiri. "Tapi, maafkan aku. Sepertinya dalam kasus kali ini, aku tak dapat membantu apapun."

"Tidak masalah. Namun, bisakah aku meminta satu hal padamu?" Luiz menahan kepergian Bianca dengan kalimatnya.

"Apa itu?" Bianca kembali menoleh ke arahnya.

"Tolong, rahasiakan hal ini."

**☆**

Eris berjalan mengitari ruangan tempatnya berdiam diri. Pikirannya benar-benar kacau. Kamar megahnya yang menunjukkan bahwa dirinya merupakan seorang vampir berdarah murni keturunan bangsawan, tak mampu menenangkan kegelisahan yang menimpanya.

The Demonic Paradise ✔  [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang