28. Revolt

42 17 6
                                    

Setelah perjalanan mengelilingi kastil luas yang sangat melelahkan, akhirnya mereka diperbolehkan untuk beristirahat. Dinding-dinding kamar yang lembab dan jarang terkena sinar matahari, membuat keadaan yang teramat mengusik kalbu. Kobaran api yang terpaku di tembok batu terlihat menertawakan keadaan dirinya.

"Mengapa aku sangat memalukan sih?" gerutu Irene yang melihat pantulan dirinya dari cermin yang ada di sudut ruangan. Iris birunya menyorot tajam ke arah bayangan tersebut.

Ia mendengus kesal. Namun, ia adalah wanita yang tak menyukai kekerasan. Bukannya menonjok cermin ataupun membanting bangku, ia malah berjalan ke arah jendela yang sama sekali tak berkusen. Terpaan angin segar mengenai dirinya, sedikit membantu tuk meredam kegelisahan.

Sebenarnya, bagaimana sih prosesnya sehingga diriku bisa berada di dunia ini?

Hatinya berkata, mengajukan pertanyaan yang diharapkan dapat dijawab oleh seseorang.

"Dasar bodoh. Bukannya mereka yang membawa dirimu kemari?" Alter ego yang berada di dalam dirinya, menjawab pertanyaan yang di lontar kan hati Irene.

Itu benar. Hanya saja, aku masih penasaran. Siapa yang membawa diriku kemari? Apa tujuannya? Dan mengapa, sekarang semuanya berubah menjadi seperti ini?

"Hahaha ... kalau itu, aku juga tidak tahu. Jalani saja apa yang menjadi tanggunganmu. Semua butuh proses, hingga akhirnya kamu dapat menemukan apa yang kau mau." Alter ego dirinya, bersikap sok bijak dengan mengatakan kata-kata tersebut.

Irene tersenyum getir mendengar pengakuan dari dalam sudut kecil bagian lubuk hatinya. Ya, aku paham itu. Secercah cahaya dari hamparan bintang mengisi netra beningnya. Ia memandang ke angkasa lepas tak berawan.

Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu kamarnya. Sebelum mampu Irene menyadarinya, daun pintu sudah lebih dulu bergerak. Bunyi decit yang saling beradu dengan engsel dan ubin begitu mengganggunya.

Pintu terbuka, dan seseorang muncul dari balik ambang kayu tersebut. Pria berambut pirang dengan iris biru menyorot ke arah dirinya dengan tajam. Tampang dinginnya begitu membekukan.

"Eh, Charon? Apa yang kamu lakukan disini?" Irene yang masih berdiri di dekat jendela besar langsung berbalik ke arah pria yang berada di ambang pintu.

Lelaki yang ditanya, hanya diam. Namun, langkah-langkah mulai dikeluarkan oleh kakinya. Berjalan dengan sedikit tergesa ke arah Irene berdiri. Tatapan tajam dengan arah pandang yang begitu menusuk, menyiratkan seakan-akan pria tampan tersebut merupakan seorang psikopat yang memulai acara kecilnya.

"Cha-charon?" Irene sedikit ngeri akibat ekspresi yang ditunjukkan pemuda itu. Lelaki berjubah gelap itu berdiri tepat di hadapan Irene, menghentikan langkah serempak dari kedua kakinya. Membuat Irene harus sedikit mendongak untuk dapat melihat wajah dari sang pemilik tubuh jangkung tersebut.

Tak ada respons. Seketika, kedua tangan Charon bergerak mencengkram bahu Irene. Dengan kasar, pria tersebut mendorong tubuh gadis yang berada di hadapannya hingga tersudut ke dinding jendela. "Jatuhlah," desisnya menusuk.

Irene merasa tubuhnya terangkat, membuat kedua kakinya tak lagi menemukan pijakkan. Otaknya terlalu sulit mencerna apa yang sedang terjadi. Angin menjadi semakin kencang berhembus. Seketika, dirinya merasa sulit untuk mengambil nafas. Paru-parunya seakan tak mau mengembang walau ia sudah sekuat apapun untuk menghirup udara.

Jarak pandangannya akan pria tersebut semakin merenggang. Ia tak lagi melihat bentuk kamar suram yang tadi ia tempati, melainkan hamparan bintang yang bertaburan menghiasi gelapnya langit malam. "Eh?" Ia masih tak mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Semuanya seperti pemutaran video yang berlalu dengan begitu cepat sebelum pikirannya mampu memahami apa maksud dari rekaman tersebut.

The Demonic Paradise ✔  [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang