“Tidak ada jaminan dinding yang kokoh akan terus berdiri tegak.”
Jatuh cinta. Jika kita berbicara jatuh cinta, biarkan aku mengibaratkannya sebagai pertumbuhan sebuah bunga. Pada akhir musim dingin, bunga akan mulai tumbuh dari dahan pohon yang kuat. Ia tumbuh perlahan hingga akhirnya akan mekar pada awal musim semi. Lalu, lebah akan datang mengerumuni bunga membantu penyerbukan. Dengan begitu bunga tersebut akan menghasilkan buah pada setiap jenis pohon yang dihinggapinya. Tapi bagaimana dengan bunga yang tidak mendapat bantuan lebah? Ia akan hilang di terpa angin dan membusuk sebagai kompos. Bukankah bagus sebuah kompos itu? Tidak jika ia tidak memiliki keinginan untuk menyuburkan tanah.
Lalu pertanyaan berikutnya, bagaimana bisa jatuh cinta diibaratkan dengan pertumbuhan bunga? Saat ia diberikan kesempatan untuk berhubungan dengan seseorang dan ia menerimanya, ia akan tumbuh bersama. Tetapi, jika tidak ada seseorang yang datang untuk berhubungan dengannya, ia akan selalu dalam kesendiriannya menunggu waktu yang tepat untuk seseorang datang menjemputnya.
Kisah cintaku ada dipilihan kedua dari pertumbuhan bunga itu untuk saat ini. Dulu sekali, aku menyukai seseorang sebagai teman dan aku merasa senang hanya dengan melihatnya. Bercengkrama dan bercanda bukanlah hal yang langka, karena bisa dibilang itu hal yang setiap hari kami lakukan. Berbagi masalah dan solusi selalu menjadi topik bicara setiap hari. Hingga akhirnya ia hilang dari pandangan untuk satu bulan. Tidak terlalu lama, tentu. Tapi ia datang dengan segudang masalah tentang wanita. Mulai dari situ aku paham betul bagaimana perasaanku padanya. Ternyata aku menaruh harapan untuk membawaku bersamanya. Lalu setelah beberapa bulan ia menemani hari-hariku, lagi-lagi ia menghilang. Mulai dari sini aku paham bahwa saat dia kembali lagi padaku, ia akan menceritakan kisah yang sama seperti awal kembalinya dia. Benar dugaanku. Ia datang lagi dengan permasalahan yang sama. Aku tidak berharap banyak mulai dari situ, aku membangun dindingku sendiri untuk menjaga jarak darinya. Benar-benar sebuah dinding yang kokoh untuk menghindarkan jiwaku terbelah lagi olehnya.
Lima bulan berlalu, dinding itu begitu kokoh dibangun. Aku senang membangun dinding itu sembari mengasah skill lama atau sekadar mencoba hal baru. Untuk waktu yang lama aku merasakan kesenangan yang sebelumnya belum pernah aku rasakan. Aku mulai menyadari bahwa kesenangan diri sendiri itulah yang menjadi fokus utamaku untuk saat ini. Semua berjalan lancar hingga akhirnya ia kembali untuk ketiga kalinya. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini ia bersikap manis padaku. Bukan hal wajar bagiku mendapat perlakuan manis seperti itu. Hal itu membuat dinding yang ku bangun begitu lama roboh seketika. Lalu dengan gampangnya ia kembali pergi untuk kesekian kalinya. Aku lelah. Bukan hal yang mudah bagiku untuk menata hati dan membangun dinding itu kembali utuh, sangat menguras waktu dan tenaga. Maka dari itu, aku bertekad dengan mempertaruhkan kewarasanku untuk membuat dinding yang lebih kokoh lagi sehingga tidak ada satupun yang bisa menerjangnya.
Mungkin kalian bingung dengan ceritaku ini, apa hubungannya bunga dengan dinding? Apa hubungannya bunga dengan perasaan? Apa hubungannya bunga dengan ceritaku? Jujur bukan hal yang mudah bagiku untuk menyeritakan kisah ini. Bukan hal yang mudah pula menceritakan dengan bahasa yang kalian pahami. Tapi coba mengertilah rasanya. Untuk saat ini aku merasakan kegelisahan tapi mungkin untuk beberapa bulan ke depan aku akan merasa bahwa cerita ini tidak ada bandingannya dengan cerita yang akan datang. Aku akan merasa bahwa cerita ini terlalu kekanakan. Hanya lucu untuk dikenang. Terimakasih sudah mendengar dan membaca kisahku. Sekian.
YOU ARE READING
Dinding
Short StoryKisah pelik anak remaja labil yang mencoba tetap waras menjalani kehidupan.