Kelas Seni

46 13 0
                                    

Alex berjalan bersebelahan bersama Albert menuju kelas pertamanya, kelas seni.

"Kau pernah berkata bahwa guru seni bisa melakukan apa saja yang ia mau." Alex mengetuk-ngetuk kepala sebelah kanannya.

Albert mengangguk setuju. "Benar. Pada dasarnya mereka bisa melakukan segala hal. Apa pun. Mereka memanfaatkan pemberian Tuhan dengan maksimal. Kau harus mencontoh itu."

"Tapi kepalaku dominan otak kiri. Tidak imajinatif. Kukira itu akan mengecewakan guru seniku," kata Alex, ia tersandung-sandung tali sepatunya sendiri. Wajar saja, ini pertama kalinya ia memakai sepatu sekolah.

"Gurumu akan mengerti. Sodorkan ia nilai test hitunganmu. Dijamin ia tidak akan memaksamu untuk mendapat nilai A dalam memainkan tanah liat." Albert selalu memberikan dukungan moral pada adik-adiknya. Alex agak tenang, tapi tidak lagi setelah lima belas orang sebayanya melirik terkejut ke arahnya. Semua orang di dalam kelas tentu saja terkejut. Murid baru di tahun ke 11.

"Lihat, jumlahnya tidak seberapa." Albert sangat santai ketika melihat murid-murid kelas seni yang terhitung sangat sedikit. Terlalu sedikit dibanding kelas SMA Albert dulu. Tapi itu terhitung terlalu banyak bagi Alex.

Anak itu mematung dan terlonjak ketika seorang lelaki berahang tegas dan memakai baju kasual cokelat membuka pintu kelas lebar-lebar. Sehingga sosok Alex terlihat lebih jelas dan membuat kelas ricuh dalam sekejap.

"Selamat datang, Alex," ucap sang guru ramah. Albert menyambut tangannya, mereka bersalaman.

"Namanya Alex!" Seorang gadis memekik di bangkunya, disusul yang lain tak kalah heboh.

"Aku juga Alex," sahut lelaki berkacamata di sebelahnya.

"Tapi kau tak tampan."

Alex membasahi bibirnya sendiri. "Kenalkan, namaku Taylor. Aku guru senimu." Guru tersebut menyodorkan tangannya.

Alex menatap kosong tangan yang melayang itu, Albert menyikutnya. Alex dengan gemetar menjabat tangan guru nyata pertamanya dan mata birunya beradu pandang dengan pupil hijau indah Mr. Taylor.

"Silahkan masuk."

~~~

"Dan aku senang bermain salju ketika musim dingin bersama saudaraku. Kenapa? Asyik saja," jelas Alex.

"Apakah kau mau menjadi boneka saljuku?" Gadis berambut pirang menopangkan dagunya, mengedip sesaat kepada Alex yang berusaha untuk tidak terlihat kaku. Seisi kelas bersorak-sorai dan Alex tidak mengerti apa maksud dari semua ini.

Perkenalannya di depan kelas seni disambut dengan tatapan genit para gadis cantik Effingham dan tatapan kebencian dari para remaja lelaki. Alex mengenali kedua tatapan itu. Ia langsung memposisikan diri sebagai Emma; dimana teman-teman perempuan adalah laki-laki yang memandang Emma penuh antusias, dan lelaki yang sedang sibuk meneliti dirinya adalah para gadis yang merasa tersaingi kecantikannya.

"Apakah ada lagi yang ingin kau sampaikan?" Mr. Taylor membuat Alex menoleh.

"T-tidak ada lagi. Maksudku, cukup Sir." Alex mencoba mengingat petunjuk etika yang telah diajarkan Emma padanya tadi malam. Emma memberitahunya banyak hal. Termasuk etika kepada guru, membuktikan anak itu benar-benar belajar banyak soal bersosialisasi.

"Baiklah. Duduklah di bangku yang kau mau," kata Mr. Taylor, berdiri tegak dari sandaran mejanya. Naasnya, ia harus menarik lagi ucapannya karena tak ada bangku lain selain, "Di belakang sana, tidak apa-apa?"

Dekat tempat sampah? Alex mengernyit.

"Mr. Taylor, di sana banyak hantunya. Lebih baik Alex duduk di sebelahku saja. Biar Alex yang ini pindah saja ke belakang. Dia pemberani kok!" Gadis berambut pirang itu mulai menunjuk Alex berkacamata di sebelahnya. Ia tentu saja mengada-ada demi menarik perhatian Alex.

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang