Semesta menyimpan banyak sekali misteri, itu slogan dari acara yang seringkali kutonton di hari minggu malam, sebenarnya aku tidak berniat untuk menontonnya, tapi Arthur Archernarsa, si gila yang terlalu peduli dengan teori alam semesta dan secara ajaib bisa menjadi sepupuku itu selalu menyeretku ke depan televisi setiap acara yang narasinya terdengar sembrono itu mengudara. Lewat acara itu, aku mendengar banyak teori konspirasi yang mengarah ke omong kosong. Aku heran, kenapa Arsa—nama kecil sepupuku—sangat menyukainya.
"Kau benar-benar bodoh, ya? Sampai bisa ditipu oleh omong kosong yang sangat jelas seperti itu," ucapku suatu masa, mengingat perangai jenaka Arsa, ia tak akan marah walaupun aku menyebutnya bodoh. Hujan sedang deras-derasnya di luar, akan lebih baik aku berpeluk mesra dengan selimut di atas tempat tidur, namun di sinilah aku berada, terjebak bersama Arsa dan rasa ketertarikannya yang menggelikan. Orang di televisi sedang berbicara tentang alam semesta paralel—parallel universe—dan Arsa menjadi kelewat fokus pada bahasan itu. Aku melonggarkan pelukan kepada bungkus makanan ringan berbahan udang yang sedari tadi kupeluk bagai kekasih hati. Aku sengaja membeli camilan berperisa udang, Arsa alergi udang, ia tak akan meminta jatah camilan padaku.
"Bagaimana jika itu bukan omong kosong, Na? Siapa tahu kau bisa menemukan dunia paralel di dalam lemarimu."
Aku hanya bisa menatap Arsa nanar, pemuda ini telah terhanyut dalam fantasi konyol tentang alam semesta. Namaku Livina Antaresa, tujuh belas tahun, dan aku menolak untuk percaya kebodohan semacam itu "Jadi saat kau membuka lemari, kau akan menemukan Narnia. Luar biasa. Sadarlah, ini dunia nyata, bukan novel fiksi ilmiah atau bahkan fantasi." Aku melangkah meninggalkan Arsa sendiri di atas sofa, sekali lagi melirik layar televisi yang berpendar semarak. Selusin orang duduk setengah melingkar di studio, memakai jas putih, siap membuktikan bahwa dunia paralel nyata adanya. Sekali lagi kutegaskan, itu bodoh dan aku tidak akan pernah memercayai itu.
"Arsa! Astaga, anak itu mulai lagi. Kenapa dia sangat suka mengunci diri di kamar. Ya Tuhan, apa yang salah dengan anak ini."
Semangat pagi hariku direnggut habis oleh sepupu anehku, aku sibuk bergumul dengan pintu kamarnya saat matahari bahkan belum setengah jalan. Entah apa yang dilakukannya di dalam sana, mungkin dia sedang melaksanakan upacara pengusiran setan atau memanggil roh, yang pasti kamarnya hening sekali. Sejauh yang kutahu, kamar hening dan pintu yang dikunci bukanlah suatu pertanda yang baik. Dan berteriak-teriak di depan pintu di pagi buta bukanlah hal yang sepatutnya dilakukan. Aku khawatir padanya, bagaimanapun juga, sepupuku ini memiliki jalan pikiran yang tak kalah unik dari lukisan abstrak karya affandi, bahkan kurasa cara kerja otak Arsa jauh lebih abstrak dari lukisan-lukisan itu. Aku khawatir dia melakukan hal-hal yang tidak pernah terpikirkan sekalipun oleh otak manusia manapun.
Rumah menjadi senyap karena suaraku mulai serak dan tenggorokanku semakin sakit. Aku berdiam, memikirkan cara membuka pintu kamar Arsa saat bunyi statis memenuhi rumah, merasa yakin pijakanku pada lantai sempat berguncang pelan selama beberapa saat. Kamar sepupuku seketika gaduh. Aku jelas saja semakin panik, apa yang terjadi di dalam?
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjebak
Science FictionKurasa Arsa sudah kehilangan kewarasannya, mana ada semesta paralel? Cerita yang berkaitan: - Wet Tissue (belum dipublish) 2O21 © blckstetic; scelekton,