Wanita Angkuh (bagian 1)

216 9 1
                                    

Seorang wanita berpenampilan elegan dan berkelas terlihat berjalan keluar dari sebuah toko tas paling terkenal di kotanya. Wanita berparas sempurna dengan pakaian mewah serba hitam nan elegan itu berjalan dengan keangkuhan menemani langkah kakinya. Sebuah tas keluaran terbaru dari desainer terkenal dengan lambang W pada bagian kancingnya, bersarang nyaman di lingkar lengan kanannya.

Di sisi kanan dan kirinya dua orang wanita yang memiliki gaya penampilannya tak jauh beda dengannya, berjalan beriringan bersamanya. Dua wanita itu juga menenteng tas keluaran terbaru itu.

“Sebenarnya, desain tas kali ini sedikit mengecewakan. Aku tak begitu suka dengan reseleting yang digunakannya. Sedikit kuno,” ucap Amelia, wanita yang berada di tengah.

“Tapi kau tetap membelinya, bukan?” sahut Gita, wanita 25 tahun dengan rambut khasnya yang pirang bagai bule Amerika. Rambutnya sebenarnya hitam legam, indah bagai malam. Namun dirinya begitu suka dengan warna pirang. Jadi dia selalu mewarnai rambutnya dengan warna pirang.

Amelia menunjukkan senyum yang dibalut dengan kesombongannya. Salah satu ciri khas yang dimiliki dirinya.

“Ya, mau bagaimana lagi. Dari pada tanganku ini gatal. Kalian kan tahu sendiri. Kalau aku tak bisa jika tidak mengeluarkan banyak uang. Minimal, sebulan aku harus menghabiskan 100 juta. Jika tidak, aku tak bisa bernafas dengan tenang.”

Di belakang Amelia, Erlita dan Gita mencibir. Mereka kenal betul pada Amelia. Wanita sombong akut yang selalu menjadi teman berbelanja mereka. Memang selalu bersikap sombong dan sok. Namun sifat itu tidak masalah bagi Erlita dan Gita. Selama ada Amelia bisa bersikap sesuai kemampuan yang ia miliki, menyombongkan segala yang ia miliki bukan masalah. Malah bagus. Dengan begitu tingkat popularitas mereka akan naik.

“Melihat gaya hidupmu yang selalu glamor. Aku jadi kasihan sama calon suami mu besok. Dia harus banting tulang agar bisa memenuhi hasrat mu yang besar itu, benar enggak?” timpal Erlita pada Gita.

Gita langsung mengangguk menyetujui apa yang dikatakan Erlita. “Banting tulang saja tidak akan cukup. Mungkin ginjalnya bisa terjual,” sahut Gita lalu terkekeh.

Amelia menghela nafas. Dirinya berhenti berjalan lalu memutar badannya ke belakang. Melihat dua temannya dengan tatapan penuh percaya diri. Gita dan Erlita segera meredam tawa mereka saat Amelia berbalik.

“Cinta ku tidak murah. Minimal lelaki yang ingin dekat dengan ku, harus memiliki 1 perusahaan dan 1 rumah mewah dengan 3 lantai dan 1 kolam besar,” kata Amelia.

Gita dan Erlita tertawa serempak.

“Bisa saja kau bercandanya. Cinta? Apa kau memilikinya?” ujar Gita. Matanya sampai berair karena tertawa.

“Ku rasa lelaki yang menjadi kekasihmu tak butuh cintamu. Dia hanya ingin agar kau tidak menguras habis hartanya.”

“Oleh karena itu, hanya lelaki kaya raya saja yang boleh dekat denganku,” kata Amelia.

Tak lama Amelia berkata seperti itu seorang pria tampan dengan atasan rapi dan berpenampilan maskulin datang menghampirinya dengan se-bucket bunga mawar merah di tangannya. Pria menawan itu datang bagai seorang pangeran. Senyumnya yang tersemat terlihat begitu manis.

Mata pria itu menatap Amelia dalam. Pancaran mata yang ia tampilkan begitu gemerlap bagai bintang.

“Bisakah kita berkenalan,” kata pria itu.

Amelia memandang pria tersebut dari ujung rambut hingga ujung kuku. Bibirnya lalu mencibir.

“Maaf, anak muda. Dari pada kau sakit hati. Lebih baik menyingkirlah segera. Kau bukan selera ku. Mungkin kalau Kucingku, dia pasti mau denganmu. Bagaimana?” kata Amelia dengan nada lembut namun begitu menghina lawan bicaranya.

Pria itu tersenyum sinis. “Ah, kau begitu manis saat mengeluarkan kata-kata pedas. Membuat aku semakin tertarik padamu. Bagaimana kalau 80 juta untuk satu malam. Itu uang yang cukup bes-”

Belum selesai pria tampan itu berbicara, sebuah kaki dengan sepatu highthill melesat menendang dua bola yang berada di antara selangkangannya. Membuat pria itu langsung mengambil posisi bersujud sambil memegang erat dua bolanya yang terasa mau pecah itu.

“Layanan ekstra untuk orang sepertimu. Sudah miskin, sikapmu juga rendahan. Sampah!” ucap Amelia lalu melangkahi pria yang masih tersungkur tak berdaya.

Amelia, Gita dan Erlita kembali melanjutkan perjalanan mereka yang sempat tertunda. Ketiganya berencana untuk makan siang di kafe sebelum akhirnya berpisah pulang.

“Tadi sungguh menyenangkan sekali, bukan? Kau menendangnya cukup keras,” ucap Erlita. Ia terlihat senang saat mengatakan hal itu.

“Iya, apa kalian lihat wajahnya? Dia sebenarnya lelaki yang cukup tampan dan manis. Tapi lihat wajahnya saat dia kesakitan. Hahaha seperti orang habis di tagih deep collector. Hahaha menyedihkan sekali,” sambung Gita cekikikan.

Amelia melepas senyum tipis. “Lelaki seperti itu sudah sepantasnya di tendang seperti tadi. Sampah rendahan yang berani menghinaku harus mendapatkan tendangan terbaik dari kaki ku,” kata Amelia lalu di akhiri tawa keras yang di ikuti dua temannya.

Tempat yang hendak ketiga wanita tuju sudah terlihat di depan mata. Sebuah kafe mewah dengan menu sekelas  hotel berbintang 5 selalu menjadi pilihan utama mereka untuk makan bersama setelah selesai berbelanja.

“Aku mau kue maroon,,,” Erlita berkata sambil memasang wajah merindu.

“Aku mau Lava cake,” Gita menyahut tak mau kalah.

Sedang Amelia ia hanya diam. Dirinya tak menyebutkan apa yang akan ia pesan.
Amelia berjalan lurus bersama dua temannya. Saat ia hendak menapaki anak tangga yang hanya berjumlah 3 buah, di depan pintu masuk kafe. Seorang pria dengan penampilan lusuh berjalan cepat menuju kafe itu juga tanpa melihat ke arah depan. Pria itu terlalu sibuk menghitung kepingan uang receh pada tangannya.

Tabrakan antara Amelia dan pria berbaju lusuh itu pun terjadi di atas anak tangga. Membuat Amelia dan pria itu sama-sama terjatuh. Kepingan uang receh yang di bawa pria itu jatuh berserakan.

“Siapa sih yang jalan enggak lihat-lihat?!” teriak Amelia, geram.

Amelia menoleh ke kanan. Dan menemukan sesosok pria kumuh,  dengan baju lusuh dan berbau keringat yang sangat menyengat. Melihat penampilan pria itu, Amelia langsung bangkit menjauh. Menjaga dirinya agar menjauh dari rakyat jelata, di matanya.

“Hei?! Kau gila ya? Apa kau tidak punya mata?!” sembur Amelia tersungut-sungut. Ia benar-benar murka.

“Ma-maaf, Nona. Maaf. Saya benar-benar tidak melihat saya salah. Apa Nona ada yang terluka?” kata pria kumuh itu sambil bergerak ingin mendekati Amelia dengan wajah panik. Ia takut jika sampai wanita cantik yang di tabraknya itu mengalami luka.

“Hei! Mau apa kau?! Jangan mendekat. Sudah cukup tadi kau menabrakku. Jangan dekat-dekat apalagi mencoba menyentuhku. Najis.” Kata Amelia.

Pria itu patuh. Ia tak lagi mencoba mendekat ke Amelia. Namun rasa panik dan takutnya masih tergambar jelas di wajahnya.

“Ma-maaf. Ini salah saya. Apa ada hal yang perlu saya lakukan untuk menebus kesalahan saya?” tanya pria itu.

Ia sebenarnya takut jika sampai di tuntut sesuatu yang berada di luar kemampuannya. Jadi dia memutuskan untuk bertanya demikian. Berharap wanita berparas elok itu hanya memberi hukuman.

Amelia melipat kedua tangannya. Tatapan sombong dan kejam ia arahkan pada pria yang telihat beberapa tahun lebih tua darinya.
Amelia melihat recehan yang tercecer. Ia sangat yakin, recehan itu milik pria kumuh itu.

“Ambil kembali semua uangmu.”

Pria itu langsung patuh. Ia hendak mengambil koin yang paling dekat dengan dirinya. Namun belum sampai ia bergerak, Amelia memberi perintah tambahan.

“Dengan mulut,” lanjut Amelia.

Mencintai Duda Miskin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang