Dua Puluh Dua: Pisau Dan Belati

25 3 2
                                    

Rauffe terjengkang, belati yang menyasarnya meleset, merusak biola yang terpajang di rak belakangnya. Di hadapannya adalah Hugues dengan napas yang tidak teratur, terengah-engah penuh napsu. Ia mengangkat belati di tangannya sekali lagi, mengarahkannya pada Rauffe yang lalu berputar menghindar. Teriakan frustasi Hugues memenuhi ruangan.

Belatinya merusak koleksi alat musik Rauffe. Hugues terus mengejarnya, langkahnya tidak mantap, namun amarahnya tetap jelas walau ia terhuyung-huyung. Terjatuh ke depan perapian, Rauffe berteriak untuk memanggil ajudannya di luar.

Langkah-langkah kaki yang sedari tadi memenuhi koridor kini sampai di ruangan. Namun mereka diam melihat ancaman dari Hugues. Mengapit tubuh Rauffe dengan kedua lututnya, Hugues berada di atasnya, belati ditekan ke leher Rauffe. Matanya mengancam.

"Letakkan senjata kalian," Rauffe berusaha mengumpulkan ketenangannya.

Prajurit-prajurit Prescia yang berdiri di ambang pintu masih bergeming. Ia melihat pada sosok pangeran mereka dalam jubah tidur, kemudian pada Hugues yang penuh cipratan darah.

Hugues lalu terbatuk. Rauffe bergerak ketika melihat kesempatan telah terbuka untuknya. Namun Hugues menempelkan belatinya pada leher Rauffe sekali lagi. Detak jantung Rauffe memburu.

"Kubilang letakkan senjata kalian!" raung Rauffe. "Keluar, aku bisa menangani ini."

Tanpa peringatan ketiga, para prajurit mengikuti perintah Rauffe. Pedang dan tombak diletakkan ke atas karpet. Mereka mundur, menjauhi ambang pintu. Langkah-langkah ragu diambil, mata mereka masih memperhatikan kedua pangeran yang bergelut di dalam. Namun mereka tidak bisa masuk. Dan tidak ada kata-kata yang terdengar dari jarak itu, kecuali teriakan dan raungan marah Hugues.

Pria yang tertawa pahit di atas Rauffe tidak tampak seperti Hugues. Bahkan wajahnya kini tidak terlihat sama seperti dulu. Lingkaran hitam membuat cekung pipinya yang tirus bertambah kentara. Napasnya berat, seakan ia selalu merasa sesak.

Menggertakkan giginya yang kemerahan, Hugues berbisik geram.

"Rauffe.... Setelah semuanya.... Inikah yang selama ini kau lakukan padaku?!"

Hugues terbatuk-batuk keras dan terguling ke samping. Belatinya terlepas dari genggamannya. Seluruh tubuhnya bergetar, jari-jarinya terentang ke depan ke arah Rauffe. Kaku yang tidak natural menghentikan gerakan Hugues pada posisi yang aneh. Wajahnya membentuk ekspresi mengerikan yang belum pernah Rauffe lihat sebelumnya.

Rauffe menghembuskan napas. Sementara bangkit dari atas karpet, darah Hugues mengalir turun, merembes lebih jauh pada jubahnya.

"Ini adalah akhir darimu."

"Ka—," Hugues memuntahkan darah, membuat merahnya membentuk ungu di atas karpet biru. "Mengapa, Rauffe? Kita adalah kakak-adik. Sanak saudara!"

"Kata-kata yang persis sama dengan Balvier," Rauffe berkata pelan. "Setelah kekalahan pasukanku di Gentieu, aku tidak memerlukan dirimu lagi. Kini terbukti dengan dirimu di sampingku sekalipun, aku tidak bisa merebut Gentieu dari Aldebaran. Sebenarnya aku bisa menebaknya sejak awal kau melarikan diri ke Prescia."

"Dan kau meracuniku karenanya?! Kau berharap aku mati sejak awal, kau keparat!" Hugues bangkit, membanting tubuh Rauffe yang jauh lebih kurus darinya ke atas karpet sekali lagi. Ia mencekik leher Rauffe, tapi kali ini Rauffe hanya menatap dengan tenang.

"Sedari awal tanah ini hanya membutuhkan satu pangeran, satu raja," Rauffe berkata, menarik kedua tangan Hugues dari lehernya. Jemari Hugues yang telah kaku tidak bisa membuat perlawanan berarti. Meraung, Hugues meludahkan darahnya pada wajah Rauffe.

Rauffe membanting tubuh Hugues, kemudian berdiri dan menginjaknya.

"Sedari awal perjanjian dengan Gondvana adalah melindungi keluargaku, melindungi rakyatku. Untuk itu aku mengikuti semua akal busukmu!" Hugues berkata. "Meracuniku perlahan-lahan seperti ini... mengapa kau tidak membunuhku saja dengan belati! Menusukku, kau pengecut!"

Lapis Lazuli (COMPLETE STORY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang