🕑

21 9 1
                                    



Jam dua dini hari. Lagi-lagi aku terbangun, masih karena alasan yang sama.

Benar, mimpi itu.

Mimpi yang membawaku ke sebuah padang yang ditumbuhi ilalang setinggi lututku. Saat aku baru menyadari aku berada di tempat itu, anginnya berhembus pelan. Terasa sejuk dan menenangkan. Namun, tidak bertahan lama karena tiba-tiba saja langit gelap diiringi hembusan angin yang semakin mengencang datang.

Lalu dia hadir.

Seorang gadis yang menggunakan gaun putih polos yang jatuh hingga bawah lututnya. Rambutnya panjang, bergerak-gerak ditiup angin hingga menutupi wajahnya. Sudah terhitung seminggu sejak aku memimpikan mimpi yang sama, gadis itu hanya diam. Walau sudah kuteriaki berulang kali, dia hanya diam. Berdiri jauh dariku tanpa sepatah kata pun.

Aku pernah mencoba menghampirinya, tapi kakiku seperti tertahan. Sekuat apa pun aku mencoba, kakiku tidak bisa melangkah. Akhir dari usahaku untuk menghampirinya selalu berujung dengan aku terbangun dengan keringat yang sudah membasahi wajah dan leherku.

Aku tidak tahu gadis itu siapa. Sampai malam ini, aku kembali memimpikannya.

Tidak seperti mimpi-mimpi sebelumnya, kali ini tidak ada angin kencang meskipun gadis itu sudah berdiri di sana. Namun, seperti biasanya aku tetap tidak bisa melangkah. Bahkan kali ini suaraku tidak kunjung keluar saat ingin meneriakinya. Aku hanya bisa menatap sekitar dengan bingung. Hingga sebuah suara terdengar.



“Sheryl.”

Aku tersentak. Suara itu pelan, tapi terasa dekat. Aku memandang gadis yang masih berdiri jauh dariku. Suara itu berasal darinya? Akhirnya dia berbicara? Tapi kenapa pelan sekali? Lalu bagaimana dia mengetahui namaku?



“Sheryl,” panggilnya sekali lagi. Ia menatapku lurus. Angin yang bertiup pelan membuat wajahnya terlihat jelas. Wajah yang membuatku tertegun.



“Sheryl,” ucapnya lagi. Wajahnya datar. Sorot matanya sayu. Namun, entah mengapa itu membuatku takut.



“Sheryl,” panggilnya lagi. Kali ini sedikit kuat dan tanpa aku sadari ia sudah lebih dekat denganku dari pada biasanya. Hingga dia berdiri tepat satu langkah di depanku.

Aku mengenalnya dan aku mengingatnya. Aku mencoba membuka mulut untuk memanggil namanya, tapi suaraku tidak keluar. Panik menyerangku. Sedangkan dia malah menarik kedua ujung bibirnya. Tersenyum dengan tatapan matanya yang masih sayu. Hal itu membuat ketakutanku memuncak. Aku berteriak tanpa suara hingga terbangun dengan kondisi yang lebih buruk dari malam-malam sebelumnya.

Lalu di sini lah aku. Duduk di depan laptop menuliskan hal yang membuatku resah, tapi tidak tahu harus aku ceritakan pada siapa. Walau alasan lainnya karena aku takut … dan malu. Terhadap apa yang sudah kulakukan dulu.

Gadis yang ada di mimpiku itu Shena. Teman sekelasku saat SMA. Ia anak pindahan dari luar kota saat kelas sepuluh semester dua. Anaknya pemalu, membuatnya kesulitan untuk berbaur ke anak-anak lain yang sudah berkelompok.

Lalu aku datang, menyapanya terlebih dahulu, dan menawarkan untuk duduk di sebelahku saat pergantian posisi duduk hari itu. Awalnya aku kasihan melihatnya kebingungan mencari tempat duduk. Selain itu aku juga belum menemukan teman sebangku karena kelompokku yang hanya terdiri dari tiga orang membuatku tersisihkan karena dua teman yang lain memilih untuk semeja.

Wajahnya terlihat lega saat itu. Dia duduk dengan canggung di sampingku dan jelas terlihat sangat kaku saat menanggapi aku yang mengajaknya berbicara. Namun sekitar seminggu sejak kami duduk bersama, aku tahu dia anak yang baik dan menyenangkan untuk diajak bicara.

Jam Dua Dini HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang