Mentari tak bersinar, hujan turun dengan santainya. Angin menerpa kulit dengan halus namun menusuk. Mendung di langit Jakarta ini ikut melengkapi suasana yang dingin ini.
Aku berjalan menuju sekolahku dengan senyum yang merekah. Aku menggunakan payung berwarna biru plastik untuk melindungi kepala dan mungkin tubuhku dari hujan. Aku sesekali akan menengadahkan sebelah tanganku untuk menampung air hujan lalu memainkannya.
"RISA!!!" Suara yang memekakkan telinga itu memanggilku dari belakang. Aku menghela napas sebelum berbalik untuk melihat dan menunggu.
Itu Tia dan Jera, teman sekolah dan temanku tinggal. Kami ber-3 tinggal di rumah sederhana yang dibeli ayahku dua tahun lalu. Mereka sahabatku dari kecil. Jadi, tak salah jika ayahku sangat mempercayai dan menganggap mereka sebagai anaknya sendiri.
"Ish! lo berangkat gak mau nungguin!" Tia langsung mengomeliku dengan napasnya yang terengah-engah.
"Iya nih. Kebiasaan!" Timpal Jera.
"Kalian sih. Lama banget, gue males nunggu lama-lama. Ntar kaya waktu itu kita dihukum depan adek kelas," jawabku jutek.
Mereka langsung membuka payung mereka masing-masing karena sebelumnya mereka hanya mengandalkan jaket yang mereka pakai. Lalu kami berjalan beriringan menuju sekolah.
Mereka berdua asik melihat ponsel dan sesekali akan tertawa. Entah apa yang mereka lihat, moodku menjadi buruk. Jujur, aku kesal mereka asik berdua tanpa menganggapku ada. Aku mudah cemburu dan mudah marah orangnya. Tapi, ya sudahlah aku sudah biasa begini.
Aku berjinjit, berupaya untuk ikut dalam kegiatan yang sedang dilakukan teman-temanku. Tetapi, mereka justru seperti menghindarinya. Aku pun lebih memilih untuk terus berjalan menghiraukan kedua temanku yang keasikan melihat layar ponsel berdua.
Aku paling dekat dengan jalan. Sehingga seseorang lewat dengan motor besarnya menghantam genangan air yang menciprat ke seragam putih abuku.
"WOY!!" aku spontan berteriak kala orang itu mulai menjauh.
Sedangkan teman-temanku sudah melangkah jauh didepanku. Tak peduli apa yang sudah terjadi padaku. Membuatku makin kesal saja. Mereka minta ditunggu, malah nyosor duluan.
Aku membersihkan seragamku semampuku dengan tanganku. Tak mungkin jika aku pulang dan mengganti baju. Aku akan terlambat nantinya.
"Pagi-pagi udah bikin mood berantakan aja"
×××
"Afrisa Apriliani Delina!"
"Hadir pak"
Guru Matematika itu mengabsen satu persatu siswa dikelas ini, kelas XII A. Sekolah tempatku menimba ilmu ini, tak memiliki sistem jurusan. Hanya perolingan di setiap semesternya.
Aku sekelas dengan dua temanku dari tahun pertama. Entah apa yang menyebabkan kami selalu satu kelas. Dan aku mensyukuri hal itu. Mereka duduk berdua didepanku. Sedangkan aku duduk sendirian, diakibatkan saat pemilihan kursi aku tidak hadir karena demam. Juga karena memang giliran mereka duduk berdua sih.
Tahun pertama aku pernah duduk dengan Jera, tahun kedua aku duduk dengan Tia. Sekarang, biarlah aku yang mengalah duduk sendirian. Sebenarnya ada juga perempuan yang duduk sendirian di kelas ini selain aku. Namun, mana mungkin ada orang yang sukarela mau duduk denganku selain teman-temanku. Jika ada pun, pasti akan ada rasa paksaan.
Sejujurnya aku sangat malas mengikuti mata pelajaran ini. Tapi, apa boleh buat. Aku tetap harus belajar bukan?
Satu jam pelajaran berakhir, berikutnya kami disuruh untuk mencatat materi yang ditulis di papan tulis. Hingga kemudian datang seorang guru perempuan dengan membawa tiga orang siswa laki-laki dibelakangnya. Aku tebak mereka adalah siswa pindahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not An Ordinary Human
Fantasía"aku pikir mereka hanya makhluk fiksi seperti dalam novel atau film-film. dan ternyata pikiranku selama ini salah. mereka benar-benar ada. mereka ada dihadapanku saat ini. sangaaat dekat."