Orang ramai berlalu-lalang menjadi santapan pagi Sojung usai kembali dari berkeliling dan berjemur sebentar di area taman rumah sakit. Sempat ada satu kali pasien gawat darurat yang dilarikan lewat di hadapannya. Entah sampai kapan, Sojung belum mendapat jawaban pasti dari dokter kapan dia bisa pulang.
Kursi roda yang dia tumpangi berbelok, mulai masuk ke arah lorong yang dimana setelah lorong itu ada ruang perawatan yang salah satunya adalah tempatnya dirawat.
Dari jauh―arah belakang, Sojung sudah bisa mengenali sosok laki-laki yang berjalan di depannya. Kedua sudut bibirnya tertarik saat laki-laki itu tepat berhenti di depan ruang perawatannya.
"Hari ini dia dateng lagi, Sayang," ujar Sojung pada suaminya.
Seokjin mengangguk dan menyahuti, "Iya. Kita ke sana, ya." Seokjin mempercepat langkahnya, menambah usaha dorongannya pada kursi roda yang ditumpangi Sojung.
Begitu sampai, Seokjin langsung memanggil nama laki-laki itu sampai dia menoleh dan menyadari bahwa orang yang hendak dia kunjungi ternyata tidak sedang berada dalam ruangan. "Hei, Jung." Alih-alih membalas sapaan Seokjin, Wilson justru langsung beralih pada Sojung yang duduk di kursi roda.
Tadinya, Wilson akan berjongkok di hadapan Sojung kemudian menaruh barang bawaannya sejenak. Namun, Seokjin mencegahnya. Dia menarik kursi roda Sojung ke belakang kemudian berbicara, "Kita masuk ke dalam aja, ya? Nggak enak kalau ngobrol di sini."
Wilson lagi-lagi harus menarik napasnya dan membuangnya dengan perasaan kesal. Bola matanya tak ketinggalan memutar malas, sambil dalam diam dia mendecih akan perlakuan Seokjin padanya.
Sementara Sojung tadinya sempat terkejut ketika dia mundur ke belakang tiba-tiba, namun setelahnya Sojung tersenyum, menertawakan aksi suaminya di dalam hati. Sojung jelas tahu apa maksud Seokjin berbuat begitu.
Jelas-jelas, tadi Wilson akan berlutut di hadapannya ... di hadapan wanita yang sudah menjadi milik orang lain. Like ... what? Apa maksud Wilson melakukan itu, apalagi di hadapan suami Sojung?
Harum bunga dalam ruang perawatan Sojung menyapa setiap hidung orang yang memasukinya. Sojung dan kursi rodanya diberhentikan Seokjin di pinggir sofa, kemudian suaminya itu duduk di pinggir sofa dekat Sojung berada.
"Sini, duduk di sebelah saya," tegur Seokjin sambil menepuk-nepuk bagian sofa yang masih kosong.
Wilson mendelik, alisnya terangkat satu. "Tidak boleh ya, kalau saya yang duduk di posisi anda? Saya datang ke sini 'kan untuk menjenguk Sojung dan berbicara sedikit padanya, bukan untuk anda."
Seokjin terkekeh. "Bukannya sama aja? Mau di sini atau di situ, kamu tetep bisa bicara sama Sojung."
"Memang bisa, tapi pasti akan jadi kurang nyaman. Posisi kami sangat jauh," kata Wilson.
Sojung menarik kedua sudut bibirnya lalu mengelus-elus sebelah bahu suaminya. Dia menggerakkan kepala, mengisyaratkan bahwa sebaiknya Seokjin memang bergeser ke arah sana. "Cuma sebentar, Sayang."
Seokjin menatap Sojung akhirnya, dia langsung mengangguk karena dia percaya. Dia kemudian mengecup sebelah pipi istrinya sebelum benar-benar menggeser tubuhnya ke sebelah sana.
Di saat yang bersamaan saat Seokjin mengecup pipi istrinya, Wilson membuka mulutnya, mukanya jelas menunjukkan ekspresi kesal. Dia juga sempat dan dengan nada suara kecil bilang, "Dasar nggak tau malu!"
Begitu duduk, dia langsung mengganti ekspresi wajahnya menjadi penuh senyuman manis. Dia memberikan sebuah kotak hadiah yang lumayan besar untuk Sojung. "Ini buat sahabat gue yang sekarang udah jadi Ibu-ibu muda," kata Wilson sambil memberikan hadiahnya itu. Tanpa disangka, Wilson menarik hidung Sojung dengan gemas usai itu.
Sojung terkejut, namun dia tersenyum dan tertawa sambil meninju bahu Wilson―tentu saja tidak dengan tenaga yang kuat.
Sementara Seokjin di sebelah Wilson, menyandarkan tubuhnya ke kepala sofa sambil menaikkan satu sudut bibirnya. Biar saja, kita lihat Wilson akan melakukan apalagi pada istrinya.
"Udah jadi Ibu-ibu, tapi masih gemes banget lo gila," kata Wilson.
"Bohong, lo!" tekan Sojung.
"Sumpah, gue beneran nggak bohong!" kata Wilson. "Sampe kayak ... emm, kalau boleh pengen banget gue gigit pipi lo mumpung masih chubby."
Sojung diam. Dia menatap suaminya. Ingin tahu reaksi apa yang Seokjin tunjukkan. Sojung takut Seokjin cemburu dan merasa tidak nyaman akan kalimat Wilson barusan.
Menyadari apa yang Sojung lakukan, Wilson ikut menatap ke arah Seokjin. Dengan jahil, dia mengulang kalimatnya, "Boleh nggak ya, kalau saya gigit pipi chubby-nya Sojung?" Seringaian kecil muncul di wajah Wilson setelahnya.
Seokjin menarik satu sudut bibirnya, menegakkan kembali posisi badannya. "Lakuin aja ... kalau kamu nggak takut saya hajar karena berani nyentuh apa yang udah jadi milik saya."
"Sayang ...," lirih Sojung.
Wilson tertawa. "Sorry, saya cuma bercanda."
Sojung akhirnya merelaksasikan bahunya saat tahu Wilson tidak serius akan ucapannya dan itu artinya, tidak akan ada perkelahian yang terjadi di sini.
"Ngomong-ngomong, Jung. Anak lo nggak di sini, ya? Kalau gue mau liat, gue bisa liat di mana, ya?" tanya Wilson pada Sojung.
"Di ruang inkubator, harusnya hari ini udah bisa lepas sih dia," jawab Sojung. "Gue sama suami gue ikut deh, sekalian mau liat gimana keadaannya pagi ini."
Seokjin dan Wilson bangun dari posisinya. Saat itu Wilson yang jahil hendak mencubit pipi Sojung, namun jangankan mencubit, menyentuh saja Wilson gagal. Lantaran ...
Seokjin menendang tumpuan kaki kursi roda itu sehingga kursi roda yang ditumpangi Sojung berjalan mundur ke belakang. "Oops, sorry. Sengaja."
Seokjin sedikit berlari untuk menghampiri istrinya yang terkejut karena ulahnya. Dia berjongkok, kemudian menarik dagu istrinya, mencuri satu kecupan sebelum bilang, "Maaf, Sayang."
Wilson benar-benar tidak habis pikir ulah suami Sojung. Kenapa dia semenyebalkan itu? Apa maksudnya? Apa dia mau cari masalah dengan Wilson? "Orang gila."
Selang waktu dua sampai lima menit, mereka bertiga sampai di depan kaca ruang inkubator. Sekarang jumlah bayi yang ada di sini bertambah tiga, tapi Sojung bisa membedakan mana yang bukan dan adalah anaknya.
Dua kali Sojung menyentuh putrinya, Sojung langsung tahu bagaimana rupa dan perawakan malaikat kecilnya itu yang sembilan bulan ia juga. Hani adalah anugerah paling indah yang Tuhan beri padanya.
"Nomor tiga dari kiri, kain biru," kata Sojung memberitahu sebelum Wilson bertanya. Laki-laki itu kini melipat kedua tangannya di depan dada sambil memerhatikan bayi yang dimaksud oleh Sojung.
Kedua sudut bibir Wilson terangkat, ketika melihat bayi mungil yang ditunjuk Sojung menggeliat kecil dalam tidurnya. "Lucu banget ya, Jung? Gemes."
"Iya, banyak yang bilang Hani mirip saya," sahut Seokjin tiba-tiba.
Ekspresi Wilson kembali berubah saat menatap Seokjin. "Tapi keliatannya, lebih dominan wajah Sojung."
"Jelas begitu," kata Seokjin. "Dominan wajah Sojung, resesif wajah saya. Hani adalah perpaduan kami berdua, karena dia adalah anak kami."
"Saya tau kok, nggak usah dikasih tau lagi!" tekan Wilson sambil memutus kontak matanya dengan Seokjin. Laki-laki itu memilih untuk melihat Hani lagi, dibanding harus mendengar celotehan Seokjin yang selalu membuatnya jengkel bukan kepalang.
― ♡ ―
A/N:
mas wilson kesel check😝
yuk tekan bintangnya, yuk. biar bsk update!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Emotions; Sowjin
Fanfic#1 ― Sojung #1 ― Sowjin [Sowjin ― Semi Baku] [Sequel of Pak Seokjin] [Slice of Life] Seokjin dan Sojung akhirnya menikah. Setelah menikah tentu saja mereka harus siap menghadapi setiap lika-liku dan hiruk-pikuk rumah tangga. Seokjin yang memang leb...