ii.vii. januari 2015: bandung, dan penerimaan menuju kenangan

96 20 36
                                    

Ia ingat. Kalau tidak salah, dahulu di antara kita pada 2015 pernah ada cerita. Jika boleh jujur, baginya Bandung adalah hal tak ternilai. Mengenai semua kebetulan, pertemuan, ketidakpastian, dan senyum milik kita, untuk sepanjang hari dan malam.

Januari memang sering sekali dirundung abu, tapi tidak selalu hujan akhirnya. Justru, dengan suhunya yang dingin dan segar, berkeliling mencari secangkir bajigur dan klepon adalah momen paling menyenangkan. Sedikit ada sisa percakapan. Sebelum pada akhirnya kita sepakat dengan senyum sebagai jaminan pengganti materai 6000 yang tidak Damara beli.

"Halah, palingan setelah ini kamu pasti ngilang lagi, Dam," ucap Naya.

Laki-laki itu mengembuskan napas panjang. "Aku tahu bagimu itu tidak menyenangkan. Tapi, tidak tahu saja menemuimu setelah beberapa pekan itu bagiku besar sekali maknanya."

"Setidaknya kabari aku!"

"Apa harus?"

Naya memutar bola mata malas. "Dasar lelaki! Kaum perempuan tuh setidaknya kalau lelaki yang dianggap dekat dengannya tidak bisa sering-sering datang kabari, kek. Jahat banget bikin hati kita resah kayak gitu."

"Maaf ...."

"Maaf-maaf!"

"Kukira kamu senang aku temui setelah sekian lama."

Sepasang mata milik Naya membelalak, dengan sapuan merah muda yang timbul begitu saja di permukaan wajahnya.

"Ya senang, sih. Tapi, kesalnya juga nggak kalah banyak."

"Jadi, mau tidak?"

"Mau apa?"

"Berkeliling denganku."

"Ya maulah!"

"Ya sudah, ayo."

"Tunggu!"

Damara terlebih dahulu berdiri dan menghampiri motornya disusul Naya yang kerepotan menyampirkan tasnya sambil berlari kecil menyusul Damara. Hanya saja, ada satu hal tidak pernah bisa ia mengerti. Mengenai kemauan Damara yang ia angguki dengan mudahnya, benar-benar aneh. Sialan.

"Nay?"

"Ya?"

"Bisa pakai helm, 'kan?" tanya Damara setelah ia menyodorkan sebuah helm yang ia bawa dari rumah di belakang jok motornya.

"Ya bisalah."

"Oh, kukira tidak."

"Kenapa memangnya?"

"Tadinya mau aku pasangkan. Tapi, katanya bisa. Ya sudah, pasang sendiri saja."

"Sialan!"

***

Tidak banyak obrolan dalam perjalanan Damara bersama Naya. Sepasang manusia itu sama-sama diam. Entahlah untuk apa. Bisa saja untuk perasaannya sendiri. Damara yang memang sukanya diam dan menikmati apa pun bahagianya dalam keheningan, atau Naya yang sedang bingung dengan rasanya sendiri. Kesalnya, segala ketidaktahuan dari rasa-rasa yang seperti kehilangan arah ini bersumber dari laki-laki di depannya yang malah diam saja.

"Nay, aku lapar," ucap Damara tiba-tiba.

"Eh, apa? Kamu bilang apa, Dam?" tanya Naya yang tidak bisa mendengar suara Damara dengan jelas.

"Aku lapar, Nay. Kita makan dulu, ya?"

"Oh, lapar. Ya udah, cari makan aja Dam."

"Kamu mau makan apa?"

"Apa aja, Dam. Asal makanan."

"Ya sudah."

Setelah itu, hening lagi. Damara dan Naya sudah cukup jauh menempuh perjalanan dari pusat kota. Pun semesta yang sudah memulai perjalanan menuju peraduan senja. Di Cimahi, sepasang manusia itu menepi di sebuah warung yang menjual cuanki.

andai, jikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang