Hujan,,,
Bumi tidak pernah marah
Langitnya mengeluarkan berkah-Nya
Tanah yang kering menjadi basah
Seketika udara sangat menyegarkan
Air yang jatuh membangkitkan masa kelam
Entah itu sedih atau senang
Yang jelas seseorang sangat merindukannya"Aaahh... Ya Tuhan... Kenapa sulit untuk mengarang sebuah puisi." keluhan dari seseorang yang entah berapa kali meremas secarik kertas lalu dibuang ke tong sampah. Baginya, mendefinisikan sebuah perasaan ke dalam sastra tak semudah membolak-balikan telapak tangan. Aku memang gadis yang malang yang tidak bisa membuat puisi yang bagus dan menyentuh kalbu. Sastra bukanlah jiwa ku. tetapi kakak ku selalu menyuruh ku untuk membuat puisi dihari ulang tahunnya. Ujian hidup apa yang sedang kujalani ini? Aku bukanlah sastrawan. Aku tidak bisa seromantis dirinya apalagi membuat puisi meskipun temanya bebas.
Malam ini, setelah sholat isya. Acara ulang tahun sekaligus merayakan gelar sarjana yang ku sandang setelah beberapa kali merevisi skripsi dan akhirnya aku lulus. Dan sekarang aku masih pengangguran. Mungkin lusa aku akan mengajukan diri sebagai sekretaris di perkantoran. Semua teman-teman ku hadir untuk acara makan gratis. Dari mulai teman Tk sampai kuliah, semuanya terlihat jelas oleh ku betapa bahagianya mereka memakan semua makanan di pesta.
"Hei,,, Naya?" seketika ada yang menepuk bahuku. Spontan aku membalikkan badanku ke arahnya. Seorang pria beraninya menyentuh ku, batinku. Aku memandang sinis padanya. Dia malah tertawa dihadapan ku.
"Kenapa kau menyentuh ku, Pram." kata ku.
"Maaf Nay,,, aku sangat reflek. Pakaian mu sangat berubah yah. Sorry, aku tidak sengaja. " sahut Pram sembari menyunggingkan senyuman dan mengatupkan kedua tangannya ke arah ku lalu memegang kedua telinganya. Dia sangat lucu sekali. Pram adalah teman kecil ku waktu aku tinggal di desa. Sudah sepuluh tahun kami berpisah, jadi maklum saja dia masih beranggapan bahwa aku adalah Naya yang dulunya berpenampilan seperti anak laki-laki dan selalu bermain dengan laki-laki. Iyah... Aku sudah berubah, dari mulai penampilan dan cara bicara ku dan pembatasan ku terhadap seorang pria yang bukan mahram ku. Teman-teman ku selalu mengira bahwa aku terlihat sombong. Aku berubah setelah aku kuliah dan banyak mengikuti beberapa pengajian. Aku sadar bahwa Naya yang dahulu sangat jahiliyah sekali. Hahaha... Aku tidak mau membahas masa-masa jahiliyah ku. Hidup ini tidak perlu berkelana pada masa lalu yang mengganggu kalbu dan pikiranku. Aku menganggap kehidupan ini seperti air yang terus mengalir tanpa melawan arus. Ada yang mengatakan padaku, hidup bagaikan arus yang harus diikuti alurnya, jika kita melawan arus maka kita akan tersakiti. Aku meninggalkan Pram, menurutku tidak baik jika kami mengobrol lebih lama. Aku kenal pria itu, dia suka sekali menggoda dan mengoyahkan ku. Hanya satu yang belum bisa aku hilangkan dalam jiwa ku, yakni bernyanyi. Yah... Ada yang mengatakan padaku bahwa suara wanita adalah aurat tetapi yang dikatakan aurat ketika suara itu mendayu-dayu. Aku juga tidak pernah memiliki suara yang membangkitkan syahwat lawan jenis. Jika kalian tidak menyukai diriku yang masih suka bernyanyi, baiklah aku tidak melarang kalian untuk mengatakan bahwa hijrah ku belum sempurna. Karena manusia tidak ada yang sempurna.
Bukan hanya teman-teman ku, aku melihat beberapa saudara ku juga hadir. Terpaksa kaki ini harus melangkah mengarah mereka, ketika sesi foto keluarga besar katanya. Oh Ya Tuhan,,, aku benci sekali pada sandiwara ku sendiri yang harus berpura-pura senang atas kehadiran mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balai Rindu
Fiksi UmumCerita tentang perjodohan tanpa direncanakan oleh kedua pihak keluarga. Perjodohan ini dilakukan untuk menyelamatkan kehormatan keluarganya. Akankah mereka berdua saling menerimanya? Oke sebelum kalian baca jangan lupa vote, follow, dan letakkan di...