B. Dua Puluh Dua - Reinkarnasi

64 15 0
                                    

| Chapter 22 |

“Aku sudah lama berteman dengan Caroline. Dan aku juga sudah lama menyukainya. Tapi, aku tidak tahu apakah perasaan ini berbalas atau tidak. Karena saat aku ingin mengungkapkan perasaanku, dia sudah lebih dulu meninggalkan semua orang... untuk selamanya.”

“Butuh sandaran?” Caya menyentuh pundak pemuda itu sambil terkekeh. Bukannya Caya tidak peka dengan melontarkan candaan, namun ini biasa dilakukan Gean kalau dirinya sedang bersedih. Pundak kanan ditepuk-tepuknya beberapa kali. “Sini, sandarin kepala lo. Ini gratis, kok. Gue nggak minta bayaran sepeser pun.”

Yori tertawa menanggapi hal itu. “Aku tidak butuh sandaran. Sandaran itu hanya untuk orang lemah, dan aku tidak lemah.”

“Oke, deh, Yori yang nggak lemah,” ucap Caya dengan nada meledek. “Oh ya, waktu itu kenapa lo bilang ‘aku merindukanmu’ ke gue? Harusnya lo bilang kalimat itu ke Caroline—terserah dengan cara apa pun.”

“Mau lihat fotonya?”

“Apa?”

“Pertanyaanmu akan terjawab setelah melihat fotonya. Sebentar.” Yori beranjak dari duduknya. Kemudian, melangkah ke lemari pajangan dan meraih sebuah stik logam sepanjang sepuluh senti. Dia berbalik dengan stik logam di genggamannya.

Dari tempatnya duduk, Caya memperhatikan dalam diam. Bingung juga dengan benda yang diambil Yori. Hingga kebingungannya pun sirna, tergantikan dengan tatapan takjub. Yori menekan ujung stik tersebut sampai akhirnya mengeluarkan sebuah foto berwarna yang tembus pandang.

Di foto itu ada Yori dan seorang gadis yang sedang tersenyum lebar. Sepertinya gadis itu Caroline. Benar apa kata Yori, Caroline itu cantik. Senyumnya teramat manis—mungkin para lebah akan mengerumuni Caroline jika melihat senyuman itu. Caroline memiliki rambut panjang tebal berwarna hitam, dengan iris mata berwarna serupa. Sebelah tangan Yori di foto itu merangkul pundak Caroline. Mereka berdua terlihat sangat bahagia.

Seketika Caya tersadar akan sesuatu. Tatapan bingung kembali ditujukan kepada Yori. Tiba-tiba saja jantungnya berdetak kencang. Caya menelan saliva dengan susah payah. Bahkan ia sampai lupa untuk berkedip. Bagaimana tidak, wajah Caroline ternyata adalah wajahnya. Ya, sama—seperti anak kembar.

“Karena kau mirip dengannya. Kau adalah Caroline, dan Caroline adalah kau, Cayara,” ujar Yori dengan sorot sendu. Sejenak ia menatap fotonya bersama Caroline. Foto terakhir yang diambil sebelum orang sialan itu merenggut nyawa Caroline. Yori tertawa lirih. Merutuki kebodohannya karena membocorkan hal ini pada Caya.

Caya langsung berdiri. Dia masih syok. “Ng-nggak mungkin! Gue dan dia... kita nggak mungkin orang yang sama. Gue itu Cayara, sedangkan dia Caroline. Dan lagi, gue dan dia hidup di zaman yang jauh berbeda.” Lalu, Caya menuding foto tembus pandang itu. “Gue nggak tau gimana caranya foto itu bisa ada, tapi—ah, Yori, lo pasti bercanda, ‘kan? Ini beneran nggak lucu, lho.”

“Kau percaya reinkarnasi?” tanya Yori. Dan Caya diam saja, mematung di tempatnya. “Caroline reinkarnasi darimu.”

Perlahan Yori melangkah mendekat ke sofa. Bersamaan dengan itu, Caya berjalan mundur. “Setelah aku mengenalmu, aku baru sadar kalau sifatmu sama dengan Caroline. Kalian sama-sama memiliki jiwa lelaki—aku terkadang takut kau akan memukulku, karena Caroline sering melakukan hal itu saat aku membuatnya kesal—tapi, kalian juga memiliki hati yang baik.”

The Lost History; S-156 [Book 2]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang