5. Naruto

2K 204 20
                                    

Naruto membelokkan mobilnya di pariran rumahnya, mata biru pemuda itu tertuju pada Hinata yang sedang duduk di teras bersama Ibunya. Mereka terlihat asik bercerita hingga tidak menyadari keberadaan Naruto di belakang Hinata.

“Iya Tante jadi dulu Hinata punya kucing, kata temen kucing itu bisa jadi temen buat curhat sama nemenin kita pas kesepian.”

“Iya, Tante juga suka kucing. Terus?” tanya Khusina antusias, wajahnya terlihat berseri-seri dan bahagia.

“Tapi kucingnya playboy Tan, masa baru Hinata bawa pulang sehari eh dia pergi sama betina lain. Padahal Hinata udah sayang sama dia terus mau jadiin sahabat tapi dia malah milih betina dan ninggalin Hinata. Jahat kucingnya Tan..”

Khusina tertawa mencengar apa yang di ceritakan Hinata, gadis itu benar-benar lucu dan membuat suasana begitu cerah. “Kamu terlalu agresif sih sama kucingnya jadi dia takut..”

Hinata menggeleng spontan saat mendengar jawaban Khusina, “Nggak gitu Tan, Hinata baik kok. Waktu baru nyampe apartemen aja Hinata langsung mandiin dia biar seger.” Belanya kekeh.

“Pantes aja kucingnya lari, kamu baru nyampe langsung di mandiin. Harusnya kamu tunggu sampai dia nyaman sama lingkungan baru di mandiin.”

“Tapi kalau nggak mandi kan rasanya pasti gak enak, nanti kucingnya gatal-gatal gimana.”

Khusina hendak menjawab argument Hinata namun tiba-tiba sebuah suara yang cukup familiar baginya terdengar dari arah depannya. “Bego, kucing mana suka sama air.” Ujar Naruto yang datang secara tiba-tiba entah dari mana dan memotong obrolan Hinata dan Khusina.

“Loh dokter udah pulang?”

“Nar, kamu udah nyampe dari tadi? Bunda nggak denger suara kamu sayang.”

Naruto mencebikkan bibirnya kesal, “Gimana Bunda mau denger orang dari tadi malah dengerin Hinata ngehalu,”

Hinata mendelik lantas memukul perut Naruto kesal, “Yang dokter bilang halu siapa? Aku bene-“

“Stop gausah brisik, mending sekarang lo pergi. Udah jam dua belas jam nya lo istirahat.”

Dengan begitu Hinata langsung terdiam, dia baru ingat kalau dia masih punya satu kekasih yang terbaring di kamar rumah sakit lalu kenapa dia di sini malah tertawa dan bercanda seolah semua baik-baik saja?

Tanpa pikir panjang Hinata langsung berlari ke dalam kamar untuk mengambil ponsel dan tasnya. Dia harus menjaga Toneri. Bagaimana bisa Hinata melupakan kekasihnya sendiri? Gadis itu menggeleng pelan lalu berlari kalang kabut ke luar rumah Naruto.

“Tante Hinata pergi dulu,”

“Hati-hati,”

“Iya Tan, mari dok.”

Lalu gadis itu menghilang di balik gerbang rumah Naruto. Dia sangat gesit sekali dalam urusan berlari bahkan dalam hitungan detik Hinata sudah tidak Nampak oleh mata lagi. Bocah ajaib.

“Bun, ayo masuk..” Naruto membawa Ibunya masuk ke dalam ketika Naruto membuka pintu wanita baya itu berucap.

“Hinata itu asik Anaknya, Bunda suka sama dia.”

Naruto terdiam sesaat lalu tersenyum tipis, “Bunda nyaman sama dia?” tanya Naruto sambil melanjutkan langkahnya.

Khusina mengangguk antusias sambil tersenyum, meski tatapan matanya kosong tapi raut wajahnya tidak bisa berbohong dia terlihat begitu bahagia.

“Kalau Bunda mau, Naruto bisa jadiin dia Anak Bunda.”

“Eh?”

***

Hinata duduk di samping Toneri yang masih terbaring di ranjang dengan keadaan koma, di genggamnya jemari besar yang begitu dingin itu lembut sambil tersenyum. “Kamu kapan bangun yang? Aku kangen..” gumam Hinata sambil tersenyum nanar, air matanya jatuh meluruh saat membayangkan hari-hari bahagianya bersama Toneri selama ini.

“Kamu tau aku di sini sendirian, takut gak ada kamu rasanya aku bingung harus gimana. Ayo bangun sayang..”

Hening, bahkan di dalam ruangan itu hanya ada suara denting bunyi alat penyokong kehidupan Toneri dan deru AC. Tak ada suara lain selain itu. “Untungnya ada orang baik yang bisa bantu aku, dia udah nyelametin kamu. Walaupun sekarang aku harus jadi pembantu tapi nggak papa, yang penting kamu sembuh.” Ujar Hinata

“Ibunya baik deket sama dia aku ngrasa kaya punya Mama lagi, aku suka sama Bundanya dokter itu. Walaupun dokter itu judes tapi dia aslinya baik banget, nyatanya dia biarin aku tinggal di rumah dia.” Hinata tetap bercerita kendati Toneri tidak merespon apapun, sakit memang tapi dia tidak akan menyerah. Hinata akan memperjuangkan kekasihnya sampai ia sembuh.

“Kamu harus berjuang biar sembuh, aku juga pasti berjuang di sini buat kamu.

***

Pukul tujuh  malam Hinata kembali ke rumah Naruto, seperti apa yang Naruto perintahkan, Hinata pulang tepat waktu. Hinata memasuki rumah Naruto sambil membawa beberapa makanan kecil yang sengaja di belinya untuk cemilan.
Di meja makan terlihat Naruto sedang menyuapi Ibunya dengan telaten, seuntai senyum terlukis di wajah Hinata saat melihat bagaimana sabarnya Naruto menyuapi Ibunya. Wajah ketusnya hilang berganti wajah hangat dan ramah. “Hinata udah nyampe?” entah bagaimana cara Khusina menyadari kehadirannya padahal wanita itu tidak bisa melihatnya, bahkan Naruto yang normal tidak melihat kehadirannya di pintu dapur.

“Duduk sini, makan.” Naruto menatap Hinata sekilas lalu kembali meniup nasi di sendok untuk Khusina. Hinata menurut saja dia duduk di hadapan Khusina dan mulai makan seperti apa yang di perintahkan Naruto. Sepertinya Khusina selesai makan dengan cepat, Naruto langsung membawa Ibunya ke kamar dan tak lama dia kembali ke meja makan untuk makan bersama Hinata.

“Dari mana aja lo tadi?” tanya Naruto sambil menyantap makanannya.

“Rumah sakit,”

Naruto mengangguk lalu kembali menyumpit nasinya, “Gue beliin beberapa baju di lemari, lo lama jadi gue beli random aja.”

“Baju buat apa dok baju aku-“

“Gak usah panggil dok bisa gak? Gue bukan dokter kalau di rumah.”

Hinata langsung mengangguk karena wajah Naruto sangat mengerikan saat mengatakan itu, seperti hendak menelan Hinata bulat-bulat.

“Iya masud aku, kenapa beli lagi Nar baju aku kan di apartemen banyak tinggal ngambil.” Ralat Hinata.

“Kalau lo lebih suka pake baju lo yaudah, nanti gue suruh pembantu buang baju yang udah gue beli.” Ujar Naruto acuh sambil mengaduk nasinya kemudian memasukkannya kedalam mulutnya.

“He, ya jangan Nar sayang dong kan udah di beli.”

“Ya terus gimana? Lo kan gak mau pake, maunya baju lo aja.”

“Iya-iya aku mau, makasih ya..” ahirnya Hinata mengalah saja, berdebat dengan Naruto hanya akan membuat naik tensi darahnya saja, jadi Hinata harus ekstra bersabar setiap hari.

“Gitu kek dari tadi,”

Hinata hanya bisa mencebikkan bibirnya kesal, ingin membantah tapi takut Naruto menatapnya tajam lagi. Jadilah ia pasrah dan diam saja mengalah.

“Oh ya, kamar aku dimana ya Nar? Besok aku mau ngambil barang-barang dari apartemen di bawa ke sini,” tanya Hinata setelah menyelesaikan makannya.

Naruto meletakan sedoknya lalu menatap Hinata, “Lo tidur di kamar gue,”

“Kalau aku tidur di situ kamu tidur di mana dong? Aku tidur di kamar lain aja Nar engga papa.”

“Siapa bilang gue mau tidur di kamar lain?”

Hinata mengerutkan keningnya setelah mendengar jawaban Naruto yang menurutnya absurd itu, “M-maksudnya?”

“Lo tidur sama gue di kamar gue.”

“HEEEEE???!!”

Next___

The Choice | Namikaze Naruto ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang