The Devil

38 12 0
                                    

"Sudah kubilang jangan pernah dekati Emma." Alex memasang wajah kesal, ia mendekati Emma dan Edward, sampai tak sadar Mr. Taylor sudah pergi meninggalkannya. Alex melirik tajam tangan Edward yang menyentuh pergelangan Emma. "Wow. Berani sekali menyentuh adikku."

Edward melepaskan. "Oh maaf."

"Jika Emma menolak ya tidak usah dipaksa!" Alex membentak Edward, ia merasakan nadinya berdenyut cepat.

Edward melirik sekilas anak-anak di dekat mereka yang mulai memantau. Hatinya berkata, aku tidak boleh kalah.

"I'm sorry?" Edward berkedip beberapa kali. "Aku tidak pernah memaksa apa pun. Aku hanya mencoba berbuat baik kepada orang lain. Kebaikan kecil atau apalah. So, what's up man?"

Alex terkekeh hambar. "Hahaha bisa saja kau mengelak. Bagaimana pun kau mencoba meraih adikku, kau tidak akan bisa."

"Mengapa tidak?" Edward menghela nafas, ia sudah panas namun demi reputasinya, ia harus terlihat mengalah untuk saat ini. "Emma juga mau berteman denganku selama ini. Perlu kau tahu ketika ia masih belum mengenal siapa pun tahun lalu, akulah yang menemaninya dan membuatnya memiliki seorang teman. She's so happy with that right? Bahkan ia sempat berterima kasih kepadaku soal kebaikanku mau menemaninya."

"Emma jijik padamu," kata Alex secara dalam.

Emma langsung membuat peringatan. "Alex! Apa maksudmu?" tanyanya tak menyangka. Ia tak pernah berkata buruk apa pun soal Edward. Sebisa mungkin ia menutupi soal Edward dari Alex selama ini, agar kembarannya itu tidak naik darah. Tapi, apa yang dilontarkan Alex berhasil memfitnahnya.

Edward memainkan lidahnya dibalik bibirnya, dahinya berlipat bingung. "Jijik? Hah? Tak salah dengar telingaku?"

"Edward, aku tidak pernah berpikir seperti itu." Emma meyakinkan Edward yang sudah mulai tak tahan untuk berkata lebih pedas kepada Alex. Edward tahu betul Alex mengucapkan sesuatu yang berlebihan, karena ia tahu Emma tidak akan pernah mengatakan hal seperti itu. Alex bertujuan untuk menjauhkannya dari Emma.

Edward menyentuh hidungnya. "Sepertinya saudaramu memang pendendam, Emma. Seharusnya ia memaafkanku saja soal kelas bimbel itu." ucapnya menatap Emma.

"Kau bahkan belum meminta maaf," kata Alex mengucapkan fakta.

Edward semakin mengernyit. "Astaga Alex. Apakah kau lupa? Aku sudah meminta maaf padamu melalui snapchatmu!" seru Edward keras-keras.

"I don't have snapchat." Alex menjawab dengan nada yang mengerikan.

"Ayolah, Alex! Jangan membesar-besarkan masalah. Aku hanya ingin memberikan semangkuk yoghurt sialan ini untuk adikmu agar ia senang--sudah itu saja!" Edward menggeleng-gelengkan kepala. Ia mengusap matanya yang memerah, ia cukup muak melihat wajah Alex yang sok melindungi adiknya. Ia berusaha agar semua orang yang sedang menyaksikannya saat ini dapat menilai bahwa dirinya tidak pernah berperilaku buruk terhadap Emma, juga niatnya yang begitu tulus.

"Aku di sini untuk menjaga Emma dari lelaki yang ingin menghancurkannya," ujar Alex.

Edward menutup mulut, ia menahan tawa. Batinnya tertusuk mendengar hal itu. "Menghancurkan? Coba tanyakan pada Emma apakah selama ini aku berperilaku seolah hendak membuatnya menderita dengan semua perhatian dan hadiah yang kuberikan padanya?!" Suaranya meninggi.

Alex menoleh cepat pada Emma. "Hadiah? Kau menerima hadiah darinya?"

Belum sempat Emma menjawab, Edward sudah berkata lagi. "Hadiah! Banyak sekali! Tidakkah kau curiga dengan semua barang yang Emma miliki? Aku membelikannya sepatu, buku, topi musim dingin, pulpen yang sama denganku dan dorritos!" serunya dengan angkuh.

Alex diam, mulutnya seolah terkunci. Emma tahu Alex tidak terlalu pandai berdebat. Jadi, ia mencoba menenangkan Alex agar tidak ada perkelahian yang melibatkan fisik dan hukuman dari sekolah.

"Alex, sudah. Sebentar lagi masuk. Lupakan saja soal ini." Emma menarik lengan Alex, yang tetap berdiri kaku. "Alex please! Jangan menuruti emosimu--Edward tidak pernah jahat kepadaku. Dia baik, Alex."

Edward senang mendengarnya. Tetapi Alex mendelik. "Omong kosong. Aku yakin dia bisa melakukan hal-hal yang tidak-tidak kepadamu."

Emma menggeleng-geleng dan berkata dengan lembut. "Tidak akan, Alex. Turunkan egomu sedikit saja, dia bisa menjadi teman yang baik bagimu." Gadis itu berusaha netral, sebisa mungkin agar tidak menyalahkan Alex atau siapa pun.

Edward tersenyum licik, hatinya meninggi, gembira ternyata Emma berada dipihaknya. "Tak apa, Emma. Bawa saja saudaramu yang penyendiri dan menyedihkan ini. Ia tidak pantas berada di sekolah ayahku. Pasung saja, dia liar."

Seketika, penilaian Emma kepada Edward runtuh seketika. Telinganya pun bisa merasakan sakit atas penghinaan itu.

"Jaga ucapanmu, Edward! Aku tidak menyangka kau akan berkata seperti itu. Seumur hidupku, aku tahu bagaimana Alex karena ia tumbuh bersamaku!" Emma merasakan nada suaranya bergetar, menahan rasa sakit yang menjalar tak karuan. Alex mengepalkan tangan di belakang punggungnya, lalu melepaskan beberapa saat dengan perlahan.

"Nah? Bagaimana mungkin aku yakin kau bisa menaklukkan hatinya sedangkan saudaranya saja kau hina. Itu sama saja menyakitinya, 'kan?" Alex ikut bersuara, ia paling tidak senang direndahkan. Tapi, suaranya begitu tenang dan santai, seolah tidak marah.

Edward mulai merasa terpojok, ia kira Emma akan membelanya sampai akhir perdebatan. Lelaki itu bisa melihat Emma ingin meleraikan keduanya namun Alex dan Edward sama-sama melontarkan hal yang tidak benar dengan penyampaian yang salah. Hati Edward terenyuh, seharusnya ia tidak mengatakan hal seburuk tadi soal Alex. Tapi, Alex tetaplah Alex yang berani menghalanginya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Kegelapan menyelubungi pandangannya lagi.

"Baiklah," ucap Edward kemudian, ia menatap Emma lekat-lekat. "Emma, aku tidak memintamu untuk mengembalikan semua barang-barang yang sudah kuberikan kepadamu. Aku tahu, kau sama sekali tidak mengharapkan aku akan melakukan itu semua. Benar, Alex,"--ia menoleh pada Alex--"Akulah yang selalu memaksa adikmu untuk selalu berada di dekatku." Ia menoleh lagi pada Emma. "Aku tahu selama ini kau selalu menghindariku. Aku bisa merasakan kau selalu takut dimarahi Tom karena bersamaku. Tapi tak apa, Emma. Aku melakukan itu semua karena aku begitu mencintaimu."

Alex tahu Edward sengaja menyusun kalimat itu dengan memasang tampang menyesal dan seolah merendah agar terlihat sebagai korban dihadapan teman-teman yang masih berdiri di sekitar mereka.

Alex pun menyiapkan nyali untuk membela diri dan berkata dengan yakin, "Dengar. Berkat sikapmu yang berlebihan kepada Emma, kau berhasil menghancurkan hubungannya dengan lelaki yang sangat ia cintai. Dan kau tahu apa? Kurasa kau puas membuat Emma disalahkan selama setahun padahal ia sama sekali tak mengharapkan kehadiranmu! You're the devil. It wasn't me who was pathetic, nor was Emma who trying to avoid you. You succeed to destroy my sister's beautiful story with her first love. YES YOU ARE!" Alex menekan dada Edward dengan telunjuknya.

Edward menangkis tangan Alex dengan kasar. Sudah cukup ia membuat eskpresi bersalah dan mengalah. Ia melemparkan yoghurt yang ia pegang ke seberang lorong dan masuk ke dalam tempat sampah yang tak berpenutup.

Edward menghela nafas dan berujar, "Ok. Baiklah. Jika kau berpikir selama ini aku berbuat jahat kepada adikmu maybe I was but now for sure.... I WILL. Thanks for your trust, Mr. Alex."

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang