35. Pain

51 16 0
                                    

Tubuhnya yang kian tak berdaya kembali membentur dinding lorong dengan kuat. Tenaganya sudah banyak terkuras untuk menahan serangan pria berambut pirang yang begitu besar, tak seimbang dengannya. Denyut memar, merambat di seluruh bagian raganya. Luka mendekapnya begitu erat.

Charon mengusap darah yang perlahan keluar dari sudut bibirnya menggunakan kepalan tangan. Pandangannya menatap sinis ke arah pria yang sedang meringis menahan sakit ditubuhnya. Ia kembali mengepalkan tinju, mengumpulkan tenaga untuk menghabisi lelaki tersebut.

Dengan samar, Pallas menarik sudut bibirnya. Membentuk senyum getir di wajah yang terlihat menyedihkan. Seolah-olah, merendahkan lawan yang sedang dihadapinya. "Astaga, pukulanmu itu menyakitkan lho," lontarnya sambil bergerak untuk bangkit. Kalimat yang dikeluarkannya terdengar begitu ringan, tak bergetar sedikitpun.

"Tutup mulutmu, sialan!" hardik Charon kasar. Tinjunya kembali terarah ke tubuh pria yang baru saja berdiri dengan tersudut di tembok bebatuan padat. Telinganya seperti terbakar, panas mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari mulut lelaki tersebut. Meluapkan emosi yang sejak lampau terpendam di lubuk hatinya.

Pallas dengan mudah menangkap kepalan tangan Charon yang diarahkan ke arahnya. Tembok yang membentengi kekuatannya, semakin runtuh diguncang amarah. Serangan yang dibuatnya, mulai tak terkontrol. "Hei, kutanya sekali lagi. Kamu ini, sebenarnya bukanlah anak kandung Verya madam kan?" Pallas kembali melontarkan pertanyaan yang sejatinya sengaja untuk memprovokasi lawannya.

"Berisik!" Charon berusaha menghindar dari pertanyaan yang diajukan padanya. Entah mengapa, jantungnya selalu berdegup dua kali lebih cepat ketika ada seseorang yang mengungkit hal tersebut.

Kedua belah mata Pallas menyipit, menghunus ke tubuh pria yang berdiri di hadapannya. "Ah, kasihan sekali. Kamu bahkan tak mengerti kisah hidupmu ya?" lirihnya sambil terkekeh ringan.

Kepingan memori tajam kembali menusuk belahan pikiran yang selama ini selalu berusaha untuk ditutupinya. Charon merasakannya sekali lagi, hardikan kasar. Pukulan dan tuntutan yang selalu dibebankan pada kedua pundaknya. Hari-hari sulit yang kerap dilaluinya dengan penuh duka.

"Langkahmu lambat sekali, bocah! Jika terus saja begini, kamu mungkin tak akan mampu bertahan hidup di sana," sentak pria paruh baya sambil memukulkan sebatang tongkat ke punggung yang sudah direndung peluh.

Hembusan nafas yang dikeluarkannya, langsung berubah menjadi embun basah akibat rendahnya suhu disekitarnya. "Aku terperangkap badai salju. Bisakah kamu berhenti melakukan hal tersebut padaku. Kau tahu, aku sudah lelah."

Pria tersebut menyepakkan kakinya ke arah tubuhnya yang terlihat menggigil kedinginan. Membuat dirinya terjatuh di hamparan putih yang membekukan."Berhenti mengeluh. Kamu ini laki-laki. Aku tak bisa menerima jika seorang lelaki tak sanggup menanggung beban hidupnya."

Pria itu mulai membalikkan badan, kemudian melangkahkan kaki meninggalkan dirinya yang setengah terbenam di permukaan salju tebal. Namun, sebelum ia berhasil menarik diri untuk berdiri dari hamparan dingin, lelaki paruh baya tersebut menghentikan langkahnya. Dan tanpa berbalik menatapnya, pria tersebut melontarkan sebuah kata yang begitu dingin serta menyulut emosi,

"Menyedihkan."

Seketika, Charon tak mampu membedakan mana yang nyata, dan mana yang hanya gulungan ingatannya. Kata-kata yang sama jelas baru saja tertangkap oleh indera pendengarannya. Namun, sama kerasnya dengan apa yang terlontar di dalam benaknya. Membuatnya terperangkap dalam lingkaran yang menyesatkan.

Tiba-tiba, sebuah guncangan yang cukup besar langsung menyadarkannya akan kenyataan yang sedang terjadi. Pandangannya kembali menangkap pria yang berdiri di hadapannya, seakan merasakan getaran yang sama dengannya. "Apa ... yang tadi kamu katakan?" ujarnya untuk lebih meyakinkan dirinya sendiri.

The Demonic Paradise ✔  [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang