Sudah Saatnya Kamu Pulang

31 8 51
                                    

¤
¤

Hari pertama.

Aroma seduhan gilingan biji kopi menyeruak memenuhi tiap sudut dinding-dinding dapur. Kepulan asap putih senantiasa membumbung bak lokomotif yang sedang melaju membelah jalur besi. Berdenting. Roti tawar panggang mencuat keluar dari mesin panggang listrik itu. Perempuan itu meletakkan tekonya, cangkirnya sudah penuh dengan cairan kehitaman.
Cekatan, tangannya sudah meraih dua lapis roti panas itu sembari mendadaninya dengan selai stroberi.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan lewat sepuluh menit. Perempuan itu segera bergabung ke saluran televisi favoritnya. Matanya menatap fokus ke acara selebritas yang sedang memandu acara jalan-jalan sembari sesekali menggigit roti lapisnya.

"Setidaknya beri aku segelas kopi, Vi," ucap Bre sembari nyengir, suaranya pelan agar tak mengganggu suara gadisnya yang sedak asyik larut ke dalam acara tv tersebut.

Bola mata Bre tiada bosan menekuri wajah Vi yang duduk satu sofa dengannya. Gadis itu spesial. Gadis yang mampu menyihir Bre untuk menyerahkan seluruh hatinya cuma-cuma, tak bersisa.

Dan disitulah kebodohan Bre.

Hari ketujuh.

Vi memutar kemudi kendaraan beroda empat miliknya dengan lihai. Alam bawah sadarnya hapal betul jalanan menuju bangunan sepuluh lantai sumber saldo atmnya.

"Baru beberapa hari keluar kantor, rasanya aku sudah rindu dengan tempat itu," gumam Bre sembari menatap bangunan pencakar langit di sisi kanannya.

"Kalau begitu turun dan sapalah rekan-rekanmu," balas Vi dingin, matanya masih menolak untuk menatap Bre yang duduk di sebelahnya. Genggamannya di kemudi mobil mengeras demi mendengar kekehan Bre yang mengalahkan suara musik radio.

Tak berselang lama mobil merahnya segera mengisi salah satu slot parkir di basement kantornya.

"Nanti harus kujemput pukul berapa?" tanya Bre sembari melongokkan kepalanya.

Vi membanting pintu mobilnya.

Hari kedua puluh satu.

Vi mendorong keranjang belanjanya yang berisi deterjen cair, obat nyamuk, beberapa sayuran segar, dan tak lupa dua box bubuk kopi arabika.

Vi sedang membandingkan dua kemasan ayam potong di tangannya. Bola matanya menatap rinci bak melakukan otopsi pada ayam broiler itu.

"Menurutku yang kanan," celetuk Bre yang ikut menyilangkan kedua tangannya sembari mengamati dua potong ayam.

Rahang Vi mengeras. Jantungnya memompa darahnya makin cepat. Dengan kasar ia meletakkan potongan ayam di tangan kanannya kembali ke freezer sembari tangan kirinya meletakkan potongan ayam lain ke keranjang belanjanya. Terburu-buru, gadis itu mendorong keranjang belanjanya menjauhi Bre yang sudah tersenyum kecut.

Sudah berminggu-minggu, Vi tetap abai padanya, melirik pun seolah tidak sudi.

Sampai kapan kamu akan mengabaikanku?

Disisi lain Vi memejamkan matanya singkat.

Kamu sudah keterlaluan, Bre.

Hari ketiga puluh lima.

Aroma wewangian mint timbul hilang menggelitik indera penciuman Vi. Gadis itu terdiam sejenak demi menyadari kehadiran Bre yang sudah berdiri di sebelahnya. Laki-laki itu seolah bisa menemukannya bahkan keujung dunia sekalipun!

Bre terlalu banyak mengambil tempatnya. Bre terlalu banyak menyiksanya. Bahkan terkadang... membuatnya muak.

"Aku minta maaf, Vi. Sungguh, kalau saja–"

Suara pisau dapur yang beradu dengan telenan kayu terhenti. Bola mata Vi tertuju pada jemarinya yang menggenggam gagang pisau. Vi tak bisa membendungnya, sebulir air matanya lolos.

"Bukan soal memaafkan, Bre."

Yang dilihat Bre adalah punggung Vi yang menjauh sebelum hilang dibalik pintu jati kamarnya.

Bre tidak tahu bagaimana bibir Vi yang bergetar mengatakannya.

Yang Bre tahu, Vi terlalu marah untuk sekadar bola matanya menyapa dirinya.

Bre tidak tahu, kabut putih yang selalu melapisi bola mata gadis pujaannya.

Yang Bre yakini, Vi terlalu jengah untuk memulai percakapan dengannya, terlebih lagi untuk mengembalikan barang sepotong hatinya. Merajut kembali kisah-kisah manis mereka yang sudah digerogoti waktu.

Yang Bre tidak tahu, sisi egoisnya terlampau menyakiti Vi.

Hari keempat puluh.

Semilir angin sore menerbangkan beberapa helai rambut Vi yang dibiarkannya tergerai menutupi sebagian mantel hitamnya. Tangan kanannya menggenggam rangkaian bunga lili putih yang astaga, membuat kepalanya sedikit pusing. Terlalu kuat.

Vi mengerjapkan matanya. Tempat ini terlalu hening. Terlalu sunyi. Membuat otaknya terlalu bekerja ekstra, bak pemutar dvd yang mereka ulang kejadian tiga puluh sembilan hari terakhir. Ah tidak, bahkan lebih.

Malam itu.

Tepat saat detak jantung Vi yang berdenyut-denyut lebih cepat. Tepat saat waktunya terhenti meski bumi tak pernah henti berotasi. Tepat saat sengal napasnya mencapai batas. Tepat saat Bre–

"Aku mencintaimu, Vi." Bre buka suara, memutus hening yang terlalu riuh bagi Vi.

Senyum di bibir Bre surut. Vi menunduk menatap kilatan batu marmer di dekat kakinya. Bre sudah fasih dengan kata itu. Kalimat yang selalu menggetarkan hati Vi, dulu.

Kali itu. Untuk kedua kalinya setelah yang sudah-sudah Vi menghindari wajah Bre, gadis itu kembali menatapnya. Dadanya kembali sesak. Aliran darahnya berdesir hebat demi mendapati wajah Bre yang terluka. Kedua matanya kembali memanas.

Bre tertegun.

Vi mengangsurkan rangkaian lili putih itu kepada Bre. Bre menatap jemari Vi, permata itu sudah tak mengikat jemari gadisnya.

"Sudah saatnya kamu pulang, Bre."

Bre meneguk ludahnya, senyumnya kembali tersungging.

 
 
 

-TAMAT-

Diketik ditengah siang bolong.

11 Februari 2021

¤
¤

Terima kasih untuk yang sempat singgah.
Beneran gaje ternyata, haha.
Yaudah gitu aja biar ga tambah gaje.
Dada.








Sudah Saatnya Kamu PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang