marah

88 9 1
                                    

"Potong rambut lo," kata Dion tiba-tiba.

Anya mengernyit bingung. "Kenapa?"

Pemuda itu tak menjawab, langsung saja ia menarik tangan Anya untuk pergi ke parkiran setelah membayar buku.

Gadis berkacamata kotak itu terkejut, kakinya kembali terasa keram. Ia menahan tangannya untuk berjalan lebih jauh, Dion tersadar lalu melepas cengkramannya.

"Sorry."

Pemuda itu mengambil tangan Anya lembut, ia juga berjalan lebih pelan dari sebelumnya. Benar-benar pemuda ajaib dengan sejuta kepribadian.

Keduanya kembali melesat di jalanan yang ramai sore ini. Dion melajukan motornya cepat, sampai-sampai Anya berpikir pemuda itu berniat membunuhnya.

"Kaki lo kenapa?!" tanya Dion sedikit berteriak

Anya diam, gadis itu tak mendengar dengan jelas ucapan Dion barusan. "Apa?!"

"Lo tuli, ya?!"

"Nggak denger. Suaranya kebawa angin!"

"Kaki. Lo. Kenapa?!" Dion kembali mengulang pertanyaannya dengan lebih jelas.

"Keram."

Dion menghentikan motornya di pinggir jalan lalu mengeluarkan ponselnya dari saku jaket. Pemuda itu melirik kebelakang lewat kaca sipon, setelahnya ia mendesah berat.

"Sorry," katanya

Cowok berwajah oval itu memberikan ponsel dengan artikel yang tertulis di dalamnya. Anya memiringkan kepala, menatap balas pada Dion lewat spion, tersirat kebingungan di netranya.

"Lo kurang pemanasan," kata cowok bermata dalam itu menyesal

Anya semakin bingung. "Kok minta maaf sih?"

Dion terkejut. Benar juga, mengapa pemuda itu harus repot-repot meminta maaf? Ini 'kan bukan salahnya.

Cowok jakung itu melanjutkan kembali perjalanannya menuju salah satu salon yang cukup terkenal.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pegawai sambil tersenyum ramah.

Dion menatap Anya sekilas. "Apa standar kecantikan dunia?"

"Kulit putih dan rambut lurus yang terawat," jawabnya

"Kalau gitu, urus cewek ini," ucap Dion

Anya mematung sambil menatap Dion. "Ini pasti lama, ibu bisa khawatir," katanya berusaha menolak

"Mana hp lo?"

Kendati Anya diam, ia tetap memberikan ponselnya pada cowok jakung itu. Dion terlihat sedang menelpon seseorang menggunakan telepon genggam milik Anya.

Tak lama kemudian, pemuda itu selesai dengan kegiatannya. Gadis berkawat gigi itu ingin bertanya, tapi ia segan. Jadi, Anya memutuskan untuk tetap diam dan menunggu Dion berbicara duluan.

"Bu Ratih udah ngasih izin," kata Dion singkat

Anya hanya pasrah pada rencana pemuda di depannya. Lagi pula, Dion yang membayar semua ini. Jadi ia tak perlu khawatir.

Keduanya sampai saat jarum jam tepat di angka delapan, padahal Anya sudah merengek minta pulang, tetapi Dion sangat keras kepala dan bersikeras untuk tetap berada di salon.

Ratih berjalan cepat menuju pintu rumah saat mendengar deru motor milik Dion. Dengan tergesa-gesa ia keluar rumah dan terkejut dengan perubahan pada diri Anya.

Gadis itu memotong rambutnya sebahu, surainya lebih berkilau dari sebelumnya. Anya juga sudah melewati berbagai treatment untuk mencerahkan kulit. Cewek itu terlihat lebih baik sekarang.

"Kamu potong rambut?" tanya Ratih memastikan.

Gadis itu mengangguk lalu memutar tubuhnya. "Iya, bagus 'kan, Bu?"

"Bagus?" wanita paruh baya itu mengernyitkan dahinya, berpikir. "Biasa aja."

Anya terdiam dengan mulut terbuka, sementara Dion sudah tertawa jika saja ia tak berusaha menahannya.

"Cepat masuk terus makan malam!" titahnya pada Anya

"Mas Dion, makanannya sudah saya siapkan di meja," imbuh Ratih

Keduanya mengangguk, berlalu menuju kamar masing-masing dan kembali bertemu di meja makan.

"Mau ke mana?" tanya Dion saat melihat Anya mengambil makanan lalu berbalik arah.

"Mau makan di dapur."

"Duduk," katanya tanpa melihat ke arah Anya.

Anya menggeleng. "Nanti diliat tuan Tama, nggak enak."

"Gue bilang duduk!"

Gadis itu tertegun, setelahnya ia mengambil tempat di depan Dion. Anya mengetuk-ngetukkan sendoknya di piring, pertanda kesal.

"Kak Dion suka ngebentak, nggak asik." bibir gadis itu maju beberapa senti.

Hampir saja Anya mengumpat, pemuda di depannya benar-benar menguras emosi. Lihat saja, ia bahkan tak menjawab ucapan Anya barusan.

"Coba semua orang kayak kak Reynand, pasti seru."

Atensi Dion teralihkan sepenuhnya. "Lo kenal Reynand dari mana?"

"Kepo, ya." Anya menaikturunkan alisnya.

"Jawab!" Pemuda itu memegang sendoknya kuat, rahangnya mengetat, dan wajahnya memerah.

Raut Anya berubah pasi, Dion marah.

Dion [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang