13. Hukuman

131 120 89
                                    

Ada saatnya dimana orang terdekatmu akan meninggalkanmu, entah itu untuk sementara, atau untuk selamanya
_______

Happy Reading Guys❤
.
.
.

Motor Naufal berhenti di halte yang letaknya tak jauh dari perumahannya. Luna yang meminta. Naufal sudah menolaknya tetapi dengan keras kepala, gadis itu tetap memaksanya. Akhirnya mau tak mau Naufal pun menurut.

"Kenapa nggak sampe depan rumah lo aja sih?" Tanya Naufal.

"Nggak papa. Gue mau mampir ke mini market di sana." Luna menunjuk ke arah depan, yang memang terdapat mini market di sana.

"Kalau gitu, gue tungguin di sini. Nanti gue anter ke rumah lo."

"Nggak usah. Udah deket kok. Lo pulang aja gih."

"Oh iya, makasih udah nolongin gue semalem. Gue nggak tau kalau nggak ada lo nasib gue bakal kayak gimana."

"Sama-sama. Lain kali kalau mau jalan-jalan matanya melek, biar tau lo udah seberapa jauh jalan. Gue pulang."

"Sekali lagi makasih Fal."

Setelah motor Naufal hilang dari pandangannya, Luna langsung berlari menuju komplek perumahannya. Kakinya terus berlari menyusuri jalanan beraspal. Ia berhenti tepat di depan pagar yang menjulang cukup tinggi.

Nafasnya masih belum beraturan, ditambah rasa takut yang kini melingkupi hatinya. Ia ragu untuk masuk ke dalam sana.

Dapat Luna lihat jika mobil sang Ayah ada di sana, itu artinya Ayahnya sedang ada di rumah. Luna semakin dilanda rasa takut. Apa lebih baik ia tidak pulang saat ini? Tidak, apapun yang terjadi nanti, Luna harus pulang.

Dengan perlahan, Luna membuka pagar. Ia berusaha sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara, namun usahanya hanya sia-sia. Pagar itu tetap menimbulkan suara.

Luna melangkah pelan menuju pintu utama. Sungguh, jantungnya semakin berdetak dengan kencang. Dibukanya pintu itu dengan pelan, kemudian ia mulai masuk. Baru beberapa langkah, sebuah suara mengejutkannya membuat langkahnya sontak terhenti.

"Bagus! Semaleman nggak pulang! Kemana aja kamu?!"

Luna berbalik menghadap sang Ayah, namun pandangannya tetap mengarah ke bawah. Ia tidak berani untuk sekedar mengangkat kepala.

"M-maaf Pa."

"Nggak usah pulang sekalian! Jadi anak bisanya cuma nyusahin!"

"Ma-af Pa, kemarin Luna nyari kak Maudy." Ujar Luna dengan suara yang bergetar.

"AKH!" Luna berteriak kesakitan ketika sebuah vas bunga kecil mengenai pelipisnya. Ia meringis merasakan kepalanya yang berdenyut.

"Nggak usah banyak alasan! Masuk kamar sekarang!" Darren berbalik, kemudian melanjutkan kalimatnya tanpa menoleh ke arah Luna. "Malam ini nggak ada makan malam!"

Air mata Luna terus mengalir membasahi pipinya. Rasa sakit di hatinya kini lebih menyakitkan daripada luka di pelipisnya.

Luna mulai melangkah menuju kamarnya. Ia membuka pintu dengan perlahan dan kembali menutupnya. Punggungnya ia senderkan pada pintu, dan dengan perlahan tubuhnya meluruh ke bawah. Dinginnya lantai tak ia perdulikan sama sekali.

(Not) PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang