Duduklah di sampingku, akan kuceritakan segalanya kecuali perpisahan.
.
.
.Malam romantis itu mereka habiskan sampai hampir menjelang pagi. Melewatinya dengan senda gurau pula beragam topik pembicaraan lain. Menyebabkan keduanya menjadi lebih dekat dan saling memahami. Walau semua tak semudah yang dapat terkira, tak seindah dari ruang khayal. Namun selagi waktu milik berdua, seluruh suka cita wajib untuk diraih.
Nata duduk di lantai sintetik bercorak kayu, bersila seraya menunggu mie di dalam cup itu melunak dan siap disantap. Rasa kantuk membuat dia menguap, lalu mendaratkan kedua tangan yang berlipat ke permukaan meja oshin sebagai alas kepalanya. Dan lambat laun kelopak mata Hinata pun terpejam.
Di sisi lain Naru tengah berada di luar, menumpukan lengan ke pagar pembatas, menatap pemandangan pagi yang cerah sembari menikmati sekaleng nescafe. Suara debam pintu membuat lelaki itu menoleh ke kiri, mendapati Shion jalan bersungut-sungut dengan wajah muram.
"Anak jelek, mukamu kenapa?" sapa Naru, sengaja meledek tanpa merasa kalau itu sesuatu yang salah, sedangkan Shion seketika mengamatinya lewat pandangan menusuk.
"Seenaknya mengejek orang. Lihat baik-baik dong, dari sisi mana kau bisa mengatakan kalau aku ini jelek?" Sambil menyisir rambutnya dengan jari-jari, dia membalas angkuh perkataan Naru. Dagunya terangkat berikut kedua lengan yang dilipat ke atas dada. Tapi tawa Naru barusan kian memancing amarahnya.
"Punya kaca 'kan? Lihat sendiri sana, memang aku peduli?" kata Naru dengan entengnya, lalu kembali santai mereguk nikmatnya si kopi krimer.
"Dasar sombong. Aku jadi ragu, kau itu Kak Naruto atau bukan? Yang kuingat dia anak laki-laki yang baik, lembut dan suka menolong orang. Bukan bermulut pedas sepertimu."
"Terserah!"
"Kau!"
"Mau apa? Cari gara-gara lagi? Tidak ada waktu, aku cape."
"Astaga...! Tempat ini benar-benar menyebalkan. Banyak orang gila di siang hari, lalu malamnya hantu-hantu berkeliaran, suara aneh di mana-mana. Aku harus segera pindah dari sini." Shion berteriak kesal seraya mengepalkan geram kedua tangannya.
"Hantu? Suara aneh? Aku sudah lama tinggal di sini. Tapi, belum pernah mendengar hal-hal yang kau bilang itu." Kening Naru mengerut bingung.
"Yang benar saja, mustahil tidak dengar. Malah kupikir dari kamarmu pasti lebih jelas. Suaranya benar-benar aneh, berubah-ubah. Kadang seperti wanita yang sedang kesakitan, merintih, bunyi napas berat, lalu tiba-tiba tertawa. Mengerikan!"
Shion memaparkan kejadian yang dia alami tadi malam dan semuanya berhasil menahan gadis itu untuk bisa tidur dengan nyenyak. Kemudian Naru spontan terserang malu. Ucapan Shion mendadak bikin dia mematung, sekujur tubuh dan wajahnya memanas. Tentu tahu mengarah ke mana peristiwa tersebut. Padahal dia sudah mengingatkan kepada Hinata agar meredam suaranya. Tapi, mau bagaimana lagi? Sulit bagi siapa pun untuk membatasi ekspresi ketika bercinta.
"Naru, ramennya sudah mengembang," lelaki itu langsung bernapas lega dan tersenyum saat kekasihnya muncul dari balik pintu di waktu yang pas. Sayang, penyelamatku. Batinnya girang. "Ayo masuk!" Nata menarik kuat lengannya, lalu buru-buru menutup pintu dengan kencang, meninggalkan Shion dalam keadaan melongo heran. "Mana bajumu? Kau suka jadi tontonan para wanita, ya? Dia siapa?"
"Shion?"
"Oh Shion?" Ehm... terus mau apa tadi dia?"
"Cuma mengobrol, dia tetangga baru di sebelah. Kemarin aku membantunya memasang lampu, terus dia memberiku makanan. Dan... dia juga berasal dari panti yang sama denganku." Naru menjelaskan secara terbuka, tak ada yang disembunyikan olehnya.
"Kalian sangat dekat ya, ternyata." Nata mengangguk-angguk sambil mencebik, wajahnya berkerut.
"Ehh... kok mukanya ditekuk begitu? Jangan salah paham. Bukan seperti dugaanmu. Bahkan yang kuingat dia hanyalah gadis kecil yang cengeng."
"Tahu banget kayaknya."
"Memang itu kenyataannya, tidak ada apa-apa sama dia, bukan teman akrab juga."
"Aarrgghh! Aku sebal padamu." Nata mengentak-entakkan kaki ke lantai, lagi-lagi dia memperlihatkan wajah cemberut. Pipinya menggembung, tapi justru sangat lucu bagi Naru.
"Buat apa marah-marah?." Naru merangkul pundak kekasihnya sambil tertawa, mencium singkat puncak kepalanya, lalu mengajaknya duduk untuk menikmati sarapan pagi mereka yang kesiangan. "Rambutmu rapikan dulu," begitu duduk dia langsung menggulung rambut Nata tinggi-tinggi. Salah satu kebiasaan yang paling disukai oleh Naru, ketika merasakan betapa halus helai rambut Hinata di telapak tangannya. "Sudah... jangan cemberut lagi. Kamu tidak tergantikan sama siapa pun. Sekarang, ayo makan!"
-----
Usai sarapan pagi sederhana, namun menyenangkan. Setidaknya itu yang dirasakan Hinata. Kebahagiaan benar-benar memanjakan hatinya, tatkala kebersamaan yang walau serba seadanya, tanpa ada kemewahan. Tapi justru sanggup menepis keluhan. "Hari ini ke kampus tidak?" Tanya Naru sembari dia mengulang mencoret-coret kertas, menyusun anggaran keuangan. Keduanya sama-sama bertahan di posisi tadi dengan Hinata yang berbaring di pangkuan Naru.
"Aku sudah bilang pada Ino hari ini aku izin tidak masuk dan sebenarnya... siang nanti dia mengundangku makan." Nata menjawab selagi dia menggulung-gulung helai rambutnya.
"Ya sudah, nanti aku antar ke rumah Ino. Lalu bajumu? Tidak bawa pakaian bagus 'kan?"
"Sudah aku pesan ke Madam Eve. Kurir yang antar ke sini."
"Ehm."
"Kamu sedang apa?" Hinata menanyakan itu manakala menjumpai keseriusan di wajah kekasihnya.
"Bikin anggaran bulanan, biar keuanganku lebih tertata. Aku juga harus segera mencari pekerjaan tambahan, sidang meja hijau sebentar lagi." pengakuan Naru menyebabkan dia menyesal. Karena besarnya ego yang dia miliki, dia sengaja membuat Naru agar dipecat dari pekerjaannya.
"Perlu banyak dananya? Kalau aku beri pinjaman bagaimana?"
"Tidak perlu. Tujuanku ingin membuktikan diri, kalau dibantu ya sama saja. Aku tidak bisa lengah atau lemah demi mewujudkan kehidupan yang pantas. Ini demi kita, demi kuatnya keyakinanku saat akan meminta dirimu kepada orang tuamu kelak. Aku sangat mencintaimu, tapi memantaskan diri juga perlu."
"Tapi begini pun aku sudah senang," kata Nata seraya mengukir ulang bentuk tato di perut Naru dengan telunjuknya.
"Hinata... jangan merusak konsentrasiku." Naru menyingkirkan jari Hinata dari perutnya. "Belum seberapa. Baru terasa setelah beberapa tahun, saat kamu hamil, melahirkan, kita punya bayi. Semua itu membutuhkan biaya. Aku tidak mungkin menelantarkan istri dan anak-anakku, membawa kalian ke dalam kondisi sulit. Cita-citaku hanya ingin bisa hidup tenang." Diam-diam Hinata tersenyum, jantungnya berdetak kencang. Bahagianya tidak tanggung-tanggung. Dalam hati dia meracau, ke mana pun akan ikut asalkan bersama pria ini.
"Aku jadi mengantuk."
"Naik ke atas kalau mau tidur."
"Tidak! Aku di sini saja." Dan Naru hanya diam mendengkus, mengabaikan tingkahnya yang manja.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
To be Lovesick ✓
RomanceHidup seorang diri, tanpa ingatan apapun tentang keluarganya. Uzumaki Naruto hanya lelaki sederhana, bekerja sebagai karyawan biasa. Bukan direktur, dokter atau layaknya para pria penakluk wanita dengan segudang kemilau harta. Tapi, takdirnya tak se...