40. Dia Level 13 (Celengnya Juga)

49 13 6
                                    

Sontak aku langsung mengarahkan kedua telapak tanganku ke depan untuk membuat sebuah benteng es. Semburan es keluar dari kedua telapak tanganku, sebuah benteng es tak beraturan setinggi enam meter terbentuk. Dan aku terkejut ketika benteng es itu langsung berhamburan ketika dia menghantamnya. Aku mengelak mundur untuk menghindari kepingannya. Tristan yang masih terselimuti pendar cahaya pun ikut melakukannya.

Dia berjongkok di atas benteng es yang baru dia rusak. "Sayangnya es ini kurang kuat." Trisula merah masih berada di tangan kirinya.

"Bagaimana dengan ini!" Tristan melesat ke atas, tepat ke hadapan Setan Merah itu, kaki kanannya siap menendang. Kecepatannya hampir menyaingi kecepatan Langkah Kilat milik Bang Ajun. Tristan mengayunkan kaki kanannya. Setan itu langsung menggerakkan trisulanya untuk dijadikan sebagai tameng. Betis Tristan yang terselimuti oleh baja hitam menghantam trisula merah milik si Setan.

Setan itu melesat kembali ke babi hutannya yang lebih besar dari gajah——secara harfiah. Lalu Tristan mendarat di sampingku.

"Tendangan yang bagus." Aku mengajaknya mengadu tinju.

Dia membalas tinjuku, tapi dia berkata,"Tongkatnya sangat keras, bajaku pecah."

Aku melihat ke arah betis kanannya yang sekarang hanya terselimuti oleh bahan kulit hitam saja, tidak ada lagi baja hitam yang melapisinya.

"Itu trisula, bukan tongkat."

"Itu tidak penting."

"Jadi sekarang bagaimana? Dia bisa menghancurkan benteng es milikku dengan mudah."

"Aku tidak tahu," katanya.

"Kita lari?" tanyaku.

"Jangan harap!!" Babi hutan besar itu berlari mendekat——aku tidak bisa melihatnya karena terhalang benteng es yang kubuat, tapi aku merasakan getaran kaki-kakinya yang berlari di atas tanah. 

Aku dan Tristan berlari. Babi hutan itu menghantam benteng es sampai hancur, si Setan berdiri di atasnya.

"Tristan, kau ke kiri, aku ke kanan," ujarku, pada saat berlari.

"Kenapa?" tanyanya.

"Aku pernah baca jika babi hutan itu hanya bisa berlari lurus. Dia sulit berbelok."

"Oke." Tepat setelah Tristan mengatakannya, kami berlari terpisah. Tristan berbelok ke kiri, dan aku ke kanan. Kemudian kami berlari di sisi aspal, berbalik menuju jalanan yang tadi.

"Kalian tidak bisa berlari kemanapun, Tikus-tikus Kecil!" katanya. Dia berbelok, kemudian kembali mengejar kami.

"Teorimu salah!" tukas Tristan. Kami sudah kembali berjalan di atas aspal.

"Mungkin seharusnya kita memanjat pohon!" balasku.

"Tidak, kita lawan saja." Tristan berhenti berlari dan membalikkan badannya, menghadap ke si Celeng Raksasa dan pengendaranya. Kepala dan wajah Tristan diselimuti oleh baja hitam yang membentuk helm keren. Kemudian dia membuka sebuah kuda-kuda, kedua tangannya membentuk huruf X. Lalu perisai yang ada di tangan kanannya beralih ke depan.

Aku yang sudah berlari beberapa langkah darinya langsung berhenti. Perisai bulat itu membesar menjadi seukuran Celeng Raksasa itu. Lalu celeng itu datang dan menabraknya. Tristan terdorong mundur beberapa meter.

"Argh," erangnya.

Perisai itu retak.

"Tristan! Pergi dari sana!" teriakku.

Tristan melompat ke atas. Perisainya pecah menjadi puing-puing kecil karena terkena hantaman taring si Celeng yang besar dan tajam. Lalu pecahan perisainya menghilang bersama cahaya kuning, jingga, dan merah. Saat melompat melewati si Celeng dan si Setan, Tristan berbalik dan menjadikan perisai yang ada di tangan kirinya sebagai senjata. Dia melemparkannya ke arah si Setan, seraya berteriak, "Rasakan ini, Wajah Merah!!"

Aran Alali #1: Hujan Darah IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang