Ouch..

57 7 0
                                    

Hari menjelang malam ketika Renjun sampai di asrama. Perjalanan dari bandara ke asrama memang sedikit memakan waktu karena lalu lintas yang padat dan hujan yang turun dengan intensitas sedang. Dia mendapat kabar dari grup chat kalau Chenle dan Jisung sedang syuting 'This and That', sedangkan Jaemin pergi ke studio rekaman. Jeno, melalui chat pribadi, bilang padanya akan selesai syuting 'The Show' dan sampai ke asrama dalam tiga puluh menit. Jadilah asrama sangat sepi ketika Renjun melangkah masuk ke ruangan itu. Sambil menarik koper besarnya ke kamar, remaja itu terus saja menggerutu tentang betapa melelahkannya hari ini.

Dia langsung membanting tubuhnya ke ranjang dan menggeliat seperti seekor ulat, karena tubuhnya terasa kaku luar biasa.
Selepas kepergiannya ke Beijing tiga hari lalu, hal yang paling dirindukannya saat kembali adalah aroma kamarnya dan seprei Moominnya yang lembut. Inginnya langsung bergelung dan tidur saja, tetapi kemudian ia bangkit dan pergi ke kamar mandi. Setidaknya mandi air hangat bisa menghilangkan lelahnya agar ia bisa tidur dengan nyenyak malam ini.

Suara shower mengalir dan senandung merdu terdengar bahkan hingga keluar bilik kamar mandi. Remaja Jilin itu selesai setelah kurang lebih lima belas menit kemudian, dengan rambut basah dan aroma buah-buahan yang segar. Sambil dibalut bathrobe putih dan sandal rumah dengan kepala Moomin besar di depannya, Renjun melangkah ke arah dapur, mengambil sekotak jus melon dingin sebelum pergi ke kamar.

Dia duduk di pinggir ranjang, meraih ponselnya yang berdering dengan ID Jeno 'memanggil' di layar.

"Wae?" Kaki-kaki mungil Renjun yang menggantung di bawah ranjang mengayun lucu, sementara mulutnya sibuk meneguk jus melon dari sedotan.

"Kamu sudah sampai?"

"Hmm. Baru selesai mandi."

"Pantas."

Renjun mengernyit, "Apa?"

"Wanginya sampai sini." Anak laki-laki di seberang sana tertawa pelan sementara Renjun hanya memutar bola matanya.

"Kamu sampai mana?"

"Sampai depan."

Cklek.

Belum sempat Renjun tanya, pintu kamarnya tiba-tiba saja sudah menjeblak terbuka dan menampakkan batang hidung anak laki-laki di sambungan teleponnya.

Renjun merengut dengan bahu yang turun, nampak menggemaskan. Sambungan telepon dimatikan dan Jeno langsung berjalan menghampiri lelaki yang lebih kecil.

"Kan aku bilang, wanginya sampai sini." Jeno terkekeh.

Renjun yang merengut tiba-tiba balik mengulas senyum. Entah kenapa, melihat Jeno menjulang di hadapannya membuat hatinya bergemuruh senang.

"Kenapa senyam-senyum?"

"Senang." Jawabnya jujur.

"Karena melihatku?" tanya Jeno sambil bersidekap dada sok angkuh. Sedikit terkejut ketika melihat respon Renjun kemudian. Anak laki-laki yang lebih kecil tak disangka mengangguk.

"Apa-apaan ini." Jeno tertawa dengan alis bertaut, lalu duduk merapat pada laki-laki manis itu. Renjun perlahan memundurkan tubuhnya karena merasa Jeno terlalu dekat.

"Apa?" Renjun mengedik, seolah baik-baik saja ketika Jeno beringsut semakin dekat, dia malah balik menatap wajah Jeno "tidak boleh senang melihatmu?"

Renjun bersuara terlalu lemah dan pelan, dan itu jelas saja membuat Jeno mengerang kesal. Anak ini sialan sekali, pikir Jeno.

"Injun-ah, berhenti menggodaku!" Gerutuan sebal meluncur dari mulut yang lebih muda.

Kini giliran anak laki-laki Jilin itu yang tertawa. Sepasang matanya membentuk garis yang menggemaskan. Sambil menggigit bibir bawahnya, Renjun kemudian mendekat.

"Jeno-ya."

"Hm?"

Tangan mungil Renjun perlahan mengalung di bahu laki-laki di hadapannya. Tapi Jeno justru semakin tertekuk wajahnya, karena..

"Kalau kamu nggak mau dicium jangan menggodaku, Injun."

"Aku nggak ada bilang nggak ingin dicium." Renjun tertawa sembari mengusap kepala kesayangannya, "aku bilang jangan cium aku di depan Dreamies."

Iya. Minggu lalu mereka bertengkar karena Jeno mencium Renjun saat Jisung tak sengaja lewat ruang tengah untuk mengambil air di dapur. Renjun terus membuntuti Jisung pada akhirnya, meminta maaf atas kecerobahan mereka pada si bungsu dan memohon untuk tidak memberitahu yang lain. Jisung bilang tidak apa-apa sambil memutar bola matanya dan berkata kalau dia sudah tujuh belas tahun dan mengerti akan hal itu. Tetapi anak laki-laki bongsor itu sungguh tidak bisa tidak tutup mulut pada teman sekamarnya, Na Jaemin. Alhasil, Jaemin menyidang mereka keesokan harinya. Tidak jauh-jauh dari kalimat, "kalian sungguh merusak moral di depan Jisung, demi Tuhan."

Jeno tidak mau disalahkan. Dia bilang Jisung saja yang sedang sial, lewat ketika mereka sedang berciuman. Dan gerutuan Jisung tentang umurnya tidak pernah diindahkan para hyungnya.

Renjun tertawa pelan melihat wajah Jeno yang cemberut, dengan jahil menjawil dagu kekasihnya.

"Jadi?" Ibu jari Renjun bermain di permukaan bibir bawah Jeno, mengusapnya teramat sensual.

Tak butuh waktu lama untuk Jeno mengukung Renjun di atas ranjang dan melumat labialnya tergesa-gesa. Sandal Moomin Renjun terpental sampai menabrak pintu tepat ketika daun pintunya terbuka dengan derit yang sangat halus.

Uh, oh.

Kali ini dia tidak histeris, tidak.

Ketika pintu kembali tertutup tanpa mengundang perhatian dari dua entitas yang bercumbu di atas ranjang, Jisung lalu meluruh di bawah lantai dengan punggung bersandar di permukaan pintu. Memegangi wajahnya yang mendadak panas.

"Tidak, tidak. Aku sudah tujuh belas tahun. Aku harus terbiasa." cicitnya sambil menepuk-nepuk pipinya yang terbakar.

Well, Jisung akan jadi dewasa, 'kan? Tidak? Mmm..

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 12, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PAPERWORK Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang