41. Peluit Emas

48 13 10
                                    

Celeng itu berlari cepat ke arah kami sambil mendengus. Napas yang keluar dari hidungnya berupa uap panas, terlihat sangat membara. Aku merasa akan mati sekarang.

Lalu.

Cahaya aneh berwarna hijau melewati si Celeng. Warnanya agak berbeda dari cahaya hijau milik Putri——cahaya milik Putri berwarna hijau muda, sedangkan yang baru saja melewati si Celeng agak tua dan sedikit kebiruan. Dan cahaya itu mirip cahaya dari sabetan benda tajam.

Si Celeng tiba-tiba terhenti. Matanya melotot ke arah kami. Kemudian, tiba-tiba tubuhnya terbelah menjadi dua. Yang satu terjatuh ke arah kanan, dan yang satunya lagi ke arah kiri. Mataku terbelalak menyaksikan bagian dalam tubuhnya.

"Alui!!" Si Elatas berteriak dengan histeris, ketika melihat celeng itu tak lagi bergerak——nama mereka aneh.

Seorang laki-laki tinggi ramping muncul di dekat ekor si Celeng. Kedua tangannya memegang dua sabit panjang berwarna hitam, yang kedua ujungnya tersambung oleh rantai berduri——sekilas sabit itu mirip sabit yang sering digambarkan sebagai senjata Malaikat Maut. Satu sabit yang ada di tangan kanannya dia hadapkan ke bawah, dan sabit yang berada di tangan kirinya berada di bahunya——seolah sabit itu tidak berbahaya seperti ranting pohon. Posturnya mengingatkanku pada Maman——tentu saja, dia abangnya Maman. Hanya saja tubuhnya lebih ramping dari Maman, dan kulitnya lebih putih.

"Seharusnya kau memanggil Hamia tingkat Master, dengan menyalakan alarm darurat, Putri. Bukan malah menangis. Kau tidak akan mendapatkan bantuan jika menangis," katanya, dengan suara tenor. "Dan masalahmu tidak akan selesai dengan menangis."

Putri menutupi wajahnya dengan kedua tangan, lalu mulai terisak.

"Hamia Brengsek!" umpat Elatas. Dia menerjang maju ke arah Bang Samsul. Wajahnya menggelap, berkali-kali lipat lebih menyeramkan, dan auranya yang jahat juga gelap menyebar ke mana-mana. Tapi aku tidak merasakannya, mungkin karena kubah pelindung milik Putri. Trisulanya siap dia jadikan sebagai senjata.

Mataku tidak bisa menangkap dengan jelas. Tapi Bang Samsul tiba-tiba berada di belakang Elatas dengan posisi yang sama, hanya saja rantainya sedikit bergoyang, seolah baru saja bergerak. Elatas berhenti kaku dengan posisi sedang berlari. Lalu tiba-tiba tubuhnya berjatuhan, terpotong menjadi sembilan bagian——Bang Samsul memutilasinya!

Aku langsung memejamkan mataku. Aku pikir ini bukan tontonan yang pas untuk anak Remaja-Bimbingan-Orang-tua seperti aku. Namun, aku pun membuka mataku karena penasaran. Sebuah portal muncul di bawah jasad Elatas dan Alui. Sepertinya portal itu menuju sesuatu yang panas seperti lahar. Karena portal itu memancarkan cahaya merah membara. Potongan-potongan tubuh itu pun jatuh, kemudian portal menutup.

Bang Samsul berbalik ke arah kami, senjatanya menghilang bersama cahaya hijau——persis seperti cahaya hijau yang tadi membelah si Celeng——maksudku Alui. Dia berjalan mendekat. Kubah pelindung Putri menghilang. Bang Samsul berjongkok dan berbicara pada Putri, "Sekarang tugasmu membereskan tempat ini. Ini bukan waktunya untuk menangis. Kau boleh menangis ketika semuanya sudah selesai."

Putri menurunkan kedua tangannya yang menutupi wajah. Lalu dia mengangguk. Dia beranjak dan berjalan ke tengah-tengah tempat yang berantakan ini. Beberapa pohon terbakar olehku, jalanan aspal retak-retak, dan beberapa es masih berada di jalanan. Tugasnya kali ini cukup berat.

"Biar aku yang membawanya pulang." Suara itu berasal dari Febri. Dia tiba-tiba saja ada di sampingku. Dia masih mengenakan Hoodie hitam kebesaran dan celana jeans hitam yang robek di bagian lututnya——pakaian biasa yang selalu dia kenakan ketika pergi ke kampus. Lalu dia mengangkat tubuh Tristan, seolah-olah jika Tristan sangat ringan. Lalu dia menghilang.

Aran Alali #1: Hujan Darah IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang