Menghindar

701 74 3
                                    

Suasana tenang dan dingin membangunkanku, kamar masih remang-remang karena lampu tidur, selimut sudah tersingkap ke sebelah kananku dan aku melihat ada lengan kekar yang memeluk pinggangku. Kulirik sekejap sambil tersenyum melihatnya yang masih pulas. Menoleh ke arah dinding melihat jam menunjukkan pukul 3 pagi.

"Mas, sholat malam yuk..." menggoyang lengannya. Ia melenguh sebentar. Ku tepuk-tepuk pelan pipinya, kembali membangunkannya. "Ayuk sayang... nanti keburu subuh loh..."

Ia mengucek-ucek matanya dan duduk sebentar. Melihat rambutnya acak-acakan tanganku gatal untuk tak menjambak manja rambutnya lalu merapikannya.

"Dek, mas nanti habis subuh ke rumah ibu boleh ya?" katanya sambil mengantuk.

"Ada apa mas? Pagi bener kesana? Adek nggak di ajak?" tanyaku runtut.

"Mas, mau anter ibu ke bandara. Ibu mau ke Samarinda nemuin saudara disana. Mungkin disana sekitar seminggu. Kak Amel nggak bisa anter karena dia sudah ke Jogja kemarin sama suami dan si kecil."

"Ibu nggak apa-apa berangkat sendirian ke Samarinda? Mas nggak nganterin kesana?"

"Kemana? Ke Samarinda?! Ya enggak lah... ibu sudah biasa kesana kemari sendiri. Beliau malah risih kalau anak-anaknya ikut."

"Coba mas Tanya dulu, mungkin memang ibu nggak mau bilang karena nggak mau ngerepotin."

"Sudah sayang... mas sudah menawarkan diri juga buat nemenin kesana tapi ibu keukeuh nggak mau. Katanya mas nggak boleh jauh-jauh dari adek... biar cepet 'jadi' katanya." Katanya sambil berbisik ditelingaku. Aku tahu maksudnya tapi entah mengapa pembicaraan ini selalu aku hindari.

"Ya sudah kalau gitu, sholat dulu yuk!" kami pun sholat malam seperti biasa sambil menunggu adzan subuh, kami mengaji bersama.

Begitulah kegiatan kami sehari-hari setelah menjadi suami dan istri, seperti bayanganku dahulu bahwa kami berusaha menjadi lebih baik dan bagi kami Allah lebih dahulu karena jika kami dekat dengan Allah maka Allah akan semakin memberkahi pernikahan kami. Tapi meskipun sudah jalan 3 bulan, aku masih enggan untuk serius memikirkan tentang anak. Aku hanya merasa 'sedikasihnya aja' gitu. Karena anak adalah rejeki yang kita tak pernah tahu kapan datangnya. Lagipula aku ingin merasakan pacaran lebih lama dengan Mas Andre sebelum disibukkan dengan si kecil.

Karena hari ini hari sabtu dan mas Andre sudah berangkat mengantar ibunya ke bandara, aku pun mengobrak-abrik isi kulkas untuk siap-siap masak di dapur. Setelah menikah kami sepakat untuk tinggal dirumah ibu, rumah sebesar ini hanya ditempati oleh ibu dan adikku sedang kakakku sudah punya rumah sendiri. Daripada hanya berisi 2 orang mending 4 orang lagipula tak ada laki-laki juga sembari aku dan mas Andre menabung untuk punya rumah kami sendiri. Mungkin bagi sebagian besar pasangan suami-istri diharapkan untuk tidak tinggal bersama orang tua maupun mertua supaya mandiri namun bagi kami, yang masih awam tentang berkeluarga, kami memilih menemani orang tua kami dengan cara kami sendiri. Lagi pula kami disini juga tidak banyak merepotkan karena biaya makan serta kebutuhan rumah kami yang tanggung untuk berempat. Mas Andre tidak keberatan begitupula dengan ibu Mas Andre karena tinggal dengan kak Rani, jadi saling memahami.

"Masak apa mbak?" Tanya ibu dari kamar saat aku menuju dapur.

"Sayur asem sama bikin kering tempe bu. Ibu mau lauk apa?" tanyaku.

"Hmmm... enak tuh. Sudah itu saja ibu tunggu mateng." Senyumnya merekah sambil lanjut mengaji.

Bahan-bahan masakan aku eksekusi segera, sambil menyambi memasukkan cucian ke mesin cuci. Sabtu minggu adalah hari beres-beres.

'Adek mau nitip apa?' WA dari suamiku.

'Adek nggak nitip apa-apa mas, adek masak nih.'

'Okay!'

Ku sambung cucianku dan masakku. Sekitar 2 jam berkutat disitu, masakaku pun sudah terhidang di meja makan dan cucian siap untuk di jemur di lantai atas. Aku siap mengangkat bak besar tempat cucian basah namun ada tangan menghadang.

"Tugas menjemur biar mas dek!" katanya.

"Kok adek nggak dengar kalau mas sudah pulang?"

"Adek terlalu focus kalau sudah sibuk, jadi nggak denger mas buka pintu." Ujarnya sambil membawa bak tadi ke lantai atas.

"Mbak, sudah mateng ta?" Tanya April sambil mengelus-elus perutnya.

"Sudah tuh, maem aja dulu. Ajak ibu sekalian. Aku sama mas Andre mau jemur baju dulu." Kataku sambil berjalan menuju tangga.

"Yeaaayyy!!"

"Adek.. tunggu mas dan mbak mu sekalian. Lebih enak makan sama-sama." Tegur ibu.

"Iya bu..."

Aku melihat mas Andre sudah mulai menjemur pakaian kami. Ku bantu memasangkan hanger sedang mas Andre yang menggantungkan di jemuran. Sambil ngobrol tentang ibu yang tadi sudah nggak sabar untuk cepat-cepat tiba di Samarinda karena sudah kangen dengan keluarga disana. Setelah semua cucian sudah tersusun rapi di jemuran kami turun kembali untuk makan pagi bersama. Sambil ngobrol—ngobrol tentang persiapan kuliah April.

"Mbak, kalau aku juga ambil Teknik Lingkungan juga boleh nggak?" tanyanya. Mendengar itu mas Andre hanya tersenyum.

"Butuh berapa banyak lagi orang Teknik Lingkungan di rumah ini??" sindirku. "Nggak pengen ambil jurusan yang lain kah?"

"Yah pengennya biologi tapi pilihan keduanya aku yang bingung makanya kupikir ambil Teknik Lingkungan lagi."

"Nggak apa-apa Pril, di coba dulu siapa tahu lolos di Biologinya." Kata mas Andre.

"Trus pilihan keduanya gimana mas?" Tanya April.

"Ya terserah kamu kalau mau masuk kedunia Teknik Lingkungan silahkan, kita bisa banyak diskusi nanti." Jawab mas Andre.

"Asal nggak Tanya-tanya pas ujian aja nggak masalah." Celetukku.

"Iya... iya!" kata April.

Setelah AkadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang