Sesuatu Yang Baru

35 11 1
                                    

Seharusnya aku tidak berkata seperti itu! Seharusnya aku tidak berkata seperti itu!
Seharusnya aku tidak berkata seperti itu!
Alex akan semakin mencoba menjauhkanku dari Emma.
Ia dia akan semakin menjaga gadis yang kusuka!
Aku akan semakin jauh dari Emma! Dia pun akan merasa takut akan perkataanku!
BODOH KAU EDWARD! BODOH! BODOH! BODOH!

Edward menendang ranjangnya sampai bergetar, kemudian memegangi kakinya yang linu akibat tendangan itu, dan duduk seraya menutup wajahnya.

Wajah Emma berkelebatan di kepalanya. Sejauh ini, ia merasa sudah melakukan yang terbaik untuk mendapatkan gadis itu. Ia rela membatalkan janjinya dengan teman lamanya hanya untuk menemani gadis itu di toko buku--walau ia tahu Emma sebenarnya tidak mengharapkan kehadirannya. Itu hanya sebagian kecil dari sikapnya yang begitu perhatian. Sebisa mungkin, ia mencoba mengerti kondisi Emma yang agak lemah secara fisik dan terus menjaganya selama di sekolah agar ia terus sehat dengan memberikan makanan-makanan bergizi yang Edward beli sendiri. Juga yang ia katakan kepada Alex soal hadiah itu memang benar. Ia berusaha membuat barang yang ia punya sama dengan Emma, jadi ia memberikan duplikatnya dengan warna yang serasi--topi, tas kecil, topi rajut, atau apa pun itu. Tentu saja Emma malu karena harus menerima semua itu, tapi ia pun bingung bagaimana cara menolaknya.

Edward tak menyangka, bahwa Tom memutuskan hubungannya dengan Emma gara-gara dirinya.

Ah, memang Emma banyak yang suka, 'kan?  Tom terlihat sangat over-protective. Siapa pun bisa dilahap olehnya, dan kemungkinan besar Tom jadi menyalahkan Emma juga. So pasti sebab mereka putus bukan karena aku saja.

Namun nyatanya Edward adalah penyebab utama dari semua itu.

Edward telah melakukan hal yang salah, mendekati seseorang yang sudah dimiliki orang lain. Menyukai seseorang yang tidak membalas perasaannya, juga mendekati orang yang tidak mengharapkannya.

Apa yang sudah kulakukan?

Edward menaruh tangannya di atas kepalanya. Ia merasa bersalah. Ia memang seharusnya tidak berharap sebesar itu kepada Emma. Ia terlalu optimis bahwa segala yang ia lakukan akan membuahkan hasil. Ia mencoba terus menerus agar Emma luluh untuknya. Dan ia pun merasa kesal kenapa gadis itu tak juga menoleh kepadanya. Mengapa ia masih saja selalu menghindar setelah putus dengan Tom?

Apa itu semua karena Alex?

Edward menegakkan tubuh. Mengingat kata Alex membuatnya marah. Matanya yang berkilat bergerak melirik ponselnya yang tergeletak di atas meja belajarnya. Ia berdiri dan mengambil ponselnya, membuka WhatsApp dan menekan kontak Farrah.

Edward
Farrah.
There's something I want to tell you.

Farrah
Yo brother.
What happen?

Edward
This is hurt.

Farrah
The what?

Edward
I'm giving up on Emma.
She's such a dumb little bitch.

~~~

Emma menutup Al-Kitab yang baru saja ia baca selama berjam-jam. Hatinya tenang setelah berbincang dengan Tuhan. Ia selalu merasa lebih baik. Ia pun mengepalkan kedua tangannya dan memejamkan mata. Ia membayangkan sosok kedua orang tuanya, lalu mendoakan mereka.

"Tuhan, aku rindu Mum dan Dad. Aku ingin Engkau menjaga mereka di tempat yang penuh dengan berkat-Mu. Aku tak tahu kapan aku akan menyusul mereka. Dan aku sangat berharap semoga mereka tidak kecewa padaku karena sering jatuh sakit selama aku di sini. Sampaikan rinduku kepada mereka, Tuhan. Katakan kepada mereka datanglah ke dalam mimpiku malam ini. Aku ingin melihat mereka walau lewat bunga tidurku, karena selama ini aku hanya melihat mereka melalui foto saja. Terima kasih sudah mendengarku, Tuhan. Semoga Engkau mengabulkan permintaanku pula. Aku yakin, Kau tidak hanya mendengarkan tetapi mewujudkan apa saja yang Engkau dengar pula. Amen."

Emma pun menggeser kursinya agar ia bisa berdiri. Ia pun merebahkan diri di atas kasurnya, menatap langit-langit kamar. Ia menggerakkan kepalanya agar menoleh ke sebelah kiri, dimana ponselnya baru saja menyala karena sebuah notifikasi.

carpenter_ty has requested to follow you.

Emma meraih ponselnya dan membuka Instagram. Ada seseorang yang tidak ia kenal ingin mengikutinya. Ia menekan akun itu dan menemukan tanda gembok besar di tengahnya.

Ia berpikir beberapa saat apakah ia harus menerima orang asing ini atau tidak. Ia tidak terbiasa menerima orang yang tidak berteman dengan siapa pun yang dikenalnya. Ia pun bertanya kepada Alex melalui WhatsApp.

Emma
Kau punya teman namanya Carpenter?

Alex
Tidak.
Eh.
Ada.
Mr. Taylor Carpenter.
Memangnya kenapa?

Alex mulai kepo, namun Emma tidak menjawab. Ia langsung membuka lagi Instagram, sudah lima menit akun itu memintanya untuk menerima request. Ia masih ragu, apakah orang ini memang guru seninya?

Tiba-tiba, akun carpeneter_ty itu menambahkan nama di bawahnya.

Taylor.

Emma pun yakin dan menerima request tersebut. Ia tak tahu, bahwa sesuatu yang baru akan segera dimulai.

Sementara itu, berblok-blok jauh dari sana, Taylor mulai melihat-lihat postingan Emma. Ia menstalk Instagram muridnya itu, dan melihat berbagai macam sorotan unik yang membuktikan bahwa adalah anak yang berbakat.

 Ia menstalk Instagram muridnya itu, dan melihat berbagai macam sorotan unik yang membuktikan bahwa adalah anak yang berbakat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Ini tidak mungkin!" Taylor sempat menutup mulutnya setelah melihat itu semua. Setiap foto-foto di dalam sorotan itu membuktikan segalanya.

Apakah aku saja atau memang Emma adalah seorang murid yang mustahil ditemukan? Batinnya tak menyangka.

Taylor ingin sekali menyukai semua postingan Emma. Tetapi ia urungkan niatnya itu karena ia harus menjaga reputasinya sebagai guru.

"Taylor!"

Taylor terlonjak melihat kedatangan Laura yang mengejutkannya. Wanita itu sudah berdiri di pintu apartemennya.

"Laura apa yang kau lak--"

"Pintu apartemenmu tidak dikunci. Maaf aku datang selarut ini. Kukira kau ingin keluar menemaniku untuk pergi menghirup udara Effingham yang masih sejuk." Laura mencoba untuk masuk ke ruang tamu apartemen lebih dalam namun Taylor langsung berdiri dan mendorongnya keluar. "Hey!" gaduhnya tak terima.

"Laura. Keputusanku sudah final. Aku tidak mau lagi menyusahkan ibuku karena tuduhan polisi. Sudah cukup oke?" Taylor bersiap memegang gagang pintu setelah yakin Laura berada di luar apartemennya.

Laura mendelik. "Oke. Kau berhasil menyinggungku. Lihat saja nanti--"

"Apa apa? Kau akan mengancamku? Iya?" Taylor mengangkat dagunya tinggi-tinggi, bergitupun dengan suara yang ia keluarkan. Ia muak dengan segala tingkah Laura yang manja dan asal mengancam. Laura yang tidak pernah melihat Taylor setegas itu pun mulai menelan ludah.

"Aku pulang," ucap Laura kemudian. Ia mengibaskan rambut blondenya dan memakai kacamata hitamnya lagi. Kaca mata hitam, di malam hari. Tapi Taylor enggan memikirkan soal itu.

Taylor pun menutup pintu apartemen dan menguncinya rapat-rapat. Ia duduk dan  melupakan kegiatan terakhirnya tadi. Ia kembali membuka Instagram, dan mulai melihat-lihat setiap snapgram yang Emma simpan di sorotannya. Ia benar-benar tak menyangka ada seorang murid di Effingham yang memiliki bakat sebanyak itu. Lalu, Taylor melihat feed dan mendapati foto-foto Emma terpajang di sana.

Gadis yang sangat cantik...

Senyum terukir di wajah Taylor. Sejenak ia melupakan percakapan menyebalkan tadi bersama Laura.

HAUTE VALUER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang