19. Baperin

18.1K 2.6K 50
                                    

Panji berjalan pelan mendekati meja kerjanya, menggeser kursi dan duduk di sana. Tangannya bergerak cepat membuka laci meja paling bawah, dan mengeluarkan ransel hitam yang sudah lusuh.

Laki-laki itu menepuk-nepuk debu, membersihkannya dari permukaan tas. Meski tidak ada bedanya.

Yang Panji pegang saat ini, adalah tas ransel yang laki-laki itu pakai sejak jaman SMA. Bahkan, dia membawa tas itu ke rumah sakit jiwa. Tidak banyak yang ia masukkan ke sana. Hanya beberapa pakaian, dan yang paling penting adalah amplop besar berwarna coklat, selain berkas-berkas, di dalamnya juga berisi belasan foto.

Panji tersenyum sembari mengeluarkan foto-foto itu dari amplop.

Dia tertawa geli ketika mengingat bagaimana susahnya mendapatkan foto-foto yang dia minta dari Riza. Apalagi kalau bukan foto Shalika.

Sejak menganggumi perempuan itu, dan tahu sahabatnya sering punya kegiatan bersama Shalika di organisasi OSIS. Panji memohon pada Riza untuk mengabadikan kegiatan Shalika. Kebetulan saat itu, Riza juga menjadi Photographer di SMA.

Dengan baik hati, Riza bersedia. Laki-laki itu hampir setiap minggu memberikan hasil jepretannya pada Panji. Dirinya menyimpan foto Lika baik-baik, mengumpulkannya hanya untuk dilihat-lihat tidak ada maksud lain.

Pernah sekali, tas itu dibakar oleh ibu tirinya, beruntung Panji tidak terlambat. Tasnya selamat meski beberapa foto Lika ada yang hangus terbakar.

Panji mengusap salah satu foto candid Lika, membuatnya langsung tersenyum sendu.

"Aku mau nunjukkin sesuatu ke kamu." Ujar Panji lalu membuka pintu kamarnya dan membimbing Shalika masuk.

Lika sontak berhenti di depan kamar dan mematung.

"Kamu diminta lamar aku aja nggak berani, tapi sekarang ngajak aku ngamar?!" Cibir perempuan itu. Panji terkejut dengan ucapan perempuan di depannya.

"Kamu jangan berfikiran buruk, aku nggak ada niat macam-macam." Serunya.

"Lagian, aku udah bicara sama ayah kamu kemarin." Lika melotot, memandang wajah Panji mencari raut kebohongan di sana.

"Kamu serius?"

"Iya, ayah kamu nggak ngomong sesuatu?" Lika menggeleng cepat.

"Mungkin karna belum," Lanjut Panji.

"Terus, tanggapan ayah gimana??"

"Ayah kamu bersedia kasih aku kesempatan. Bahkan, beliau meminta kita segera cari tanggal untuk mewujudkan niat baik ini."

"Kamu serius??" Panji mengangguk.

"Alhamdulillah!" Serunya sembari memeluk Panji cepat.

"Sekarang kamu mau nunjukkin apa? Ayo masuk." Perempuan itu bahkan mendahului langkah Panji, dan duduk di tempat tidur yang biasa laki-laki itu tempati.

Panji meraih tasnya, mengeluarkan foto-foto Shalika dari sana.

Lika mengerutkan keningnya bingung.

"I-itu aku? Ka-kapan kamu dapat foto ini?"

"Aku dapat foto ini dari Riza, sejak kita kelas dua SMA. Saat itu, aku selalu minta ke dia untuk mengambil foto kamu diam-diam. Maaf kalo cara aku bikin kamu nggak nyaman, tapi ini satu-satunya yang bisa aku lakukan selama mengagumi kamu." Lika terdiam.

"Aku nggak ada maksud buruk dengan foto ini, aku cuma menyimpan dengan baik."

"Saat itu, Riza tidak pamrih memberi cetakan ini secara cuma-cuma. Bahkan setiap aku mau ganti biaya cetaknya dia nggak pernah mau."

Not a Crazy LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang