⚠️kata-kata kasar⚠️
Tidak ada yang bisa mempersiapkan Melisa untuk menyaksikan keadaan Lionel saat ini. Setibanya ia dan Adam lima menit yang lalu di lobi apartemen Lionel, penjaga resepsionis memberi tahu bahwa penghuni unit nomor 22 telah menunggu mereka, sehingga keduanya dipersilakan memasuki lift. Melisa berpikir tentang berbagai macam emotional breakdown yang dapat menerjang seseorang dalam posisi Lionel, dan beranggapan Lionel persis akan berlaku seperti itu. Menangis, meraung-raung, diam bagai orang linglung, atau berteriak kesetanan sambil mengacak-ngacak barang. Banyak kemungkinan, tapi yang jelas, bukan seperti ini.
"Hei, bro! Long time no see!" Lionel menggenggam erat tangan Adam, lalu membenturkan pundak mereka. Adam menatap Lionel tanpa berkedip. Senyuman Lionel tidak berbalas.
"Eh, halo, Mel. Kirain lo udah males nyamperin gue," kekeh Lionel, tampak tak berbebani sama sekali. Lionel mengacungkan sebelah tangan, menantikan telapak tangan Melisa menyambut untuk membuat sebuah tos di udara. Melisa tidak melakukannya. "No? Oke." Dengan santai, Lionel menurunkan kembali tangannya, kemudian memberi isyarat pada kedua tamunya untuk menuju ke sofa di ruang duduk.
Melisa dan Adam berbagi pandang. "Jangan-jangan dia belum tahu?" tanya Adam tidak bersuara, hanya bibirnya yang bergerak.
"Nggak mungkin!" desis Melisa sambil melotot.
Meskipun penuh kekikukan, Melisa dan Adam membuntuti langkah Lionel. Saat pemandangan ruang duduk yang terhubung langsung ke ruang makan dan pantry menyapa Melisa, barulah gadis itu menyadari ada yang tidak beres. Tidak ada lagi gambar-gambar Lionel yang tergantung. Peralatan menggambar dan mewarnai yang biasanya berceceran di segala penjuru ruangan juga sudah menghilang. Yang paling aneh adalah sekumpulan benda-benda yang terletak di meja ruang duduk. Benda-benda yang seharusnya tidak ada di sana.
"Lionel, what the hell are you going to do?" Pertanyaan itu meluncur dari mulut Melisa tanpa bisa tertahan.
Lionel menghentikan gerakannya membuka pintu lemari pendingin. Wajah Lionel membelakangi Melisa dan Adam, sehingga keduanya tidak bisa mengamati reaksi lelaki itu. Detik demi detik berlalu dalam keheningan yang mencekam.
Tiba-tiba, keheningan itu pecah oleh tawa. Adam menelan ludah, sementara Melisa pucat pasi. Pundak Lionel bergetar seiring tawanya semakin menggelegar.
Lionel berbalik badan dengan sebotol besar soda di tangan. Raut mukanya tidak menunjukkan kepedihan, malah tercetak sebuah cengiran lebar. Ia mampir ke rak alat makan dan mengambil dua buah gelas dari sana. Di bawanya gelas itu ke meja ruang duduk, bersebelahan dengan benda-benda yang salah tempat.
"Duduk dulu Dam, Mel," ucap Lionel tenang. Kedua tamunya menurut. Lionel mengisi kedua gelas dengan soda, lantas menawarkannya ke Adam dan Melisa yang telah duduk di hadapannya dengan punggung terlalu tegak.
"Gue nggak tahu kenapa gue nggak nangis, atau sedih, atau perasaan negatif lainnya." Lionel mulai berbicara. Ujung bibirnya terangkat sebelah. Ia menyunggingkan senyum sembari matanya menerawang jauh. "Yang gue pikirin malah, 'Oh, akhirnya seluruh dunia bakalan tahu kelakuan gue yang sebenernya'. Kayak, deep down in my heart, I somehow knew that things like this are inevitable. Gue cuma kaget dikit sama timing-nya. Nggak nyangka secepet ini. Nggak nyangka pas banget setelah gue koar-koar ke seseorang kalau gue mau berubah." Mulai ada kepedihan yang mendesak dari suara Lionel.
"Kita nggak perlu bahas tentang apa yang lo lakuin di video itu, Yo. Selama lo nggak nyadar lo direkam dan rekamannya kesebar, lo itu korban!" teriak Melisa frustrasi.
Lionel menggeleng. "Oh, we definitely should talk about it. Having sex, making love, ngewe, ngentot, atau apapun itu, apa jadi bukan masalah kalau gue ngelakuin sama orang yang sama-sama mau dan nggak kerekam? Atau itu baru masalah kalau kesebar kayak gini karena bisa dilihat orang banyak dan jadi aksi pornografi? Misal ini nggak pernah kesebar, apa pantes gue mengubur pengalaman itu gitu aja and act like nothing happened? Apa pemikiran untuk nggak mau ngelakuin itu lagi udah cukup untuk menambal kesalahan gue itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
A Mismatch So Perfect [COMPLETED]
Teen FictionAdara dan Lionel ibarat kutub utara dan selatan. Mereka begitu berbeda, selayaknya dua keping puzzle yang tidak akan pernah cocok menyatu. Seharusnya, Lionel tetap menjadi lelaki tampan dan populer dengan dunia tak terjamah oleh Adara. Semestinya, A...