# 1. Semua Itu Pilihan

37 12 40
                                    

Kisahku semua berasal dari sini.

Dalam hidup, kita selalu bertemu dengan yang namanya pilihan. Mulai dari bangun tidur, hingga tidur lagi. Pasti pilihan selalu menghampiri kita.

Menjadi baik atau jahat?
Jalan yang lurus atau berkelok?
Hidup yang tenang atau tantangan?
Bahkan dalam hubungan selalu dihadapi dengan pilihan. Seperti mau punya mantan atau tidak pacaran sama sekali?

"Dek kamu punya mantan?" tanyaku pada gadis di depan. Aku menghentikan jari yang sedari tadi menari di atas keyboard laptop dan menatapnya.

Selama kurang lebih satu jam ia menemaniku membuat laporan di taman sore ini. Sambil duduk berhadapan di kursi yang dipisah oleh meja. Akhirnya kepala mungil berkerudung navy itu menoleh padaku. Entah apa serunya gambar dua dimensi yang ditampilkan layar handphonenya. Hingga ia anteng menatap itu.

"Hah? Mantan apaan?" tanyanya sengit. Kadang aku berpikir anak berumur 18 tahun seperti dia kenapa bisa memiliki wajah sejutek itu. Lihat saja alisnya yang menukik tajam itu. Jika ada sutradara yang mencari tokoh antagonis, kurasa Tika, gadis di depanku sangat cocok dapat peran itu.

"Emang mantan ada apaan aja? Kan mantan cuma identik mantan pacar," kataku lanjut mengetik. Hah, laporan semesteran murid-muridku harus selesai malam ini.

"Yah, banyak. Ada mantan teman, mantan sekolah, mantan-"

"Kamu nyebut sekolah kamu mantan?" Aku terus mengajaknya berbicara untuk mengalihkan dunia handphonenya ke dunia nyata. Anak pertumbuhan seperti Tika tidak baik jika harus terkena handphone.

"Yailah lah!" serunya membanting handphone pelan. "Sekolah itu kayak mantan yang ditinggal makin cakep. Ah! Kenapa pas aku lulus, tuh, sekolah jadi bagus," demonya mengecutkan bibir. Entah sekesal apa dia pada mantan sekolahnya itu. Sampai membuat gadis jutek ini bisa berekspresi seperti anak kecil.

"Emang sekolah kamu kenapa?"

Seketika ia menatapku serius dan duduk mendekat. "Ya ampun, kak. Sekolah ku udah 3 lantai. Terus ada rooftopnya, ah, jadi 4 lantai! Padahal impian banget punya sekolah yang ada rooftopnya. Biar kayak di sekolah-sekolah Jepang." Ia melengkupkan kepalanya pada lipatan tangan.

'Sampai sekesal itu dia?' gumamku dan menggeleng. "Kalo kamu masih disekolah SPP kamu pasti naik. Terus kamu juga bakal capek kalo dapet kelas paling atas!" jelasku. Namun tetap tidak di hiraukan. Hah, terlalu obsesi dia dengan Jepang.

"Jadi kamu punya mantan?" tanyaku sekali lagi.

Ia mengangkat kepalanya dan menghela napas. "Kak! Berapa tahun kita jadi temen rumah?"

Aku coba mengingat. Yah, aku dan Tika adalah teman rumah. Walaupun umur kami yang terpaut tiga tahun. Kadang kami tidak pernah memandang berapa umur kami untuk berteman. Karena kita lebih memilih rasa saling percaya dan peduli. Karena di sanalah tumbuh rasa hormat antar teman.

"Pokoknya, sih, dari kamu SMP, kan? Waktu itu kamu baru pindah ke Depok," jawabku mengingat kenangan saat Tika baru tiba di Depok. Saat itu Tika masih polos dan tidak bisa diam. Aku tidak mau menyebutnya nakal. Karena ucapan adalah doa.

"Nah, kan! Kakak pernah liat aku deket sama cowok?"

Lagi-lagi aku coba mengingat. "Kayaknya gak ada, sih, kalo dirumah. Tapi disekolah, mah, pasti ada yang deket." Semenjak ibunya meninggal, saat ia kelas sembilan. Tika menjadi pribadi yang tertutup dan cuek. Bahkan aku tidak pernah melihatnya jalan-jalan dengan rombongan teman-temannya seperti dulu, kecuali Kay. Hanya Kay saja yang masih bertahan dengan Tika.

"Tanya sama Kay. Aku pernah deket gak sama cowok?"

Aku tersenyum kecut melihatnya. Entah hal berat apa yang sudah ia alami hingga menjadi seperti ini. Terlalu sulit untuk memintanya bercerita. Hanya bisa menemani dan mendukungnya saja yang dapat kulakukan.

Gak Punya Mantan? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang