"Berapa kilo, Bu?" Aku bertanya pada seorang wanita berjilbab instan berwarna coklat di depanku.
"Enam kilo, Dik." Aku melihat angka di timbangan. Ibu itu tidak berbohong. Aku sengaja melihat ke belakangnya. Oh, ternyata masih banyak pengunjung yang mengantre untuk menimbang baju-baju kotor mereka.
Kalau satu kilogram baju dihargai tiga ribu rupiah, enam dikali tiga ribu berapa? Ah, aku harus berpikir lagi, padahal belum lama tadi aku baru melayani orang dengan berat baju enam kilogram. Ini efek kelelahan sekaligus otak yang lama tidak diasah, jadi lelet.
Setelah menemukan jawabannya-dua puluh ribu, dua ribunya untuk ongkos listrik, sabun, dll-aku menyobek kuitansi lalu kuberikan pada ibu itu. Tidak lupa aku menempelkan namanya di pembungkus baju kotor yang dia bawa agar tidak tertukar dengan milik orang lain.
Orang di belakangnya maju. Orang-orang di belakangnya yang mengantre masih ada tiga.Hari ini adalah hari terakhir liburanku di semester kedua kelas 11. Aku pikir hari ini aku bisa rebahan seharian sambil membaca cerita online, tapi ibuku selalu saja berhasil menggagalkan rencanaku.
Aku berusaha untuk ikhlas. Karena dengan ramainya laundry ibu, toko, warung, dan usaha kateringnya, saku seragamku juga akan ramai oleh uang. Tidak ada yang gratis di dunia ini, aku selalu ingat hal itu.Punggungku terasa pegal setelah bolak-balik memindahkan baju-baju kotor itu ke dekat mesin cuci yang letaknya agak jauh dari tempatku melayani peminta jasa laundry ibu. Aku merenggangkannya sebentar. Kesibukan hari ini masih belum berakhir. Aku segera menghampiri ibu untuk meminta tugas selanjutnya. Syukurnya tangan ibu sedang istirahat saat aku datang, sehingga aku tidak perlu menunggu.
Sejak liburan semester datang, di warung ibu yang menjual bermacam-macam lauk itu telah tersedia jasa delivery order. Aku pikir ibu berlebihan, itu kan hanya warung kecil. Pembelinya juga tidak jauh-jauh, paling jauh ya orang-orang di desa tetangga. Pikirku tidak akan ada yang memanfaatkan jasa itu, tapi ternyata ada! Orang pertama yang memanfaatkannya adalah Bu Esri, teman ibu yang rumahnya berjarak sepuluh rumah dari rumahku.
Orang-orang semakin malas dengan adanya jasa itu. Setiap hari ada saja yang memanfaatkannya. Timbal baliknya, aku menjadi semakin rajin karena aku adalah orang yang dijadikan kurir makanan oleh ibu. Tugasku saat ini ya menjadi kurir itu.
"Pakek sepeda aja. Hemat bensin! Lagian cuma sini sana doang, nggak jauh," ujar ibu sambil memberi alamat pemesan.
Aku membaca alamat itu. "Ini jalan di desa Kemangi itu, Bu?"
"Iya. Mana lagi emang? Lagian itu ada keterangannya. Desa Kemangi. Bacanya jangan setengah-setengah, dong." Aku merengut.
Masa, sih, nggak bisa ngomongnya biasa aja?! Ingin aku memekik seperti itu dengan mulutku, tapi teringat akan akibatnya membuatku urung melakukannya.
🤝🤝🤝
Panas, gerah, disuruh mengayuh sepeda. Aku sudah memohon pada ibu untuk mengizinkanku naik motor saja, tapi ibu sangat menjunjung tinggi hidup hemat. Sadar bujukanku gagal, aku tidak menyerah. Aku membujuknya lagi, kali ini untuk mengantarkan pesanan itu nanti sore saja saat matahari mulai mendingin.
Ibu bilang lebih cepat lebih baik. Benar sekali, tapi kalau diantarkan agak lambat juga tidak buruk, kok. Sayangnya ibu tidak menerima alasan apa pun. Keputusannya sudah bulat. Aku harus mengirimkan lauk ini ke alamat pemesan siang ini juga dengan mengendarai sepeda.
Aku berhenti mengayuh sepeda di depan sebuah musala. Sebenarnya mataku sudah pasti tidak salah membaca papan nama jalan di seberang sana, tapi hatiku berteriak menyuruhku membaca ulang.
Mau dibaca berapa kali pun nama jalan di seberang sana tidak akan berubah, kecuali ada yang mengubahnya. Aku berdecak sebal. Kenapa juga rumah pemesan ada di jalan itu? Di sana ada rumah yang berbahaya untuk kulewati. Ck, omong kosong apa itu? Baru saja aku berniat pulang membawa alasan itu, tapi mana mungkin ibu menerimanya? Mana mungkin ibu percaya ada rumah berbahaya di sana? Bukannya dimengerti, justru aku diomeli dengan perkataan yang menyayat hati.
Sebelum mengayuh sepeda lagi, aku merapalkan doa dengan sungguh-sungguh di dalam hati. Aku berharap semoga aku tidak melihat objek dari dalam rumah berbahaya itu yang bisa memporak-porandakan diriku. Apa yang ada di dalam rumah itu lebih mengerikan daripada hantu dan sejenisnya. Kalau aku sampai melihatnya, bisa berhari-hari bahkanu berminggu-minggu aku mengingatnya.
Ketika berbelok, suasana di sekitar jalan itu sepi. Ini memang siang bolong, siapa juga yang mau beraktifitas di waktu ini kecuali aku. Ternyata itulah hikmahnya ibu menyuruhku segera mengantarkan lauk ini sekarang. Di dalam rumah-rumah yang tertutup itu para penghuninya pasti sedang beristirahat sambil menyegarkan tubuh memakai kipas angin. Keluarga di rumah berbahaya itu kemungkinan besar juga sedang beristirahat, jadi kemungkinan kecil aku akan melihat sosoknya.
Aku berhenti mengayuh sepeda untuk kedua kalinya. Kali ini aku berpikir bagaimana caranya aku tahu mana tepatnya rumah pemesan lauk ini? Ibu bahkan tidak memberi tahuku ciri-ciri rumahnya, dan aku tidak bertanya kepada ibu. Di kertas yang kupegang ini tertulis nama pemesannya, Bu Rawis. Ketika masih di rumah tadi, aku pikir aku bisa bertanya kepada salah satu orang di sini, tapi sudah kukatakan kalau di sini sepi, pintu-pintu rumah tidak ada yang terbuka. Jadi aku mau bertanya ke siapa? Waktu ini menguntungkan dan merugikan untukku secara bersamaan.
"Gimana, ya?" Sekedar bertanya pada diri sendiri tidak berguna. Aku harus berpikir sendiri juga. Kembali ke rumah dan bertanya ke ibu atau mengetuk pintu salah satu rumah dan bertanya ke penghuninya? Keduanya sama-sama merugikan, tapi aku cuma punya dua pilihan itu.
Kalau aku pulang, kemungkinan besar aku akan diomeli ibu. "Kamu itu buang-buang waktu sama tenaga aja, Ul! Dasar boros! Apa susahnya tanya ke orang di sana? Kamu cuma ganggu tidurnya, bukan ganggu rumah tangganya, kok penakut banget jadi anakku!" Kira-kira seperti itulah omelan ibu kalau aku pulang sambil membawa pesanan dengan alasan "nggak tahu rumah Bu Rawis dan sungkan mau bangunin orang cuma buat tanya rumahnya".
Kalau aku membangunkan salah satu penghuni rumah, mungkin mereka akan dongkol sejenak lalu tidur lagi dan akhirnya lupa. Warga sekitar sini juga tidak mungkin mengenalku, kecuali satu orang di dalam rumah berbahaya itu.
Aku memilih pilihan kedua, pilihan yang lebih aman. Aku memilih salah satu rumah yang memberi kesan kepadaku kalau penghuninya cinta damai. Pilihanku jatuh pada rumah bercat hijau yang berjarak dua rumah dari tempatku berhenti mengayuh. Aku segera memotong jarak dengan mengayuh lagi sepedaku.
"Permisi. Selamat siang," ujarku dengan volume suara standar. Tanganku mengetuk pintu kayu itu. Satunya lagi memegang plastik berisi lauk. Pasti aku terlihat seperti tukang pengantar Go-Food, hanya saja aku tidak memakai kostum warna hijau khas mereka.
"Iya, sebentar!" Suara laki-laki menyahut, tapi terdengar tidak santai. Semoga aku tidak salah memilih tempat bertanya. Itu harapanku sebelum pintu dibuka.
Sekarang aku hanya ingin menghilang dari depan pintu rumah ini. Bulu kudukku meremang lagi, mataku terbelalak, untuknya tidak terlalu lebar, dan jantungku berdegup tidak biasa saking terkejutnya melihat cowok di depanku. Aku bahkan kesulitan bernapas untuk beberapa detik. Benar-benar siang bolong yang menyebalkan. Kutarik kata-kataku kalau waktu ini menguntungkan dan merugikan secara bersamaan.
Waktu ini merugikanku sepenuhnya.
🤝🤝🤝
Ada apa dengan Ulfa?
Yuk, terus swipe up/swipe right buat tahu kelanjutannya Unchanged.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unchanged
Teen FictionTiga tahun bukanlah waktu yang singkat. Ulfa pun tidak habis pikir, bagaimana bisa dia belum move dari Evano, teman SMP-nya, padahal sudah selama itu? Atas keputusasaannya, dia mencoba cara baru untuk move on darinya. "Cari yang baru, berusaha lupai...