2) Harusnya

6 4 5
                                    

Aku ingat betul rumah berbahaya yang kusebut-sebut dari tadi bukanlah rumah bercat hijau ini, tapi kenapa penghuninya ada di sini?

Dia mengatupkan bibirnya beberapa saat. Tangan kirinya belum pindah dari engsel pintu. Bukannya berkata apa-apa, dia justru bengong menatapku. Aku ingat, saat ini aku yang butuh, jadi aku yang harus memulai percakapan.

"Kamu kok di sini?" tanyaku masih terkejut.

"Ada urusan sama yang punya rumah. Kamu sendiri ngapain?" Kuikuti pergerakan matanya. Dia melirik plastik yang kubawa. Aku diam bukan karena tidak tahu harus menjawab bagaimana, tapi tiba-tiba mulutku sulit berkata-kata. Ini gara-gara jantungku yang berdetak cepat sekali. Daripada aku ikut-ikut Aziz Gagap, kurasa lebih baik aku diam menenangkan jantungku lebih dulu.

Dia justru menanggapi kebisuanku, "Kalok kamu ada urusan juga, tunggu aja di dalam. Yang punya rumah cuma ada satu sekarang, dia masih mandi." Dia berbalik badan, berjalan menjauh dariku.

"Tunggu, No!" seruku. Dia berhenti lalu menghadapkan tubuhnya padaku. Aku harus segera mengakhiri ini. Kedua tanganku mengepal. Bibirku kurapatkan sebentar sebelum bertanya. "Aku cuma mau tanya, rumahnya Bu Rawis yang sebelah mana, ya? Rumah kamu kan sekitar sini, jadi kamu pasti tahu."

Ada jeda beberapa detik hingga Evano mengeluarkan jawabannya. Di mana aku berpijak, di situ rumah Bu Rawis berada. Dia menyuruhku masuk kedua kalinya. Aku seperti baru tersadar dari pingsan. Bingung.

Benar-benar skenario pertemuan yang di luar dugaan. Ini pertemuanku dengan Evano yang tidak biasa. Biasanya kami hanya bertemu di jalan, tidak sengaja saling melihat dalam hitungan detik, bahkan pernah hanya satu detik. Aku juga pernah sekedar melihat punggungnya. Kali ini aku bisa menatap mukanya dari dekat. Melihat bagaimana dia sibuk menyentuh layar handphone-nya. Namun aku melakukannya sesekali, tidak berani terus menatapnya. Padahal aku sangat ingin, tapi aku takut dia menyadari, yang bisa membuat suasana di antara kami semakin canggung.

Selain disuruh mengantarkan pesanan, ibu juga menyuruhku meminta uangnya dari Bu Rawis. Itulah yang membuatku duduk di ruang tamu rumah ini bersama Evano, menunggu penghuninya selesai mandi demi meminta uang dari apa yang sudah dia beli.

Selama menunggu, aku dan dia saling diam. Sebagai seorang yang sudah menjadi asing, hal itu wajar sekali, jelas. Akan tetapi hatiku tidak peduli kalau kami menjadi asing satu sama lain, ia tetap berharap Evano akan mengajakku bicara. Mustahil, aku tahu. Sebagian diriku yang belum menggila karena melihat Evano terus berharap semoga pemilik rumah ini segera selesai membersihkan badannya. Mataku sudah tidak bisa menahan keringatnya agar tidak keluar. Baca: air mata.

"Kabarmu gimana?" Hatiku menertawakan otakku yang sempat berpikir mustahilnya terjadi percakapan di antara kami. Aku mendongak dengan gerakan pelan, memastikan kalau yang mengajakku bicara benar-benar Evano. Matanya menatapku, dia juga tidak sedang memegang handphone. Sebagian diriku mengutuknya karena telah mengajakku bicara. Aku berusaha biasa saja, tapi terlambat. Aku lemah jika itu menyangkut dia, bahkan untuk pertanyaan seringan itu.

"Aku sehat kayak yang kamu lihat." Pada akhirnya, menjawab pertanyaannya adalah satu-satunya pilihan yang aku punya. Aku yakin suaraku terdengar gugup.

Entah apa yang dia pikirkan. Matanya semakin menatapku, jantungku semakin berdetak tidak teratur. "Kamu yakin sehat? Kamu gemetaran dari tadi, kayak orang nggak sehat." Jantungku tidak berdetak saat ini juga. Sebegitu gugupnyakah aku sampai cowok secuek Evano menyadari bergetarnya tubuhku?

Pertanyaannya membuatku semakin tidak sehat. Mendadak aku menjadi Aziz Gagap, hal yang sama sekali tidak aku inginkan terjadi malah menjadi nyata. "A ... aku. Mung ... kin." Sambil terbata-bata aku berpikir harus melanjutkan ucapanku dengan kalimat apa.

"Kamu kehausan?" tebak Evano. Aku langsung mengangguk cepat dan meminta minum. Dia berdiri. Menatap punggungnya yang semakin menjauh, aku menjadi lega, setidaknya tidak ada yang mengawasiku saat ini.

Aku menunduk sambil menggigiti bibirku. Tuhaaan, berapa lama lagi aku harus menunggu?

"Di rumah ini nggak ada kulkas, Fa. Jadi airnya nggak dingin." Aku mendongak. Perasaanku kembali tidak enak.

Berhenti di situ! batinku sambil menatap kaki Evano. Sayangnya suara batinku tidak berguna. Evano melewati tempat duduknya. Kakinya berhenti di sampingku. Seperti dugaanku, dia duduk di sisa sofa panjang yang kududuki. Tangannya menyerahkan segelas air putih.

Sepertinya, ini pertama kalinya jantungku berdegup sangat-sangat tidak karuan, lebih tidak karuan daripada awal pertemuan kami di pintu rumah Bu Rawis tadi.

♥️♥️♥️

"Akhirnya pulang juga. Mana uangnya? Kenapa lama banget?" Tiga kalimat itu menyambutku yang baru sampai di rumah, tepatnya saat aku masih menurunkan standar sepeda.

Di perjalanan pulang ke rumah, aku begitu menyesali perbuatanku. Kenapa tidak kubiarkan saja uang itu di tangan Bu Rawis dulu? Berhadapan dengan Evano membuatku lupa kalau ada ibu yang harus dituruti tidak peduli bagaimana keadaanku. Aku batal menyesali perbuatanku.

Sambil menyerahkan uang, aku memberi saran kepada ibu, tentunya setelah menjawab pertanyaannya. "Bu, besok aku mulai sekolah. Aku kayaknya nggak bisa lagi jadi kurir makanan. Balik ke yang dulu aja, yang nggak ada jasa pesan antarnya, biar orang-orang nggak jadi males juga."

"Terus kamu mau males-malesan? Nggak boleh. Kamu tahu kenapa ibu gagas jasa delivery order ini? Biar penghasilan naik dan kamu nggak cuma hapeee terus. Udah sana istirahat!" jawabnya galak. Aku mendengkus kesal. Tanpa disuruh pun aku sudah berniat akan beristirahat begitu pulang. Mengistirahatkan badan, lebih utama lagi pikiran dan jantung yang berdenyut hebat selama beberapa menit yang lalu.

Aku sudah terlalu lelah, jadi tidak kusanggah ucapan ibu barusan. Akan sangat membuang waktuku kalau aku melakukannya, tidak ada yang menjamin sanggahanku berhasil. Yang ada malah jaminan gagal.

Aku membanting badanku ke atas kasur. Tanganku kujadikan bantal. Mataku menatap genting rumah. Pikiran-pikiranku berdialog, batinku juga. Ibu kukuh pada pendiriannya. Kenapa aku tidak mencontohnya saja? Aku tidak mau lagi disuruh ibu mengantarkan pesanan ke daerah tempat Evano tinggal. Ke mana saja aku tidak mau! Berbakti pada orang tua itu wajib, aku paham betul, tapi tidak sampai merampas hak pribadi juga. Aku berhak melakukan apa pun pada diriku sendiri, termasuk menyuruhnya istirahat.

Sekarang aku harus bagaimana kalau keadaanku berantakan seperti ini? Jelas memperbaikinya, tapi caranya bagaimana? Dengan tidurkah? Memejamkan mata ataupun tidak menjadi sama saja sekarang, wajah Evano terus bergentayangan.

Aku heran. Sudah tiga tahun berlalu, tapi kenapa perasaan itu betah sekali tinggal di hatiku? Kenapa ingatan itu tidak juga menyublim dari pikiranku? Aku harus bagaimana lagi untuk mengenyahkannya?

Harusnya aku t'lah melewatkanmu.
Menghapus kamu dari dalam benakku. Namun ternyata sulit bagiku ....

Lagu milik Adera itu semakin terdengar jelas.  "Lala! Matiin lagunya!" teriakku. Kenapa pas sekali? Aku sedang galau dan Lala menyalakan lagu itu.

"Kak Ulfaaa! Bagas kemarin nembak temen sekelasku," rengek Lala.

Aku tidak menanggapi. Kutindih kepalaku dengan bantal agar lagu itu tidak begitu terdengar.

UnchangedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang