PROLOG

102 33 203
                                    

"Dijajah selamanya mungkin akan terasa lebih baik, membuat warga bangsa ini menjadi berbondong-bondong menjaga Nusantara-nya. Daripada merdeka, tetapi warga bangsa ini lupa jika ada Nusantara yang perlu dijaga." —Citraloka

***

Bumph!
Suara dentuman meriam terdengar menghiasi langit malam, mengganggu orang-orang yang sedang mengistirahatkan netranya. Terlihat sekali, mereka sangat nyenyak dalam tidur, sampai tak ada rasa khawatir sedikitpun dengan suasana kala itu.

Tentara-tentara berseragam cokelat muda itu mengendap-endap masuk ke wilayah kampung utara, seperti sedang ingin kembali menghancurkan suasana kedamaian mereka. Ya, dari caranya berpakaian dan bertindak, jelas sekali bahwa mereka adalah tentara Dai Nippon, yang siap membubarkan kenyamanan bangsa tanpa empati sekalipun.

Bumph!
Meriam itu kembali berdentung untuk kedua kalinya, tentunya dengan suara yang lebih keras dan menggelegar, dan sudah pasti bahwa itu akan merusak lahan kampung. Benar saja, kebun sayur-sayuran milik kampung itu sudah lenyap begitu saja, terbakar habis.

Gadis kampung itu terbangun, mendapati suara dentuman meriam yang berbunyi tidak hanya sekali. Ia mulai beranjak, tak lupa untuk memberi jeda supaya nyawanya terkumpul dahulu. Tangan kanannya meraih tali kecil di pojok tikar, yang ia gunakan untuk menguncir rambut panjangnya menjadi gelungan kecil—menyerupai sanggul. Sedangkan tangan kirinya berupaya membenarkan posisi kain jarit yang terlilit di pinggulnya.

Derap langkah mungilnya berjalan menuju luar rumah, tentunya dengan gerakan yang gesit dan tanpa sidik. Setibanya di ujung ruangan, gadis itu meraih benda panjang nan kurus, ujung benda itu sangatlah runcing, dan bentuknya menyerupai tabung. Ya, tentu saja benda itu adalah bambu runcing, senjata tradisional yang sering digunakan pejuang kemerdekaan untuk menyerang penjajah.

Bumph!
Untuk ketiga kalinya, meriam itu kembali berdentung, dengan disertai kerikil-kerikil api yang sangat berbahaya. Atap-atap rumbia milik warga-warga di kampung utara sampai menggelindingkan puing-puing kerikil yang sumbernya dari tembakan meriam tadi.

Mendengar itu, sang gadis tidak tinggal diam. Ia berlari kecil menuju sumber suara, lebih tepatnya sumber dentungan meriam. Berlari menggunakan kain jarit tentu sangat sulit ketika dibayangkan, tetapi tekad si gadis sangat besar dan kuat, sehingga tidak ada apapun yang bisa menghalangi langkahnya.

Rumah demi rumah telah dilaluinya dengan langkah mungil tanpa alas kaki itu. Sesekali gadis itu menengok arah kanan-kiri, memastikan jalan yang hendak dilewatinya aman dari pantauan penjajah. Hingga tibalah ia di tempat di mana meriam itu ditembakkan. Sang gadis mengumpat di semak-semak depan, menempatkan bambu runcingnya tepat di depan dada, dan mengarahkan runcingannya itu di posisi depan, untuk berjaga-jaga demi keselamatannya seorang diri.

“Aduh!” Gadis itu menjerit, ketika kaki kirinya tidak sengaja menginjak duri milik tanaman liar, darah yang bercucuran pun tidak main-main. Sakit, sebenarnya. Namun, ia tetap berusaha mengumpat diri, karena tentara-tentara itu mungkin akan menyadari keberadaannya, cepat atau lambat.

Para tentara itu mendengar jeritan kecilnya, dan lari berpencar untuk mencari keberadaan gadis tangguh tadi. Sang gadis segera berlari kencang tanpa memedulikan luka di kakinya itu, tentunya masih dengan posisi mengumpat. Detak jantungnya berdetak sangat cepat, keringatnya terus saja bercucuran, pikiran gadis itu kacau balau tidak keruan, amduradul. Yang ada di dalam pikirannya saat ini hanyalah menyelamatkan diri.

“Siapa kau!” Salah satu tentara Dai Nippon ternyata sudah menemukan keberadaannya, dan menengadahkan senapan api pada gadis itu.

“Aarggh!” Sang gadis yang sedang mengelus-elus telapak kakinya itu, sontak mengarahkan bambu runcingnya kepada penjajah, hingga runcingan bambu itu terpoles cairan kental berwarna merah yang berasal dari dada penjajah, dan tanpa menunggu lama, penjajah itu pun jatuh tersungkur tanpa nyawa.

Dorr! Drrttt!

“Jangan lari! Katakan, siapa kau!” Langkah gadis tangguh itu terhenti, ketika ia berhasil dikepung oleh beberapa tentara penjajah, yang mengarahkan senapan tepat di depan mukanya.

Sang gadis hanya tersenyum simpul, dan ... GBLAAKK!

• 🇮🇩 • 🇮🇩 • 🇮🇩 •

Magelang, 17 Juli 2021.

Citraloka Magelang [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang