Mala

36 1 0
                                    

     Suara ledakkan memasuki gendang telingaku. Aku yang sedang tidur saat itu langsung terbangun. Jendela kamarku bergetar karenanya. Aku pun seketika panik dan berlari keluar rumah. Tetangga-tetanggaku pun melakukan hal yang serupa.
     “Hey! Ada apa ini?!”
     Orang-orang berlarian menabrakku yang sedang berdiri. Perkataanku tidak digubris dan dianggap bagaikan angin lalu semata. Aku pun menangkap salah satu lengan entah milik siapa.
     “Hey! Sebenarnya ada apa ini?!”
     Orang itu hanya diam dengan air wajah ketakutan dan kepanikan. Lengannya yang sedang aku pegang ditepis olehnya agar terlepas.
     Aku pun mencoba melawan arus untuk melihat apa yang terjadi. Belum sampai 3 meter aku berjalan, tanganku dicengkram oleh seseorang hingga langkahku terhenti. Ia seorang perempuan berambut pendek warna coklat.
     “Jangan! Jangan ke sana!” teriaknya.
     “Ada apa sebenarnya?” aku balas berteriak. Bukan kesal atau apa, hanya saja suasana di sekitar kami sangat berisik hingga aku harus berteriak agar perkataanku terdengar olehnya.
     “Sambil lari saja, bicaranya!” Ia menarik-narik tanganku.
     “Jadi, ada apa sebenarnya?” tanyaku setelah lebih dari 15 meter kami berlari.
     “Sang Mala membalaskan dendamnya!”
     “Mala?!” Aku pun menoleh ke belakang.
     “Tidak ada waktu untuk melihat ke belakang! Sekarang kita harus fokus untuk kabur secepatnya!”
Ah. Dia benar juga. 30 detik kemudian aku membulatkan mata teringat sesuatu.
     “Keluargaku! Keluargaku ada di kota lain! Bagaimana keadaan mereka?!”
     “Kau ini bodoh atau apa sih?! Mustahil untuk mencari tahu keadaan keluargamu sekarang! Lagi pula, Mala sudah balas dendam sejak 10 menit yang lalu, sebelum kita berlari ke sini. Memangnya kau tidak merasakan apa pun?!”
     “Hey! Kita ini hidup di zaman setiap bangunan memiliki ketahanan guncangan yang sangat kuat!”
     “Ah, aku lupa tentang satu hal itu. Lagi pula bagiku itu adalah teknologi bodoh.”
     “Jadi, siapa namamu? Kenapa kau menolongku?”
     “Heh. Tidak sopan menanyakan nama seseorang tanpa memberitahu namamu sendiri."
     Aku menghela napas gusar, “Namaku Rio. Dan namamu, nona?”
     “Aku Nana. Dan aku menolongmu karena... Hm... Entahlah.”
     Aku menilik Nana dari atas sampai bawah. Rambutnya pendek sebahu berwarna coklat, bola matanya berwarna kayu, kulitnya putih bersih, baju yang ia gunakan tertutupi oleh mantel coklat tua selutut. Selanjutnya ia memakai rok yang panjangnya tidak beda jauh dengan mantelnya, dan celana berwarna hitam serta sepatu warna coklat.
     “Apa-apaan kau ini melihatku dari atas sampai bawah?”
Ah, ketahuan. Lebih baik pura-pura tidak mendengar saja.
     Kini kami sudah lebih dari 2 km berlari dari tempat awal. Orang-orang di sekitar kami juga sudah mulai berhenti berlari.
     “Kita mau ke mana?” tanyaku.
     “Ke mana lagi kalau bukan ke pusat kota?”
     Tiba-tiba guncangan kembali terasa. Teriakkan mulai terdengar memasuki telingaku. Nana yang ada di sampingku hanya tersentak kaget sama sepertiku. Sesaat kemudian gedung-gedung di samping jalan mulai runtuh. Batu-batu kecil hingga sedang terlempar ke arah kami yang ada di tengah jalan. Teriakkan terdengar lebih kencang.
     Tanganku terasa ditarik kencang.
“Bodoh! Jangan hanya celingak-celinguk seperti itu! Tadi saja kau berteriak cemas karna keluargamu. Sekarang kau seperti orang yang tidak peduli dengan apa pun!”
     Kami terus berlari meninggalkan tempat yang perlahan mulai rata dengan tanah. Aku yang berlari sambil memperhatikan sekitar hanya bisa bergidik ngeri. Bagaimana tidak, orang-orang yang berada di sekeliling kami banyak yang tergeletak terkena reruntuhan.
     “Hey! Yang serius dong larinya!”

     Sebagian besar rombongan kami sudah hilang entah ke mana. Kasarnya, ada yang tewas, sekarat, atau mungkin masih hidup namun terjebak di belakang sana.
     “Hobimu itu melamun, ya?”
Aku mendongak. Nana tampak berdiri di depanku sambil menyodorkan air minum.
     “Cepat minum. Jangan dihabiskan. Ini saja aku ambil dengan susah payah karena harus berebut.”
     Aku menaikkan sebelah alis. Lantas mengapa ia repot-repot mengambilkanku minum kalau begitu?
     “Sudah? Kemarikan botolnya.”
Aku memberikan botol minum yang tinggal berisi setengah botol lagi. Ia pun mengambilnya dan meminumnya langsung dengan bibir yang menempel ke mulut botol.
     “Apa lihat-lihat? Aku juga belum minum asal kau tahu.”
     “Memangnya kau tidak jijik? Itu bekas aku, loh.”
     “Lantas?”
     Dia ini terlalu polos atau bagaimana, sih? “Pertama, kita baru saja bertemu. Sebelumnya kita belum pernah bertemu sama sekali bukan? Ke dua, aku ini laki-laki dan kamu ini perempuan. Dan ke tiga, itu bisa menjadi... ehem ciuman tidak langsung.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 15, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang