Desember 1996
Hampir jam 5 dini hari, Clementine mengusap peluh di keningnya. Mengatur nafas yang masih sama sesaknya seperti beberapa tahun yang lalu. Dia terbangun dari mimpi buruk yang sudah menghantui sejak kejadian itu. Bukan mimpi, kenyataan.
Dia meraba cincin batu akik di kalungnya, "Aku merindukanmu, Papa."
Clementine benar-benar menjaganya, cincin di kalung. Membawa penyesalan yang sangat besar, terkadang dia enggan menerima, dan meletakan kalung tersebut di laci. Hanya beberapa jam sebelum dia merutuki sikapnya yang sedikit sentimentil.
Gadis kecil yang dulu menangis di temani bintang sekarang tumbuh menjadi remaja yang cantik, berada di tahun keempatnya. Duduk di kasur, dia menatap keluar jendela yang membeku, salju turun hari ini. Desahan lembut berhembus dari bibir merah mudanya.
Beberapa waktu yang lalu, dia selalu bertanya mengapa waktu itu dia tidak menyambar tangan Papanya alih-alih pergi sendiri dan melihat pria yang membesarkannya bunuh diri. Kenapa mereka tidak pergi bersama? Kenapa dia harus menjadi bocah lemah? Kenapa dia mengikuti saran Papanya untuk segera pergi?
Harusnya biar saja dia tinggal, mereka mati bersama. Bersama, itu yang terpenting.
Sampai kemarin malam Aida menariknya keruangan pribadi wanita itu, di sana sungguh sangat tergambar mewah. Ruangan itu, beberapa menit dia terpesona karena sebelumnya dia tidak pernah menginjakan kaki di ruangan itu. Segan. Lalu, dia mematung melihat cermin dengan baskom batu bersinar kebiruan yang hampir berbentuk seperti kabut dan air.
"Pensieve."
"Ma a cosa ti serve il pensieve, Madre?" (Tapi, untuk apa pensieve itu, Ibu?)
"...Vieni, ti mostrerò." (...Sini, aku akan memperlihatkannya.)
Clementine mendekat, berdiri di sebelah Aida. Wanita itu mengarakan ujung tongkat kepelipis, menarik sebuah rambut yang bersinar. Lalu, dia memasukannya kedalam pensieve. Clementine tahu cara menggunakannya, dia memasukan jari-jarinya kedalam baskom. Tergelincir.
Dia berada di sebuah rumah makan mewah di perkampungan sihir Roma. Clementine tahu tempat itu, karena Aida selalu membawa Clementine, Blaise, suami barunya, dan anak-anaknya yang lain.
Sepi saat itu, hanya ada mereka berdua. Papanya dengan Aida. Tampaknya mereka belum menikah.
"Aku hanya ingin kau menjaga anakku, Clementine. Setelah kita menikah nanti, anggap dia putrimu," Hestamma menatap Aida penuh permohonan.
"Kau tidak perlu melakukan ini, aku pasti menjaganya," Aida yang melihat itu hanya ungkapan kasih sayang dari Hestamma menyambut dengan genit. Dia mengusap punggung tangan pria itu.
Hestamma memijit keningnya, mencari penjelasan yang pas untuk wanita Zabini itu, "Aku tau kau akan membunuhku pada akhirnya setelah semua aset ini berpindah tangan padamu."
Aida kaget dengan pengetahuan Hestamma, "Tidak, dengar–"
"Tapi bukan itu yang sedang aku coba bicarakan," lanjut Hestamma membuat Aida lega.
"Olehmu atau bukan, aku akan tetap mati. Mereka memburuku, aku ingin nama Byakta berakhir padaku. Mereka tidak bisa mendapatkan benda yang mereka cari, ataupun anakku, Aida."
Hestamma menelan ludah.
"Aku mau kau merawatnya, anggap dia anakmu sendiri. Pakaikan nama belakangmu padanya, sehingga keberadaan Byakta tidak lagi terendus. Clay akan aman dan kau hanya harus menafkahinya sebagai putrimu, sisa dari hartaku adalah milikmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐃𝐑𝐎𝐖𝐍𝐈𝐍𝐆 | ᴛᴏᴍ ʀɪᴅᴅʟᴇ
FanfictionTom Marvolo Riddle x Original Character Tom- Crows laughed at me The inferi tore my body Even the worst of you, hear my voice Hoarse, blood Taste like lead in all over my mouth Why are you pushing me roughly? How ironic, I know that you want me. (s...