582 46 2
                                    

Tangan kananmu sibuk dengan camilan penuh micin yang secara dinamis mengasup mulutmu. Sedangkan, tangan kirimu bergerak menggeser layar hp dari bawah ke atas, membaca berbagai macam manga di website ilegal.
P.S. anu punten, kalo bisa jangan ditiru, haha.

Kekasihmu, yang datang kemari karena ajakan kencan terakhir darimu, malah diabaikan. Padahal dia ingin melepas rindu dengan berpelukan dan bermanja-manja seharian penuh dengan dirimu, mumpung kamu sedang sendirian di rumah ya, kan.

Tetapi apa daya, sepertinya pesonanya lebih lemah daripada pesona hp dengan baterai penuh dan wifi yang sedang sangat lancar hari ini.

"[Name], sayang?" panggil Suna.

Kamu menoleh sebentar, kemudian tersenyum, lalu kembali lagi ke hp. "Hm?"

"Kamu ga laper?" tanya Suna.

"Hm, nggak. Aku cukup makan cemilan aja dulu," jawabmu tanpa mengalihkan pandanganmu dari layar hp.

"Masih enakan kamu daripada micin," gumam Suna, yang ternyata kamu dengar dengan jelas.

Agak marah karena Suna mencela micin kesayanganmu, kamu membalas, "apa?! Beraninya! Kamu tuh gatau pesonanya micin ya? Micin itu tuh guri— Hmn?!"

Dengan gesit, Suna sudah meraih tengkukmu. Bibirnya ditempelkan dengan bibirmu, melumatnya sedikit agar kau mau membukanya.

Karena dendam, Suna menjauhkan camilan yang melingkarimu, hampir membentuk lingkaran setan. Tangannya juga merampas hpmu, kemudian melemparnya ke sofa yang ada di seberang kalian.

"Hmmph— hnn~"

Mulutmu akhirnya terbuka, mengizinkan lidah kekasihmu untuk berpetualang lebih jauh. Tanganmu yang sudah bebas dari hp juga tidak tinggal diam. Perlahan, tanganmu bergerak meremas rambut sang kekasih yang terasa sangat lembut.

Merasa diprovokasi olehmu, ciuman Suna semakin kasar. Beberapa kali bibir Suna menggigit kecil bibirmu.

"Ack— hmphmn."

Satu tanganmu turun mengelus tengkuk Suna, satunya lagi mengelus lembut rambutnya, bahkan kadang meremasnya gemas.

Kalian sudah memasuki dunia sendiri, mengabaikan keadaan ruang tamu yang berantakan oleh bungkus camilan. Berkali-kali, kalian melepaskan tautan bibir kalian, kemudian kembali berciuman, hanya untuk mengambil oksigen yang cukup.

"?!"

Apa ini yang ada di bawah? Batu? Bonekanya adek? Batinmu bertanya-tanya, ketika sesuatu yang keras terasa mencolek badanmu.

Setelah berpikir logis, di posisi ini, di kegiatan macam ini, ini, pasti! Suna!

"Aw—!" pekik Suna ketika dia merasakan tanganmu mencubit punggungnya agak keras.

"Kenapa lagi sih, sayang? Ga bisa biarin aku makan kamu dengan damai, huh?" tanya Suna dengan kesal, tangannya masih menahan tengkukmu.

Dengan jarak sedekat ini, kamu bisa merasakan napas kalian yang masih memburu setelah ciuman yang ahem, agak panas tadi.

"Itu, di bawah, punyamu," balasmu dengan ekspresi kesal, sama seperti Suna. "Kamu inget, kita ga boleh itu dulu sebelum resmi nikah, sayang."

Suna melirik ke bagian bawah pinggangnya, dan, ya, dia bisa melihatnya dengan agak jelas. Tetapi, dia sepertinya kelewatan saat ini, sampai sebesar itu pula.

"Kamu lupa? Aku tuh ngajak ketemuan biar besok seminggu kita ga begitu kangen sampe hari-h," tambahmu. "Aku tau kamu tuh clingy banget, makanya aku ajak ketemu. Tapi, hah... kamu keknya bener-bener nahan ya, Suna sayang."

"Lagian, kenapa keluargamu ngikutin tradisi ribet..." gumam Suna kesal. "Kamu juga, malah sibuk kencan sama hp."

Akhirnya dia kembali duduk di posisi yang lebih nyaman. Tangan kalian pun sudah tidak memegangi tengkuk masing-masing.

"Haha," tawamu kecil. "Aku suka ngikutin tradisi keluarga, rasanya lebih nyaman kalo ada aturan jelas yang bisa kita ikuti dengan mudah, ya kan? Apalagi kalo tradisi keluarga kaya gini, keknya udah mendarah daging di keluarga besarku, ehehe."

Suna menghela napas maklum sambil tersenyum manis padamu. "Ini kenapa aku ga suka kamu. Tapi, aku cintaaaa banget sama kamu sampe aku rela bunuh laki-laki lain, biar kamu cuma buat aku aja."

Refleks, kamu mencubit perutnya yang sudah berbentuk. "Stop, kamu mulai serem lagi, nih."

Suna mengangkat kedua bahunya tidak peduli. "Oh, aku bakal lakuin apapun buat kesayanganku~ jadi, boleh cium lagi?"

Kamu membeku mendengar kalimat terakhir Suna. "H-ha? Ga, ga! Mending kamu pergi ke kamar mandi buat beresin urusanmu, deh."

Suna mengerucutkan bibirnya manja mendengar jawabanmu. "Nooo~"

"Pergi ga?!" ancammu dengan aura menyeramkan. "Di kamar mandi yang ada di dalem kamarku, di lantai atas, sanah!" Lalu kamu berdiri, duduk di sofa yang ada di seberangmu, tempat di mana hpmu terlempar tadi, meninggalkan Suna.

"...oke. Tapi, liat ke sini dulu," pintanya.

"Oke?" balasmu yang kemudian menoleh, mendapati Suna sudah berdiri di depanmu.

"Hmmn," erangmu ketika Suna kembali melahap bibirmu lembut.

"Haah..."

Hanya sebentar, kemudian Suna langsung melepaskan tautan kalian.

Suna menjilat saliva yang menggantung di sekitar bibirnya. Ibu jarinya mengelap sudut bibirnya dengan gerakan provokatif, membuat wajahmu memerah.

"Untung aku sabar, [Name]. Tunggu aja, besok udah resmi, kulahap kamu," celetuk Suna bahagia, tetapi matanya memancarkan aura yang berbahaya.

"Mesum!" teriakmu kesal, tetapi hanya ditanggapi dengan tawa kecil oleh Suna.

Mengabaikan protesmu, Suna berjalan ke tangga, ingin menuntaskan sesuatu yang masih tertahan. Kepalanya menoleh, menatapmu dengan seringai, "Apa boleh buat, tapi kamu seneng aku, ya kan, cintaku~?"

Kamu meraih bantal sofa terdekat dengan wajah merah padam. "Ah! Nyebelin!"

Dengan mudah, Suna berhasil menghindari lemparan bantal sofa darimu. Tertawa kecil, dia hari ini merasa sangat bahagia.

"Seharusnya, 'ah, makin cinta!' gitu, ahahaha," balasnya yang langsung berlari menaiki tangga.

"SUNAAA!" teriakmu kesal, melepaskan amarah.

[]

A/N : selamat berhalu, bucinnya SunaRin. Ada note setelah chapter ini, silahkan dibaca, sebentarrr saja.

Follow me for notification of the next version! ☆〜(ゝ。

Before Wedding | Suna RintaroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang