Wanita selalu dipandang lemah, namun di balik kelemahannya terdapat kekuatan yang begitu besar.
Sudah hampir dua hari Lili berada di Mansion Relegan karena Haruman memintanya agar Lili bisa nyaman beradaptasi dengan lingkungan keluarga yang baru. Mario kini harus menjalankan peran sebagai suami yang penyayang istri untuk membahagiakan ayahnya.
Mario dan Lili terlihat sangat bahagia bak sepasang kekasih yang selalu dipenuhi dengan cinta. Mario pun memperlakukan Lili seperti suami idaman saat dihadapan keluarga dan kebahagiaan mereka itulah yang membuat salah satu keluarga terluka.
Tak biasa sekamar, Mario hanya diam dan tak mengajak Lili berbicara karena ia bingung hal apa saja yang dibicarakan sepasang suami istri? Apakah tentang masakan? Tentang pekerjaan? Atau tentang uang?
Di dalam kamar Mario dan Lili yang luas terdapat sofa yang panjang, Mario memilih tidur di sana dan menyuruh Lili untuk tidur di kasur.
"Mas," Suara lembut Lili membuat Mario melihat dirinya, suara itulah yang mengisi harinya akhir-akhir ini.
"Mas, tidur di kasur aja, gantian. Biar aku tidur di sofa." ucap Lili karena merasa kasihan terhadap Mario yang selalu tidur di sofa.
"Tidak apa, itu lebih baik."
"Mas, kalau seperti ini terus pinggang mas nanti sakit karena tak bebas bergerak." Lili terus membujuk Mario hingga Mario menghela nafas panjang.
"Saya sudah katakan tidak ya tidak, kenapa masih bertanya?"
"Apakah jawaban saya tidak cukup untuk kamu pikirkan?" geram Mario dengan nada yang sedikit menyentak.
"Selalu saja membuat kesal."
Lili yang mendengar Mario memarahinya pun menutup kedua telinganya seakan-akan ia tak mendengar semuanya.
"Selalu saja marah." gumam Lili sembari menggenggam erat seprai kasur, "Dasar pria egois dan pemarah." imbuhnya.
Lili beranjak dari kasur dan Mario langsung menanyai apa yang mau wanita itu lakukan.
"Mau ke mana?" tanya Mario dengan penasaran. Wanita yang ditanyainya malah tidak menjawab hanya menatap lelaki itu dengan tatapan kesal. Mungkin dia marah.
"Tidak menjawab?" tanya Mario sekali lagi. Setelah bertanya, Mario kembali tertidur di sofa tetapi pikirannya sedang memikirkan Lili.
Lili terdiam sejenak dan menatap Mario yang sedang berpura-pura tertidur, "Untuk apa bertanya? Bukankah sudah tahu jawabannya?" Bukannya menjawab perkataan Mario, Lili malah menanyai hal yang sama seperti perkataan Mario beberapa menit yang lalu dengan nada yang ketus.
"Kalau saya tahu jawaban apa yang sedang kamu lakukan, ya saya tidak akan bertanya."
"Saya bertanya karena saya tidak tahu." lanjutnya.
Tidak ingin berdebat lama dengan Mario karena pasti ujung-ujungnya yang memenangkan perdebatan adalah Mario.
"Ingin mengambil air, Mas mau?"
"Mau apa?" balas Mario cepat.
"Ya, mau air. Emangnya mau apa? Mau makan malam-malam seperti ini?" mendengar ucapan Lili mengenai jam, Mario melihat jam di dinding sudah pukul 22.30 malam dan pasti seisi rumah sudah tertidur lelap.
"Boleh. Saya harus minum obat karena sudah waktunya."
Lili berjalan menuju dapur yang sepi dan sedikit gelap karena beberapa lampu dalam rumah dimatikan. Wanita itu mengambil dua gelas dan menuangkan air putih untuk dibawanya ke kamar. Ketika ia menuangkan air putih, seseorang memeluknya dari belakang, mungkin saja Mario, pikirnya mencoba positif. Namun akankah Mario melakukan hal ini? Karena sebelumnya lelaki itu sangat membencinya bahkan tak ingin melihat atau menyentuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIRANI
Romance[Based on True Story] Haliaca Putri Pranata--Wanita muda dan lugu itu selalu berpikir, apakah ia pernah melakukan kesalahan sehingga takdir menempatkan dirinya pada lelaki yang tak tahu cara menghargai wanita? Ia masih teringat perkataan Mario setel...