Brukk!
Kulemparkan tubuhku ke atas ranjang yang nampak menggoda itu. Ah, nyamannya. Setelah perjalanan yang sangat membosankan, akhirnya aku bisa terlepas dan merasakan nikmat dunia yang tiada tara, yaitu rebahan di kasur tercinta. Baru saja aku akan memejamkan kedua kata dan tertidur, pintu terbuka menampakkan Papi yang berjalan menghampiriku.
Aku mengubah posisi menjadi duduk, tumben-tumbenan Papi ke kamarku. Sepertinya ada sesuatu hal yang penting. "Ada apa Pi?" Tanyaku ketika Papi duduk di pinggir ranjang.
"Gimana tadi?" Tanya Papi, aku yang langsung ngeh mencebikkan bibirku kesal, mengingat kejadian menyebalkan tadi siang.
"Ya gitu deh Pi! Papi pasti tahu lah apa masalahnya," ucapku dengan cemberut. Papi tertawa kecil dan mengelus surai rambutku lembut.
"Kalau aja kamu rajin minum susu sama olahraga, pasti nggak akan kesusahan ngimbangin bahu Angkasa buat foto," gurau
Papi, ya dari kecil Papi memang selalu membelikan ku susu untuk ku minum, katanya biar tinggi dan nggak boncel. Eh, nyatanya aku gak terlalu suka sama susu macam gitu, karena rasanya tuh aneh. Kalau sekali dua kali ya bisa dipertimbangkan. Makanya gak heran kalau orang liat tubuhku kayak badan anak SMP. Udah kebal disebut adek bahkan sama adik tingkat ku sendiri."Papi nih ya, bukannya hibur aku. Capek tahu, mana dikasih jajan sama Angkasa dua puluh ribu doang," keluhku meminta belas kasihan.
Papi tertawa. "Bagus dong, nanti kalau sama Angkasa kamu jadi anak yang hemat. Gak boros lagi." Gerakan tangan Papi di kepalaku terhenti. "Kamu manggil Angkasa nama?"
Aku pun langsung tersadar, lalu menggeleng dan tersenyum canggung. "Aku panggil Mas kok Pi. Tenang aja."
"Syukurlah. Karena gak sopan kalau kamu panggil Angkasa gitu, apalagi umur dia jauh diatas kamu Li."
Aku menganggukkan kepala mengerti. "Papi kenapa jodohin aku sama Angk-- maksud aku Mas Angkasa?"
Papi terdiam sejenak, sebelum akhirnya bersuara. "Karena Papi percaya sama Angkasa buat jaga kamu."
"Lho, Papi kok main percaya aja sih? Kalau ternyata Mas Angkasa bukan cowok baik-baik gimana?" Protesku. Bukannya menjawab, Papi malah tersenyum dan berkata,
"Nanti kamu akan tahu sendiri apa alasan Papi jodohkan kamu sama Angkasa."
Aku berdecak kesal. "Papi kok malah main rahasia-rahasiaan sih?"
"Bukan gitu Lia, kalau sekarang waktunya belum tepat. Lagipula Papi maunya kamu tahu dari Angkasa nya bukan Papi."
Alisku mengernyit. "Ha? Angkasa tahu?"
"Nah, manggil nama lagi," tegur Papi membuatku nyengir.
"Ya maaf Pi, aku kan belum terbiasa."
Papi menghela napasnya panjang. "Lia, mulai sekarang kamu harus belajar menghargai Angkasa betul-betul ya? Jangan sampai pas kamu sudah resmi jadi istrinya sering keceplosan gitu, apalagi lingkungan tentara itu bukan main-main Li. Semua ada aturannya, sekali kamu buat salah, itu bukan cuma berdampak ke kamu, tapi sama Angkasa juga. Karena kamu di sana itu membawa nama baik Angkasa," jelas Papi dan aku masih terdiam mendengarkan. "Coba deh gini, kamu lagi sama Angkasa nih, ada acara di sana, terus banyak atasan dan bawahannya Angkasa, lalu kamu panggil dia nama, kira-kira apa yang ada di pikiran orang-orang?"
Aku menggeleng tidak tahu.
Papi berdecak. "Ya tentang hubungan kamu sama Angkasa! Mana ada istri manggil suaminya pakai nama? Apalagi kamu ini persit, pasti tahu adab panggil suami itu bagaimana. Pernikahan tentara itu tidak mudah Li, tapi Papi percaya kamu bisa atasi semua ini." Papi menepuk pundak ku seraya tersenyum. "Dan satu lagi. Kalau ada kegiatan rutin kamu harus bisa mikirin tuh, gimana cara kamu bagi waktu dengan kuliah kamu. Biasanya tiap minggu ada, Papi kepikiran itu sebenernya, nanti kamu coba bicarain aja ya sama Angkasa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lapor, Komandan! [END]
General FictionBagi orang-orang, dijodohkan dengan sosok tentara yang tampan, macho, mungkin suatu keberuntungan. Tapi tidak bagi Lia, menurutnya ini sangat membosankan, kehidupannya yang ceria berubah menjadi kaku saat ia harus tinggal seatap dengan pria berwajah...