- Dinten Kadua Belas –
Hingga hari ke-12 berakhir, aku tak pernah bertemu Dian lagi. Wajahnya terakhir kulihat kemarin pagi. Setelah itu, sepanjang hari, aku kepikiran oleh kata-kata Nunung. Namun hari ini kuputuskan untuk menanyakan langsung, siapa tahu Nunung yang mengada-ada.
Sayangnya, aku tak berhasil menemukan Dian di mana pun. Kamarnya kosong. Selain kosong dari Dian, kosong pula dari pakaian-pakaian kotor yang menumpuk dan menggantung—seperti yang kulihat tempo hari. Seolah-olah Dian sudah tak menetap di kamar ini lagi.
Nunung menolak permintaanku untuk menceritakan lebih lanjut soal Dian. Dia hanya mengulang-ulang perintah untuk berhati-hati, menjaga diri dari Dian. Seolah-olah semua kebaikan Dian hanyalah kedok sebelum Dian melakukan sesuatu yang berbahaya kepadaku.
Namun sisa karantinaku tinggal dua hari lagi. Aku sudah harus menyetor 50 tulisan sebelum aku memulai liputanku di desa ini. (Yang semakin sini semakin kuragukan, apakah aku tetap perlu meliput soal Desa Cimenong?) Jadi, aku menyibukkan diriku pada hari ke-12 karantina untuk menyelesaikan tulisan. Kuselesaikan semua pada pukul 11 malam.
Lalu, aku tertidur.
Dan aku bertemu lagi mimpi aneh itu.
Rutinitasnya masih sama. Aku ada di dalam peti mati, kamar tampak gelap dengan semua perabotan terlihat jelas, lalu pintu terbuka, diikuti lima belas orang itu masuk satu per satu ke dalam ruangan. Semuanya berdiri mengitari peti matiku, menatapku lagi tanpa ekspresi. Bedanya, kali ini ada sekitar lima belas orang lain, entahlah, yang masuk dan berdiri mengisi ruangan. Ada yang berdiri dekat meja, sofa, nakas, meja rias, pintu ke balkon, pintu ke kamar mandi, sudut-sudut ruangan, semua terisi penuh. Mereka pun sama-sama menatapku yang terbujur kaku di dalam peti.
Selama beberapa jam pertama, mereka hanya menatapku. Seperti biasa. Namun aku sedang sebal kepada Thomas, sehingga aku melemparkan pandangan ke arah lain, sengaja tak melihat sosoknya. Thomas memerkosaku tempo hari. Meski aku memberikan konsen, tetapi dia menggunakan wujud yang bukan sebenarnya, jadi kuanggap saja dia melakukan pemerkosaan.
Memangnya ini Grindr, foto dan aslinya beda?
....
"Tolong," kata Thomas tiba-tiba.
Ini adalah malam pertama ada percakapan di dalam mimpi anehku ini. Dengan terpaksa, aku menoleh ke arah Thomas. Namun, aku belum mengatakan apa-apa.
"Kami tidak suka mayat-mayat di sebelah."
Mayat-mayat?
Ngomong apa, sih?
Karena aku tahu ini mimpi, aku merasa tidak takut kepada mereka. Malah, aku mulai terbiasa dengan mimpi aneh ini. Seolah-olah sudah menjadi rutinitasku, sehingga rasa ngeriku hilang total. Jadi kalau mereka bahas mayat-mayat, responsku ya biasa-biasa saja.
"Ini bukan mimpi," ujar Thomas kemudian.
Aku seperti membelalak kaget, meski aku tahu mataku tidak memelotot seperti yang kukira.
"Pak Rizki tidak sedang bermimpi," lanjut Thomas.
Tiga puluh orang di dalam ruangan mengangguk.
Thomas menambahkan, "Pak Rizki sedang bangun sekarang. Bahkan, setiap malam, Pak Rizki tidak tidur. Pak Rizki sedang hidup saat ini. Pak Rizki tidak sedang berada di tempat tidur. Pak Rizki sedang berada di wujud asli tempat tidur yang dulunya terbakar ... lalu kayu-kayu jatinya yang bertahan diubah menjadi peti mati."
To be continued ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Kerkhoven
Ужасы- Karantina Corona Berujung Bencana - Rizki mendapat tugas meliput Desa Cimenong tetapi harus melakukan karantina 14 hari di desa tersebut. Dia ditempatkan di sebuah bangunan Belanda, tepat di kamar utama yang dulunya digunakan khusus oleh keluarga...