Broken Promises

45 12 10
                                    

Dion Surya Putra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dion Surya Putra


"Promises are worst than lies. Cause it makes others hope, hope for something that unsure." Unknown
.
.
.

“Aku janji akan memperbaiki semua tentang kita, Sheila.”

Aku melihat Dion memasang wajah sedih, menghampiri meja tempatku makan siang dengan ponsel di telinga, lalu dengan santainya duduk di depanku.

“Jadi bersabar sebentar lagi, oke? Aku janji akan memberikan yang terbaik untukmu.”

Aku menghentikan kunyahanku. Tiga detik, sudah dua janji yang ia ucapkan.

Aku mendengus keras. Ada apa dengan pria? Mengapa mereka suka sekali berjanji?

“Apa ada masalah?” Rupanya Dion menyadari sikapku. Matanya menelisikku mencari jawaban.

“Tidak, kenapa?” jawabku santai. Kembali meneruskan makan siangku yang tertunda beberapa menit. Sebenarnya aku ingin segera menyelesaikan makan siangku karena suasana kantin begitu riuh rendah, bising dan penuh dengan mata yang memandangku dengan pandangan ganjil. Entah apa yang dilihat mereka dariku, aku tak pernah peduli.

“Kau terlihat tidak suka saat aku duduk di depanmu.” Dion memicingkan matanya kepadaku.

“Tidak. Kantin ini adalah fasilitas umum. Kau bisa duduk di mana pun kau mau.”

“Tapi kau memasang wajah itu, Violetta. Memandangku dengan jijik seakan aku muntah di piringmu.”

Mendadak nafsu makanku menguap entah ke mana. Dion, haruskah ia bicara tentang muntah saat aku sedang menyantap makan siangku? Bisakah aku makan siang dengan tenang? Sungguh. Hari ini adalah hari yang sangat panjang.

“Kenapa? Kehilangan selera makan karena aku?” seringai Dion. Ingin rasanya kutumpahkan sisa sup ayam ini ke kepala besarnya. Tapi aku tak mau menjadi tontonan rekan satu kantorku yang lain. Merepotkan sekali jika nanti ada gosip macam-macam tentangku. Sudah cukup aku menjadi objek pandangan mata mereka. Jangan sampai aku menambah skandal besar jika aku ingin tetap bekerja dengan tenang di kantor ini.

"Aku ingin makan dengan tenang, Dion. Apa kau bisa memberiku ruang untuk menikmati makananku?"

Aku menatapnya tajam. Dion itu, adalah juniorku di bagian keuangan. Kami seumuran, hanya saja ia bekerja sejak dua tahun yang lalu, sementara aku sudah lima tahun bekerja di kantor ini.

Terkadang, ada sisi dirinya yang tak kumengerti. Dan terkadang juga, ia memandangku dengan...entah... aku tak bisa menjabarkannya.

Jadi aku tak berniat untuk mengakrabkan diri dengannya. Tidak dengannya, atau dengan siapapun. Aku hanya ingin sendiri tanpa gangguan orang lain, tanpa merepotkan diri dengan orang lain. Dan aku sudah cukup nyaman seperti ini.

"Kau ikut ke kafe setelah pulang kerja, Violetta?"

Aku mengangkat bahu. "Mungkin lain kali."

"Semua orang di bagian keuangan datang. Ini ulang tahun Davina."

"Aku sudah menitipkan kado ke Mbak Rini." Aku membereskan nampan makanku. Ingin segera pergi dari sini sebelum Dion bisa menghakimi ketidakpedulianku terhadap rekan kerja.

"Acaranya di kafe tempatku bekerja paruh waktu." Dion mengikuti langkahku keluar kantin. "Aku janji. Tak ada alkohol, tak ada penari telanjang."

Aku menggelengkan kepalaku dengan mantap. "Maaf, Dion. Aku tetap tidak bisa. Ada keperluan setelah pulang kerja."

"Aku janji, setelah acara selesai, aku akan mengantarmu pulang."

Langkahku terhenti. Lalu aku membalikkan tubuhku agar berhadapan dengan Dion. Pria ini...

"Bisakah kau tak mengucapkan janji lagi?” Aku menatap tajam lawan bicaraku.

Ada raut terkejut di wajah Dion. Mungkin ia tak menyangka, Violetta yang pendiam akan memberikannya tatapan seperti ini.

“Apa apa denganmu, Vio?” Dion malah bertanya.

"Kau sudah lima kali berjanji dalam kurun waktu lima belas menit," jawabku. “Jangan memberikan janji jika kau tak berniat menepatinya,” jawabku.

Dion terdiam sejenak, lalu tertawa keras. Beruntung, suasana koridor kantor sedang sepi, jadi aku tak menjadi pusat perhatian. Berbeda halnya jika aku masih berada di kantin.

“Dari mana kau tahu bahwa aku tak berniat menepati janjiku?” Dion, membalas tatapan mataku tak kalah tajam. “Apa kau cenayang?”

Aku menggelengkan kepala. “Satu janji, satu langkah kau menuju kebohongan. Dan kau tak tahu apa yang akan terjadi nanti, sebelum kau menepati janji itu.”

“Wow, aku tak tahu kau sepahit itu, Violetta.” Dion menggelengkan kepalanya. “Aku berjanji, karena aku yakin pada diriku sendiri. Aku yakin pada orang yang menerima janjiku. Apa itu salah?”

“Bagaimana jika kau tak memiliki kesempatan untuk menepati janji yang kau buat?” tanyaku.

“Yang jelas, jika aku berjanji, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk menepati janjiku. Dan jika aku mati sebelum menepati janji, itu adalah kuasa Tuhan. Aku bisa apa, Violetta?”

Aku terdiam.

****

“Kai, apa kau bahagia?” tanyaku pada angin. Yang kuharap akan membawa pesanku, juga rinduku yang berjuta.

“Di sana pasti indah, bukan?”

Tenggorokanku tercekat. Tak ada jawaban. Kai tak ada di sini.

“Matahari terbenam di tebing Uluwatu masih sama jingganya seperti yang dulu, Kai. Kau tahu, ‘kan?”

Sebutir kristal bening jatuh di pipiku. Disusul oleh ratusan yang lain.

“Aku merindukanmu, Kai,” bisikku pada angin. Berharap ia akan mendengarnya.

Atau mungkin ia mendengarku sekarang. Karena ia ada di depanku, terbaring enam kaki di bawah tanah.

Rakai Aji Gallendra. Lahir 14 Januari 1994. Wafat 20 Agustus. Aku membacanya ribuan kali. Luka hati kembali tertoreh setiap kali membaca kata-kata yang terukir di nisan pualam itu.

Kai, terkubur di bawah sana, bersama dengan janji-janji yang tak sempat ditepati.


To Be Continued

P.s. jangan lupa tinggalin jejaknya ya. Supaya author pemula ini semakin semangat biat nulis lagi. Jangan lupa kritik dan sarannya kak. Aku nggak baperan kok. 🥰🥰

SOMEDAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang