4) Mencari yang Baru

7 3 0
                                    

"Udah dong sedihnya, Feb." Aku hampir putus asa mengajak Febi keluar dari mode sedihnya. Sejak dia mengeluarkan emosinya ke.Gibran tadi pagi, dia terus meletakkan kepalanya di atas meja dengan dua tangannya mengelilinginya. Dia terlihat tidak mempunyai tenaga. Belajar juga tidak serius. Dia bahkan berpindah tempat duduk ke kursi belakang sendiri tepat di belakang Romi—teman sekelasku yang paling besar badannya. Dia pamit padaku sebelum melakukannya. Katanya untuk menghindar dari guru yang ingin tahu kenapa dia seperti itu.

Aku mendengkus, setengah karena putus asa dan sisanya karena merasa tidak berguna menjadi temannya. Seharusnya aku menghibur dia, kan? Namun apa yang aku lakukan? Hanya duduk di sampingnya sambil menatapnya melas. Sesekali aku menghiburnya dengan kata-kata yang tidak berubah dari kali pertama dan seterusnya, dengan nada melas juga. Jadinya malah aku yang terlihat menyedihkan.

Dia mengangkat wajahnya. Reflek aku betepuk tangan ria menyambutnya. Febi menatapku sedih lalu dia meletakkan kepalanya di atas meja lagi, tapi kali ini wajahnya menghadapku. "Aku kasihan sama kamu kalok aku nggak nunjukin wajah. Kamu nggak ada yang ngajak ngomong," ujarnya tanpa semangat.

Atas alasan apa pun itu, aku menerimanya selama Febi mau menampakkan wajahnya. "Udah ya sedihnya? Udah tiga jam pelajaran kamu se—" Lirikan mata Febi, tidak tahu apa maksudnya, tapi otakku menangkap dia sedang memberiku isyarat agar aku menghentikan ucapanku.

"Nggak bisa udah, Fa. Dulu aku diputusin dia aja sampai berminggu-minggu sedihnya. Dan sekarang aku kehilangan sifat dia. Sekarang aku nggak punya apa-apa yang berhubungan sama dia kecuali kenangan. Aku udah coba rela dia sama pacar barunya, tapi kalok dia sampai ngubah sikap dia, aku rasa makin sulit buat rela." Dia berhenti demi menghapus air matanya. Tiba-tiba dia duduk sempurna. Matanya sedikit berbinar ketika menatapku. "Apa malah sebaliknya? Karena sekarang aku benci banget sama dia yang udah ngatain dangdut norak! Mesti gara-gara pacarnya yang penghasut!" Dia kembali meletakkan kepalanya dengan ekspresi berapi-api.

"Kalau menurutmu, mana yang bener?"

Febi menggebrak meja. Aku kaget dan langsung menoleh ke bangku dekat pintu. Untung ketua kelasku—yang baru dinobatkan kemarin—yang sedang tidur tidak terbangun karena suara itu. Febi menangis sambil memelukku. Sambil terisak-isak dia mengatakan kalau tebakan pertamanya sangat lebih mungkin tepat dibanding tebakan yang kedua. Alasannya klise, selama dua tahun dia dan Gibran bersama. Selama itu ada banyak sekali kejadian yang mereka lalui bersama. Satu kejadian membutuhkan waktu yang lama untuk dilupakan dan hasilnya belum tentu memuaskan, apa lagi kalau beribu kejadian? Belum lagi pikirannya dipenuhi harapan agar Gibran menjadi dirinya yang dulu. Aku terus menepuk-nepuk bahunya.

Aku merenung. Mungkin memang lebih baik tidak menjalin hubungan apa-apa dengan lawan jenis di usia sebelia ini. Hanya putus atau terus nyambunglah akhir dari hubungan itu. Tidak tahu ada berapa banyak akhir yang kusebutkan pertama yang sudah terjadi di dunia ini. Tetapi rasanya, akhir yang seperti itu lebih banyak terjadi.

Namun, akhir yang bertepuk sebelah tangan pun tidak lebih baik dari itu.

"Idih! Febi serem kalok nangis. Kayak kuntilanak." Aku menoleh ke pintu kelas begitu mendengar suara yang selama ini jarang terdengar, tapi tidak asing di telingaku. Aku menatap Alfa galak. Semua cowok memang tidak punya perasaan. Sudah tahu ada yang sedang bersedih, tetap saja diejek. Dia masuk ke kelasku tanpa permisi kemudian mendekati mejaku. Teman SMP-ku (juga) itu langsung bertanya apa yang terjadi pada Febi.

Itu pertanyaan yang biasa, tidak ada unsur-unsur penyembuh lara, tapi hebatnya tangis Febi berhenti seketika. Buru-buru dia mengambil tisu di tasnya. Aku menatapnya takjub. Seolah-olah dia sudah mempersiapkan tisu itu tadi pagi karena dia tahu hari ini dia akan menangis. Hidungnya memerah, sedangkan matanya menyipit, sembab, sekaligus memerah. Kacau sekali, tapi dia masih bisa untuk bereskpresi galak pada Alfa, sekalian mencubit lengannya.

"Tadi mau ke kelas sebelah, tapi ada suara tangisan kuntilanak di sini ya udah aku cek daripada penasaran." Dia mengedikkan bahu kemudian tangan kanannya mengusap-usap lengan kirinya bekas cubitan Febi. Setelah mengomeli perbuatan Febi, dia berjalan meninggalkan ruang kelas itu.

"Tunggu, Al! Aku minta tolong!" seru Febi. Perbuatan Febi memalukan sekali. Setelah dia menyakiti, dia datang untuk memohon sesuatu.

Alfa berbalik masih dengan raut kesalnya. Aku terus menerka apa yang akan Febi katakan atau mungkin lakukan. "Apa sih yang cowok lakuin setelah patah hati? Kok bisa move on secepet itu gimana caranya?"

"Cepet gundulmu!" seru Alfa. Di saat yang bersamaan aku juga berseru, "Cowok mah seringnya matahin hati, bukan yang dipatahin!"

Febi menatapku sekilas. Berbeda ketika menatap Alfa, dia terlihat serius. "Iya, ada kok cowok yang cepet move on. Kamu contohnya, sekarang aja udah hepi gitu, padahal putusnya duluan aku. Nggak adil!" Oke, aku langsung tahu diri kalau Di sini aku hanya seorang penonton. Dilarang bagiku untuk memprotes tontonan dengan terang-terangan.

Alfa menarik salah satu kursi terdekat, dia mendudukinya lantas menatapku dan Febi sambil tersenyum. Dia menautkan jari-jarinya di atas meja, posisi duduknya sempurna, dan memasang wajah meyakinkan. Dia berlagak seolah-olah dia adalah seorang konselor. "Ini yang nggak cewek ataupun cowok tahu karena ini rahasiaku ...." Dia pasti sengaja menyeringai dan menggantungkan ucapannya agar aku dan Febi semakin penasaran.

"Buruan, apa?" Febi sampai tidak sabar.

"Cari yang baru," ujar Alfa penuh penekanan, "berusaha lupain yang lama sambil pdkt ke yang baru. Jadinya nyelam sambil minum air. Dengan kamu cari yang baru, kamu mudahin diri buat move on. Cari loh, ya, bukan nunggu. Selesai deh urusan patah hati. Kalau lupain doang, aku yakin sampai kamu lulus sekolah juga nggak akan kelar. Bener itu usaha, tapi makin banyak usahanya, makin cepat move on-nya."

Telingaku kecewa telah mendengarkannya baik-baik. Tanpa mereka tahu, aku juga ingin mendapat tips mudah move on. Aku sekarang mendapatkannya, tapi aku tidak akan melakukannya. Menurutku, cinta itu tidak bisa dicari, tapi ia datang sendiri dengan cara yang kadang di luar imajinasi.

"Asem. Tips apaan, tuh? Emang cinta tuh duit, bisa dicari-cari? Nggak mungkin bisa." Tidak kusangka ternyata Febi sepemikiran denganku.

"Loh, tunggu dulu. Kalau nggak paham jangan ngegas."

"Ini kenapa, sih, rame-rame? Hargain, dong, orang yang lagi tidur." Kami bertiga menoleh ke arah tempat duduk Rendi. Hanya aku yang meminta maaf atas keramaian ini. Febi malah mencibir dengan suara lirih, katanya kelas bukan tempat tidur, jadi kalau ada yang ramai, ya jangan disalahkan yang membuat keramaian.

"Halah, sok bijak. Kayak kamu nggak pernah tidur di kelas aja," sahut Alfa.

Percakapan malah menyebar ke mana-mana. Mereka berdua saling mengejek, sampai mengungkit kebiasaan buruk mereka di SMP dulu. Febi sendiri yang sadar kalau percakapan itu tidak seharusnya terjadi. Dia menuntut Alfa menjelaskan lebih tentang tips yang dia berikan.

"Orang itu kalau bener-bener mau, pasti cara kayak gimana aja bakal dilakuin. Nyari cinta itu sesuatu yang nggak bisa dilakuin? Dari mana anggapan kayak gitu ada di kepalamu, Feb?" Aku melihat Febi. Dia menganggap serius pertanyaan Alfa. Pastinya begitu, kalau tidak, dia tidak akan terlihat berpikir. Sejurus kemudian Alfa tertawa. Dia menyuruh Febi untuk lanjut mendengarkannya daripada memikirkan jawaban pertanyaannya.

"Kita jatuh cinta ke orang lain. Tapi semuanya nggak berhenti di situ aja, kan? Ya, emang ada orang yang milih buat sembunyiin rasa itu." Alfa menatapku ketika mengatakan itu. "Kita dekatin dia, kita ajak dia ngobrol terus, kita berusaha buat nunjukin rasa itu. Sampai akhirnya datang jawaban, diterima apa ditolak. Orang yang mau nikah aja pasti nyari cinta dulu. Meskipun dua orang saling cinta, tapi nggak ada yang mau ungkapin. Sama aja, kan?"

Aku larut dalam setiap kata yang Alfa keluarkan. Rasanya seperti mendengarkan ceramah dari orang yang sangat berpengalaman di urusan perasaan.

"Cinta bisa dateng sendiri. Tapi akhirnya, kita harus punya cara buat cari. Cari cara buat ungkapin, cari cara buat pertahanin. Kalau ditolak, cari cara lagi buat cari cinta yang lain."

***

Siapa yang setuju sama omongan Alfa??? ✨

UnchangedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang