Akhirnya tiga jam pelajaran pertama terlewati. Aku meletakkan separuh badanku di atas meja. Aku ingin siang segera datang lalu aku bisa tidur pulas tanpa memikirkan apa-apa. Semoga juga ibu bisa kululuhkan hari ini. Tidak tahu karena apa, rasanya badanku lelah sekali.
"Fa. Kamu punya kuota? Kalok punya, aku minta, dong." Aku menatap Febi yang bertanya tanpa menatapku. Tumben sekali handphone-nya kehabisan kuota.
"Ambil aja sendiri hapenya di laci," jawabku.
Akhirnya aku bangun juga untuk meneguk air putih yang kubawa dari rumah. Sebenarnya aku bisa melakukan hal lain seperti membaca, mendengarkan lagu, dan lainnya agar tidak merasa bosan. Namun aku tidak ingin melakukannya. Pokoknya tidur pulas, itu satu-satunya hal yang ingin aku lakukan.
"Kamu kenapa, sih, hari ini diem aja? Biasanya rame jawab pertanyaan guru. Jangan jawab gara-gara sariawan, nggak bermutu banget bohongnya." Febi meletakkan soundbox di mejanya. Setelah mengotak-atik sebentar, dangdut koplo mulai mengalun dari benda itu.
Aku meraih lengan Febi lalu menggoyang-goyangkannya. "Ngapain gitu, yuk! Tapi jangan dangdutan. Yang lain."
Febi melirikku. "Ngajarin aku ngerjain tugas mau?" Dia menaik-naikkan alisnya.
Aku mau, ya daripada gabut begini. "Tapi emangnya kamu belum ngerjain?"
"Kalok udah, ya aku nggak minta tolong, dong." Febi kembali mengetik di handphone-ku. "Eh, tapi nggak, deh. Aku yang males kalok ngelakuin itu. Nggak papa nilaiku kosong. Masih awal masuk juga," ujarnya kemudian dengan sangat santai.
"Feb, kamu udah kelas duabelas, loh. Ayo kerjain! Aku mau bantuin."
"Emang kalok kelas duabelas harus jadi orang serius, rajin, semangat, gitu, ya? Dari kelas sepuluh harusnya udah kayak gitu, tapi aku nggak ngelakuin. Tambahin satu tahunlah biar tiga tahun jumlahnya. Allah kan suka yang ganjil-ganjil."
Aku melotot padanya, tapi Febi acuh tak acuh. Aku bersikap demikian setelahnya. Semua ada waktunya, dan sekarang belum waktunya Febi sadar akan perannya sebagai murid. Aku meminta handphone-ku darinya. Membaca cerita online adalah pilihan terakhirku.
"Bentar, gagal mulu mau ngirim. Padahal sinyalmu bagus. Kenapa, ya?" Aku ikut melihat layar benda milikku. Aku baru menyadari keanehan ini. Dia bilang mau meminta kuota, tapi kenapa dia tidak memakai handphone-nya sendiri? Kan meminta kuota lewat hotspot.
Lebih membingungkannya lagi .... "Kamu ngapain ke SMS? Katanya mau minta kuota? Nyalain hotspot tuh di setelan," ujarku. Tatapanku semakin tidak mengerti. Jujur, aku sedikit cemas juga kalau Febi membaca pesan dari nomor tidak kukenal kemarin.
"Emang tadi aku bilang minta kuota, ya?" Dia tertawa sekaligus bingung. Efek jarang memakai SMS, dia sampai lupa dengan yang namanya pulsa, begitu akunya. Aku menepuk jidatku. Pantas saja dari tadi dia mengotak-atik handphone-ku. Aku meminta benda itu lagi untuk menghilangkan rasa bosan ini.
Ekspresi terkejutnya membuatku kembali mendekat. Aku dan dia melihat layar handphone-ku. Oh, tidak. Dia begitu lancang membaca pesan masuk di situ. Ketakutanku dia jadikan nyata.
Aku segera merebutnya sambil berkata, "Kamu jangan gitu, dong. Nggak sopan, tahu!"
Kedua bibir Febi mengatup. Entahlah, mungkin dia terkejut karena responku yang sebegitu meledak. Aku pun menyadari setelah mengatakannya. Dia meraih tanganku dengan wajah linglung. Dia meminta maaf sebesar-besarnya. "I-itu bener Evano yang ngirim SMS?" tanyanya. Ekspresinya sama terkejutnya seperti aku mendapati SMS itu kemarin.
Aku memaafkan Febi dengan cepat. Dia tidak pernah berbuat seperti itu sebelumnya. Mungkin pesan itu begitu menarik perhatiannya sampai dia berani membukanya.
"Menurutmu?" tanyaku.
"Nggak mungkin." Kepalanya menggeleng cepat. Telapak tangannya juga bergerak ke kiri dan kanan, menguatkan respon kepalanya. "Nomor dia bukan itu. Kamu juga simpen, kan?"
"Siapa tahu udah ganti, atau dia punya dua nomor?" Ingin menyangkal seperti Febi, tapi kemungkinan itu bisa saja benar. "Aku sama dia nggak pernah kontakan, jadi mungkin dia lakuin salah satu dari itu dan aku nggak tahu."
Febi mengecilkan volume lagunya. Aku melihat perubahan ekspresi Febi. Tatapannya fokus padaku. Wajahnya serius, tidak tengil seperti biasanya. Aku jadi was-was. Ini tanda-tanda dia akan berujar sangat serius. "Kalok emang gitu, terus kenapa? Kamu mau percaya sama omongan lewat SMS itu? Dia tetep nggak nunjukin langsung kalau dia suka kamu, kan? Buat apa?"
Aku masih ingat kata-kata ayah tadi pagi tentang cara mengungkapkan perasaan. Ingin aku katakan pada Febi, tapi aku urung mengacaukan keseriusannya. Dia sepertinya juga tahu akan hal itu. Kalau dia tidak tahu dan diberi tahu pun, dia tidak menerimanya. "Mau kamu ungkapin apa nggak, udah jelas kalok kamu masih berharap sama dia, Fa. Hampir tiga tahun. Apa kamu nggak ngerasa udah keterlaluan sama hati sama pikiran kamu? Kamu nyimpan orang yang nggak pernah barang sekali aja lihat kamu."
Aku menunduk. Aku memang keterlaluan. Seratus persen aku menyadari itu, tapi tetap saja aku tidak berusaha lebih untuk membuang dia. Aku masih saja gugup bahkan hanya melihat punggungnya. Aku kenapa begini, sih? Dia hanya temanku. Teman sekelas yang tidak dekat, tapi bisa-bisanya aku suka padanya hanya karena perhatian-perhatian kecil dia. Lama-lama aku memperhatikan dia, memimpikan dia. Parahnya aku sampai membawa itu pada hampir tiga tahun kehidupanku setelahnya.
Air mataku keluar sampai di sekitar mata, tidak sampai jatuh. Febi membantu menghilangkannya. Tanganku dia raih lalu kemudian dia genggam erat. "Dia nggak pernah suka kamu, Ulfa. Kalok pakek pernyataan yang udah jelas itu masih belum buat kamu lupa, cari yang baru.
"Kalok kamu cari yang baru, objekmu jadi berubah ke orang lain. Kalok kamu mau lupain dia, sama aja, karena objekmu tetap dia. Kamu cepet pahamnya nggak cuma di pelajaran sejarah, kan? Kamu nggak harus nemuin. Cukup alihin prediket sama objekmu."
Ucapan ayah tadi pagi persis ucapan Febi.
"Eh, kok aku ngomongin pelajaran, sih? Hebat, ya, aku ngelanturnya." Aku tersenyum sekilas lalu menatap layar handphone-ku. Seharusnya aku menghapus pesan itu saat ini juga, tapi ...."Sekarang, yang harus kamu lakuin adalah hapus SMS itu." Febi melirik benda yang kupegang.
Tapi aku sayang untuk melakukannya. Aku masih berharap pengirim itu memang Evano. Memangnya tidak bisa, ya?
Aku melirik Febi yang tidak juga beralih menatapku. "Kamu juga harus hapus screenshot-an chat-chatmu sama Gibran kalau gitu," ujarku. Dia pernah menunjukkannya padaku.
"Aku udah hapus dari kemarin." Febi menyalakan handphone-nya. "Nih," tunjuknya, "udah nggak ada ss-an chat nggak jelas itu." Aku betul-betul tidak melihatnya ada di galeri Febi. Dalam hati aku memuji usaha kerasnya untuk move on.
Kembalilah aku dalam posisi galau. Haruskah aku menghapus pesan yang jarang sekali aku dapatkan? Sementara itu Febi terus mendesakku. Aku menatap lama nomor itu sambil menguatkan hati. Selamat tinggal, batinku.
"Lah? Ngapain kamu nggak lakuin kayak yang dia lakuin aja? Bego banget, sih." Aku menoleh ke kanan, gagal menghapus pesan itu. Temanku yang tadinya tenang tiba-tiba membuat seisi kelas menaruh perhatian padanya.
Hooo! Aku punya ide! Buru-buru aku menangkap layar handphone-ku di bagian SMS itu. Kulirik Febi, masih memperhatikan keributan di depan, berarti aman. Aku lantas berpindah ke galeri. Di handphone sekarang sudah disediakan ... apa, ya namanya? Pokoknya untuk memprivasi foto. Hasil tangkapan layar itu kumasukkan ke sana.
"Tunggu, deh," ujarku setelah selesai melakukannya.
"Apa? Mau nunggu apa lagi, Fa? Hapus sekarang."
"Bukan itu," ujarku. Kutatap Febi penuh selidik. "Kamu beneran hapus screenshot-an chat-chatmu sama Gibran? Nggak kamu jadiin privat, doang, nih?"
Mataku tidak luput dari muka Febi. Aku tidak bisa menahan tawa melihatnya berusaha menutupi kegugupannya. Semakin dia mengatakan dia tidak melakukannya, semakin ekspresinya mengatakan yang sebenarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unchanged
Teen FictionTiga tahun bukanlah waktu yang singkat. Ulfa pun tidak habis pikir, bagaimana bisa dia belum move dari Evano, teman SMP-nya, padahal sudah selama itu? Atas keputusasaannya, dia mencoba cara baru untuk move on darinya. "Cari yang baru, berusaha lupai...